Apakah kamu penggemar anime? Pecinta Anime seringkali mendapatkan julukan sebagai wibu. Meskipun demikian, masih banyak yang menyukai tayangan animasi dari Jepang ini. Apalagi ada berbagai genre yang bisa disesuaikan dengan kesukaan penikmatnya. Namun ternyata dibalik megahnya industri anime, ada fakta kelam anime yang tersembunyi. Pendapatan yang melimpah rupanya berbanding terbalik dengan kesejahteraan animatornya. Simak fakta kelamnya berikut ini.
Memperbudak Karyawan Freelance
Setiap tahunnya akan ada sekitar 200 judul anime yang sedang digarap di Jepang, sehingga jumlah animator untuk memenuhi pasar juga semakin meningkat. Namun, untuk mendapatkan animator yang berbakat tentunya bukanlah hal yang mudah. Sehingga sebagai jalan hal tersebut, mereka menggunakan freelancer muda untuk membantu. Padahal freelancer ini juga tidak terlalu tertarik dengan dunia anime yang sedang digeluti.
Belum lagi gaji yang ditawarkan juga tidak mahal, bahkan lebih murah. Fungsi freelancer ini banyak digunakan untuk in between animator. Secara sederhana, pekerjaannya adalah untuk menghubungkan antar frame. Dengan begitu, pergerakan pada animenya akan terlihat lebih halus dan mulus. Yang membuat sedih, banyak industri anime yang memperlakukan para freelancer ini semena-mena. Ketika tak lagi dibutuhkan akan dibuang begitu saja.
Padahal fungsi para freelancer sangat dibutuhkan agar kebutuhan pasar tetap bekerja dengan baik. Kebutuhan yang meningkat dan mencari pekerjaan lepas yang cukup sulit, menjadikan freelancer tetap saja ada. Dibalik megahnya industri anime, ternyata ada cerita kelam yang tidak diduga sebelumnya. Memperbudak para freelancer yang gajinya tidak banyak tentunya bukanlah hal yang manusiawi. Namun, kebutuhan pasar mungkin menjadi alasan hal tersebut terjadi.
Para freelancer bisa bekerja hampir 400 jam dalam sebulan dan bekerja 37 hari tanpa adanya cuti. Alasan lain yang menjadikan banyak yang menggunakan freelancer, sebab mereka tak perlu risau masalah undang-undang buruh untuk freelancer. Para freelancer juga merupakan kontraktor bebas, dimana perusahaan tempat mereka bernaung boleh untuk memberikan deadline. Mereka bahkan juga tidak mengeluarkan banyak uang untuk tenaga freelancer.
Tingginya Animator Yang Bunuh Diri
Semakin tinggi kebutuhan pasar, tentunya makin tinggi juga kerja keras yang harus dilakukan. Animator membuat setiap adegan dalam anime menggunakan gambar tangan. Beberapa memanfaatkan bantuan CGI, namun penggunaan gambar tangan tetap lebih tinggi dan dominan. Banyak orang Jepang yang memang memilih bekerja menjadi animator. Kebanyakan, tujuan bekerja bukan untuk kehidupan yang layak namun bekerja sesuai passion.
Alasan inilah yang membuat fakta kelam anime satu ini menjadi perhatian. Pekerjaan satu ini memiliki tingkat stres yang tinggi dan menjenuhkan. Akhirnya banyak animator yang stres dan akhirnya memilih mengakhiri hidupnya. Keadaan semakin menekan ketika dalam setiap adegan saja membutuhkan berlembar-lembar gambar yang memiliki presisi sangat tinggi. Deadline ketat juga turut hadir untuk semakin menambah beban para animator.
Di tahun 2014 silam, seorang animator laki-laki memilih untuk mengakhiri hidupnya. Setelah diselidiki, ternyata sebelum kematiannya ia sudah bekerja 600 jam lebih. Bukan hanya masalah psikologis, kehidupan yang tidak sehat juga turut andil. Untuk mengejar deadline akan lembur berjam-jam. Bisa melupakan makan dan hal-hal yang semestinya dilakukan manusia. Kelelahan juga mungkin saja terjadi pada para animator yang membuat tekanan makin menghimpit.
