Pernahkah kamu bertanya-tanya, kenapa antara satu film dengan film lainnya terkadang warnanya berbeda? Ada film yang memancarkan nuansa dingin dan ada pula film yang warna sinematografi dalam filmnya terasa gersang. Itu namanya color grading yang dalam film digunakan untuk menciptakan nuansa tertentu yang diinginkan oleh sutradara.
Ketika sutradara ingin menciptakan momen-momen tertentu, katakanlah momen sedih, maka digunakanlah teknik color grading dengan memanipulasi warna sehingga terciptalah momen-momen dengan tone warna yang sendu dan hal tersebut dilakukan dengan mempertimbangakan tema dan jalan ceritanya. Semuanya sudah direncanakan dengan matang. Dan jika kamu penasaran film-film apa saja yang memiliki color grading menawan, silahkan baca sampai selesai.
Drive
Film garapan Nicolas Winding Refn ini menceritakan seorang pria yang pekerjaannya sebagai pengemudi bagi para perampok. Jadi, tema ceritanya bisa dibilang berada di ranah heist. Kalian akan dibawa mengikuti keseharian pria pendiam yang dalam film tidak pernah disebutkan namanya. Hingga suatu hari, pria tersebut terlibat dalam kejahatan mafia yang mengancam nyawanya. Apa yang menarik dari Drive adalah gaya penyutradaraan Refn yang menjauh dari tema heist pada umumnya yang full action. Ia justru memasukkan nuansa arthouse di dalamnya sehingga menjadikan Drive terasa sangat artsy.
Ada tiga aspek yang membuat Drive terasa sangat nyeni, mulai dari sinematografi, akting, dan musiknya. Drive menyuguhkan sinematografi khas film-film arthouse yang banyak memainkan teknik kamera dengan gerakan perlahan ditambah dengan color grading-nya yang berhasil menciptakan nuansa sendu dengan memadukan warna biru dan oranye di sepanjang durasinya. A
ktingnya pun sangat memikat yang bersumber dari performa Ryan Gosling dan Carey Mulligan yang sukses menciptakan chemistry romantis tanpa perlu banyak dialog dan hanya mengandalkan emosi subtil dari tatapan mata saja. Dan Drive semakin bersinar berkat implementasi musik electro pop era 80-90an yang sangat menyatu dengan tone filmnya.
Portrait of a Lady on Fire
Ini dia film bertema LGBTQ+ paling romantis yang pernah ada. Céline Sciamma selaku sutradara sukses menciptakan kisah mengenai percintaan sesama jenis dengan begitu indahnya. Portrait of a Lady on Fire menceritakan seorang wanita bernama Marianne yang mendapatkan tugas untuk melukis Héloïse yang akan dijodohkan oleh ibunya. Ternyata momen-momen mereka melukis berdua justru semakin mendekatkan mereka ke dalam sebuah hubungan terlarang. Portrait of a Lady on Fire merupakan contoh sebuah film yang meskipun mengusung tema sensitif, namun tidak pernah berakhir klise. Céline lebih mengandalkan interaksi dua protagonisnya yang lebih banyak menonjolkan woman gaze disertai sinematografi memikat yang sukses menyajikan pemandangan indah tebing, pantai dan lautan biru.
Di sepanjang film, Céline nyaris tidak memasukkan music score dan hanya mengandalkan efek-efek suara realistis untuk menciptakan suasana sepi dan hening. Céline pun lebih sering memainkan teknik kamera long shot, medium dan extreme close up untuk menangkap emosi dan ekspresi para karakternya. Bahkan, Céline juga cukup sering menampilkan aktivitas membuat sketsa hingga proses melukis yang cukup detil. Namun, yang paling luar biasa ada pada kemampuan Céline dalam menciptakan mise-en-scène yang sukses memancarkan aura keindahan, keintiman hingga kesedihan di sepanjang guliran pengisahannya.
Color grading-nya serta permainan intensitas cahayanya mampu dimaksimalkan oleh Céline dengan banyak memasukkan unsur warna biru di nyaris seluruh durasinya. Namun, momen-momen paling menakjubkan justru muncul ketika latar waktu dalam filmnya beralih ke malam hari. Saat itulah, Céline memasukkan unsur warna oranye yang menjadikan para karakternya terlihat seolah-olah bagaikan tokoh-tokoh dalam lukisan yang melompat keluar dan berkeliaran di layar. Menakjubkan.
Mad Max: Fury Road
George Miller berhasil memukau penontonnya kala merilis Mad Max: Fury Road di zaman ketika teknologi dalam dunia perfilman Hollywood semakin canggih dan hasilnya, Miller sukses menciptakan sebuah dunia gersang yang tanpa ampun akan mencelakakan manusia di atasnya. Dalam dunia post-apocalyptic ala George Miller, fokus cerita tertuju pada dua tokoh sentralnya, yakni Max Rockatansky dan Furiosa yang berusaha kabur dari kejaran Immortan Joe karena telah membawa kabur para selirnya.
Menonton Mad Max: Fury Road, kalian dijamin akan merasa kegerahan dan kehausan karena intensitas permainan color grading-nya sangat terasa sejak awal durasi hingga film berakhir. Warna filmnya didominasi unsur warna merah dan oranye yang bertujuan untuk menciptakan tone warna yang gersang sehingga menonton Mad Max: Fury Road akan menghasilkan pengalaman sinematik yang unik sekaligus mengerikan.
Blade Runner 2049
Sekuel Blade Runner garapan Denis Villeneuve ini berfokus pada usaha K dalam mencari sosok anak yang hilang sekaligus kebenaran dari hidupnya selama ini. Berlatar waktu di masa depan, Denis berusaha menyampaikan pesan mengenai eksistensi manusia di sebuah dunia yang kontradiktif antara permainan warna dan manusianya itu sendiri. Blade Runner 2049 benar-benar akan memanjakan kalian yang menggemari film fiksi ilmiah dengan visualisasi yang menawan. Pasalnya, di sepanjang durasinya, Denis beberapa kali menampilkan warna yang kontras antara satu adegan ke adegan lainnya.
Di beberapa kesempatan, film akan memanjakan mata dengan intensitas permainan color grading yang muncul dari pendaran warna-warni neon yang menghujani para karakternya. Namun, di lain waktu, tone film akan terasa sangat gersang ketika adegan beralih ke lokasi yang dominasi warna oranye. Dan perpaduan antara tema cerita serta color grading dalam filmnya menjadikan Blade Runner 2049 terasa filosofis sekaligus artsy.
Gretel & Hansel
Film horor-fantasi bernuansa arthouse ini memang tidak terlalu kuat dalam aspek penceritaannya, namun jika membicarakan dari sisi teknisnya, Gretel & Hansel sangat menawan. Oz Perkins selaku sutradara tahu bagaimana caranya menciptakan film dengan visualisasi yang mampu menghadirkan perasaan was-was dan tidak nyaman. Tone filmya sedari awal dimulai sudah terasa suram sehingga cukup membantu dalam memperkuat sisi misterinya. Bahkan semakin lama film berjalan, nuansanya semakin sureal.
Tentu hal tersebut berkat kinerja teknis dan editing yang sukses menciptakan dunia Gretel & Hansel yang dark and gloomy. Teknik color grading yang diterapkan dalam filmnya sukses menambah kemistisan dunia dalam filmnya. Percayalah, kalian akan dimanjakan dengan sinematografinya.