Sekali lagi aku kasih tahu, tulisan ini dibuat untuk membantu pengkaryanya menjelaskan kenapa karya mereka, dalam hal ini lagu Lathi yang dibuat dan diciptakan oleh Weird Genius dan Sara Fajira terkesan seram dan dekat dengan pemujaan setan. Artikel ini jujur dibuat karena gedeg sama para pengkaryanya yang nggak bisa ngejelasin karyanya sendiri. Terus kenapa bisa serem?
Anggapan Umum Soal Kesenian Tradisi Jawa
Alasan pertama adalah karena anggapan umum soal kesenian tradisi Jawa yang dipahami masyarakat awam. Kebanyakan masyarakat mengenal seni tradisi Jawa dari nonton film horror. Sementara di film horror kesenian Jawa itu diposisikan sebagai objek yang berdekatan dengan setan dan hal-hal negatif.
Padahal tidak semua kesenian tradisi Jawa begitu. Misalnya lagu Lingsir Wengi. Semua orang, semuanya, orang awam, pasti menganggap lagu ini mistis. Padahal kalau ditilik sejarahnya, Lagu Lingsir Wengi itu diciptakkan oleh Sunan Kalijaga sebagai media dakwah. Sama sekali nggak ada itu deket-deket sama setan, manggil kuntilanak atau semacamnya. Lha kok bisa dibilang manggil Kuntilanak? Lha wong yang bikin Sunan kok. Tujuannya buat berdakwah kok bisa jadi manggil Kuntilanak. Hal ini nggak pertama kali aku tulis ya. Kalau kalian search udah banyak penelitian dan artikel yang nyebutin soal asal usul lagi Lingsir Wengi yang sebenarnya. Masalahnya orang Indonesia MALES BACA! Ini aja nggak tahu, apakah artikel ini akan dibaca atau enggak.
Terus soal Lathi sendiri. Sudah disebutkan dan diceritakan oleh si pembuat lagu sendiri bahwa lirik dari lagu Lathi itu soal hubungan diri dengan lisan. Bahwa harga diri seseorang itu terletak pada perkataannya. Nggak ada sedikit pun soal mistis-mistis.
Jadi, wacana semua orang harus dibuka lebar termasuk si empunya karya. Bahwa kesenian Jawa itu atau seni tradisi apapun tidak semua berhubungan dengan setan-setan. Film adalah dunia imajiner. Bahkan ketika diangkat dari kisah nyata. Dia tetap imajinasi karena ada unsur dramatisasi. Jadi jangan menelan mentah-mentah pengetahuan dari film.
Konsep Video Klip Lathi
Cek video klipnya. Atau mungkin kalian udah nonton. Aku pikir ini adalah salah satu alasan terkuat kenapa orang tiba-tiba mengaitkan lagu Lathi sama mistis. Pertama karena darah yang muncul, wajah yang pucat, dan make up yang memang seutuhnya kelihatan seperti “Pemahaman setan pada umumnya”, pucat. Emang setan selalu begitu?
Selain itu juga karena perpindahan wujud dari wajah pucat dan segala darah ke bentuk yang mirip Enchantress atau tokoh dalam film The Mummy. Lalu cara si Sara Fajira berubah ke bentuk tokoh yang lain juga jadi alasan kenapa kesan mistis jadi kuat. Ditambah lagi efek lampu dan video membuat kesan mistis makin kuat.
Semua semiotik atau penanda yang dipilih sama si pengkarya memang mengarah pada hal-hal yang secara awam disepakati sebagai sesuatu yang gelap dan mistis. Hal itu yang membuat pemahaman orang-orang soal lagu Lathi dan menghubungkannya dengan pemujaan setan jadi seolah-olah makin lumrah. Yang lebih kurang asyik lagi adalah seorang ustad dari negeri seberang yang bilang soal pemujaan setan. Lha… ini wacana dan wawasannya udah di perluas belum? Main jeplak aja!
Jadi intinya, kenapa Lathi terkesan seram, karena 2 hal itu. Kesan kesenian tradisi Jawa yang oleh orang awam (karena mereka sebagian besar cuma kenal dari film horror) dianggap mistis, dan konsep video yang penanda-penandanya menggugah alam bawah sadar si penonton ke arah-arah negatif, mistis, dan gelap. Itu tuh, semoga bisa membantu si empunya karya untuk ngejelasin ke para penanya yak.
Sama gini nih, pesen buat para pembuat karya. Kalau mau ngambil bentuk aja sih boleh. Bebas kok. Tapi kalau ditanya soal bentuk karyamu ya bisa jawab donk. Jangan asal ambil bentuk aja tapi nggak tahu pengetahuan soal bentuk yang kamu ambil itu. Hasilnya kalian bisa salah menjelaskan. Kenapa ini penting? Kalau karya kalian yang lagi naik daun, terus ngambil bentuk tradisi, dan karena kalian CUMA ngambil bentuknya aja dan nggak tahu esensi dari bentuk itu, terus ditanya dan bingung ngejawab atau asal ngejawabnya, yang punya bentuk itu bisa kena imbasnya. Contohnya kayak di Lathi ini. Para pengkaryanya emang kulihat cuma ngambil bentuk. Bukan ngambil esensi. Mereka sebatas meminjam bentuk saja. Esensi dan artinya hadir setelah karya tercipta. Nggak masalah, bebas-bebas aja. Tapi bekali diri sebelum ngambil bentuk apapun.
Kalau ditanya dari mana aku bisa bilang begitu, tak kasih tahu. Selama kuliah, aku belajar semiotika, tanda penanda, bikin karya seni, nulis naskah, bikin konsep pertunjukan, dan sangat dekat dengan kesenian tradisi Jawa. Ah, singkatnya, aku akademisi seni lah.
Sama satu lagi, emang, horror itu laku di Indonesia, betul. Tapi ya televisi, tolonglah, jangan di eksploitasi itu kesenian daerah dan di dekatkan ke horor-horor. Niat Weird Genius bagus, tapi malah media menggodoknya ke arah yang…. ah… sudahlah.
Udahlah kesenian daerah susah bertahan, hidup empot-empotan, malah elu deketin ke horor. Stigma masyarakat umum makin negatif. Makin menganggap kalau kesenian daerah itu tidak beradab. Padahal, emangnya sebelum agama masuk, masyarakat kita kurang beradab? Orang sistem kerajaan aja udah ada dari tahun 400 masehi. Kurang beradab dari mananye?!
[zombify_post]