Tak Sebanding Dengan Gajinya
Tekanan yang tinggi, jam kerja yang tak manusiawi nyatanya tak ditunjang dengan gaji memadai. Fakta ini dianggap angin lalu karena banyak juga yang bekerja bukan untuk mengejar uang. Namun, hal ini tetap tidak sebanding dengan beban kerja yang harus para animator pikul. Berdasarkan Japanese Animation Creators, para animator umumnya mendapatkan pendapatan sekitar 10 ribu dolar atau setara dengan Rp. 141 juta dalam satu tahunnya,
Sementara untuk animator yang senior, pendapatannya bisa mencapai 19 hingga 21 ribu dolar yang setara dengan Rp. 268 juta hingga Rp. 438 juta setiap tahunnya. Jika kita melihat secara jumlah, mungkin terlihat begitu menggiurkan. Namun nyatanya, jumlah tersebut jika digunakan di Jepang sangat pas-pasan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Terutama bagi mereka yang sudah berkeluarga, jumlah tersebut tentunya sangat sedikit dan bisa kurang.
Inilah yang menjadikan para animator banyak mencari pekerjaan tambahan. Ditambah dengan tekanan yang besar dan gaji tak seberapa, maka wajar jika terdapat istilah Karoshi. Karoshi merupakan kematian yang disebabkan karena terlalu banyak pekerjaan yang dilakukan. Bahkan jumlah kematian karena Karoshi meningkat seiring berjalannya waktu. Sangat miris jika dibandingkan dengan kepopuleran anime, padahal animatornya saja belum sejahtera.
Persaingan Seiyuu Yang Makin Ketat
Untuk memproduksi anime, tentunya dibutuhkan pengisi suara atau yang dikenal dengan Seiyuu. Semakin tingginya popularitas film anime, maka profesi satu ini juga semakin diincar. Inilah yang menjadikan pekerjaan tersebut juga mengalami persaingan yang begitu ketat. Dimana saat ini juga selain memperhatikan suara, para seiyuu juga sangat memperhatikan penampilan. Rasanya memiliki suara bagus dan wajah menawan sudah menjadi paket lengkap.
Sangat berbeda dengan dahulu yang mementingkan suara dan juga penghayatan. Saat ini juga banyak anggota idol yang banting setir menjadi seorang Seiyuu. Memang, Seiyuu bekerja di balik layar, namun terkadang tetap membutuhkan untuk menghadiri event atau konser sekalipun. Para Seiyuu dituntut untuk tampil sempurna secara keseluruhan, tak hanya suara saja. Efeknya menjadikan persaingan untuk mendapatkan peran makin sulit.
Tingginya Jam Kerja
Fakta kelam anime selanjutnya tak bisa diabaikan begitu saja dan berkaitan erat dengan waktu kerja. Jam kerja seorang animator memang sangat banyak. Tentunya kita tahu jika dalam satu gambar, umumnya animator membutuhkan 1 jam lebih. Dan bisa berjam-jam lebih lama untuk anime terkenal dengan detail yang begitu tinggi. Melihat para animator tertidur di atas meja bukanlah pemandangan yang asing, bahkan sangat sering terjadi.
Bahkan tak sedikit yang harus dilarikan ke rumah sakit karena kelelahan. Tuntutan deadline menjadi penyebab mengapa jam kerjanya begitu tinggi. Sebenarnya, sisi kelam industri anime ini dimulai sejak era Osamu Tezuka yang merupakan pencipta Astro Boy yang berevolusi di industri anime sejak tahun 80 an. Hingga kini masih banyak yang menggunakan standar yang telah ditetapkan oleh Tezuka ini, salah satunya pada durasi menggambar,
Padahal, saat ini ada beberapa hal yang tidak lagi relevan karena beberapa anime lebih detail dan halus. Mungkin kamu ingin tahu, mengapa para animator tidak meminta kenaikan gaji atau melakukan demo. Alasannya, jika kenaikan gaji dilakukan maka perusahaan bisa bangkrut. Pemasukan anime terlihat besar, namun ternyata memang tidak mampu untuk memenuhi kesejahteraan pekerjanya.
Proses pembuatan yang tidak mudah dan membutuhkan waktu panjang menjadi penyebab gelapnya dunia anime. Proses demi proses membutuhkan kejelian, meskipun kini sudah dibantu oleh teknologi. Nyatanya untuk menjalankan teknologi, juga membutuhkan kinerja manusia. Permintaan pasar yang semakin tinggi menuntut industri lebih banyak untuk menciptakan anime, sehingga yang menjadi korban kebanyakan para pekerjanya.