Kintamani merupakan sebuah kecamatan yang terletak di Kabupaten Bangli Provinsi Bali.
Berada pada dataran tinggi dengan ketinggian 900 mdpl, menyebabkan Kintamani memiliki suhu udara yang cukup sejuk yaitu antara 15°C-21°C.
Kintamani merupakan salah satu tujuan destinasi wisata alam karena keindahan panorama berupa pegunungan dan juga danau yang sekaligus memiliki sumber mata air hangat.
Selain dikenal dengan wisata alamnya, Kintamani juga merupakan sebuah kawasan yang sarat akan nilai-nilai religius.
Sebut saja Pura Dalem Balingkang yang terletak di desa Pinggan Kintamani yang memiliki sejarah dan asal-usul dari berbagai versi tentang kisah cinta sang raja yang diyakinin sebagai penyebab munculnya asimilasi dan akulturasi budaya antara Bali dengan China.
Bergelar Paduka Sri Maharaja Aji Jayapangus Arkaja Cihna, Raja Jayapangus memerintah pada tahun 1178 hingga 1181 Masehi.
Pada masa pemerintahan Jayapangus inilah umat Hindu mulai diperkenalkan lebih banyak upacara-upacara dan ritual keagamaan yang bertujuan untuk keselamatan, kesuburan pertanian dan masih banyak lagi upacara yang diperingati untuk kesejahteraan rakyat.
Singkat cerita Jayapangus memperistri seorang putri Tuan Subandar pedagang keturunan Tionghoa (China) bernama Kang Cing Wie (Paduka Sri Mahadewi Cangkaja Cihna), hanya saja konon pernikahan ini tidak disetujui oleh beberapa patih kerajaan, sehingga ketika terjadi bencana letusan Gunung Batur dianggap sebagai pertanda bahwa alampun mengutuk pernikahan berbeda suku tersebut ditambah lagi dari pernikahan mereka tidak memiliki keturunan.
Saat bencana meletusnya Gunung Batur dan timbul berbagai wabah penyakit, atas permintaan dari Putri Kang Cing Wie, Raja Jayapangus memindahkan kerajaan Balingkang ke sebuah Desa bernama Ping An (artinya selamat dalam bahasa Tionghoa) yang sekarang kita kenal bernama Desa Pinggan, dan berkat hal tersebut rakyat yang selamat mulai menghormati permaisurinya yang kemudian sebagai bentuk tanda penghormatan dibangunlah sebuah pura bernama Pura Dalem Balingkang dimana di dalamnya dibangun sebuah pelinggih menyerupai klenteng.
Oleh karena risau akan penerus tahta kerajaan, maka Jayapangus memutuskan untuk melakukan sebuah pertapaan di Alas Gunung Batur.
Dalam perjalanan Jayapangus bertemu dengan Dewi Danu penguasa Danau Batur dan terpesona dengan kecantikannya, Jayapangus pun kemudian memperistri Dewi Danu dan memiliki seorang putra bernama Mayadenawa.
Setelah bertahun-tahun Jayapangus meninggalkan kerajaan, maka Putri Kang Cing Wie memutuskan untuk menyusul suaminya yang tak kunjung pulang, namun betapa terkejut dan terpukulnya Sang Permaisuri mengetahui pernikahan antara suaminya dengan Dewi Danu.
Pertengkaran pun terjadi, Dewi Danu yang merasa dibohongi karena sebelumnya Jayapangus mengaku hendak bertapa mencari petunjuk tentang pendamping hidup nyatanya sudah memiliki seorang istri kemudian mengutuk Jayapangus dan Kang Cing Wei menjadi patung.
Masyarakat yang sedih karena kehilangan sosok raja yang adil, bijaksana dan mengayomi masyarakat memohon kepada Dewi Danu agar diperbolehkan membuat pratima untuk mengenang raja dan permaisurinya, dimana saat ini kita mengenal dengan perwujudan berupa barong landung.
Barong landung yang kita lihat selama ini selalu berpasangan dimana barong laki-laki disebut dengan Jro Gede memiliki perwujudan hitam, besar dan berwajah seram, sedangkan barong perempuan disebut Jro Luh yang memiliki perwujudan cantik, putih dan bermata sipit.
Adapun perwujudan dari asimilasi dan akulturasi kebudayaan yang terjadi pada masa pemerintahan raja Jayapangus dapat dilihat dari adanya sebuah bangunan menyerupai klenteng dengan cat merah dan kuning di Pura Dalem Balingkang dan juga penggunaan uang kepeng (pis bolong) sebagai salah satu sarana upacara.
Demikianlah kisah cinta antara Jayapangus, Kang Cing Wie dan Dewi Danu yang melegenda yang sarat akan nilai moral.
