Perburuan penyihir merupakan suatu tindakan yang dilakukan untuk membasmi kelompok atau sekte yang dinilai sesat oleh institusi keagamaan yang berkuasa pada saat itu di Eropa. Diperkirakan puluhan ribu orang harus dieksekusi dengan cara dibakar hidup-hidup yang berlangsung antara abad ke 15-17 karena tuduhan sebagai penyihir. Sebagian besar tuduhan yang diberikan kepada para penyihir tersebut adalah karena mereka telah melakukan kegiatan sesat, seperti bersekutu dengan Setan, walaupun sebenarnya semua tuduhan tersebut tidak pernah terbukti kebenarannya, sehingga dapat dipastikan bahwa orang-orang yang mati atas tuduhan ini sebenarnya tidak bersalah. Dalam salah satu bukunya yang berjudul Sapi, Babi, Perang dan Tukang Sihir, Marvin Harris mengungkapkan asal mula kemunculannya dan alasan dibalik “penciptaan” para tukang sihir tersebut.
Pertemuan Sabbath dan Penyiksaan
Sebagian besar orang yang mengaku sebagai penyihir pada Abad Pertengahan tidak dengan secara spontan dan terang-terangan mengaku sebagai penyihir , walaupun ada segelintir kasus yang memang orang tersebut mengaku dapat terbang di udara dan menghadiri pertemuan sabbat. Yang sebenarnya terjadi adalah pengakuan tersebut dibuat di bawah tekanan penyiksaan berat yang dilakukan oleh para penyidik. Para penyidik tersebut tidak akan berhenti menyiksa hingga sang tertuduh mengaku bahwa dia adalah seorang penyihir, namun jika dia terus menyangkal maka tingkat penyiksaan akan ditingkatkan. Walaupun begitu penyidik tidak akan puas dengan pengakuan yang diberikan oleh sang tertuduh, tetapi penyidik akan terus mencari tahu hingga “penyihir” tersebut memberikan sejumlah nama lainnya tentang siapa saja yang menghadiri pertemuan sabbat. Nantinya apapun pengakuan yang telah diberikan oleh penyihir, nyawa dari sang tertuduh tetap tidak akan terselamatkan dan hanya ada dua pilihan yang menanti mereka, entah mati dibakar hidup-hidup atau disiksa hingga mati.
Fakta yang mengejutkan adalah 80 persen dari korban perburuan penyihir pada abad ke 15-17 adalah wanita. Pada buku panduan perburuan penyihir, “Malleus Maleficarum” yang dibuat oleh Heinrich Kramer dan Jacob Springer , dikatakan bahwa wanita lebih lemah daripada pria dalam urusan menahan nafsu sehingga menjadikan wanita merupakan target yang lebih mudah terhadap godaan Setan. Panduan ini juga menggambarkan segala aktivitas seksual yang dilakukan para wanita tertuduh itu dengan Setan dan para pengikutnya.
Dalam banyak literatur dan budaya populer, penyihir selalu digambarkan sebagai seorang wanita paruh baya yang mengendarai tongkat sapu dan terbang di malam hari. Ilustrasi mengenai penyihir yang seperti ini pertama kali muncul dalam sebuah manuskrip dari seorang penyair Martin Le Franc pada tahun 1451. Menurut antropolog Robin Skelton, hubungan antara penyihir dan sapu terbangnya, dapat berasal dari salah satu ritual pagan yang menggambarkan para petani pedesaan pada masa itu menari bersama dengan tongkat dan gagang sapu di bawah cahaya bulan yang dipercayai dapat meningkatkan kesuburan tanaman pertanian, yang di kemudian hari disalah artikan sebagai ritual penyihir.
Sementara itu Professor Michael Harner mengungkapkan bahwa penyihir dan sapu terbang berasal dari aktivitas sejumlah orang pada abad ke-17 yang mengurapi dirinya dengan sejenis balsam sebelum mereka menghadiri “pertemuan”. Cairan balsam yang digunakan pada Abad Pertengahan menurut ahli farmakologi David Kroll berasal dari tanaman seperti nightshade, henbane, mandrake, dan jimsonweed, yang semuanya itu menghasilkan efek kimia halusinogen. Dengan begini jika memang ada penyihir pada Abad Pertengahan, sebenarnya mereka hanyalah sekelompok orang yang gemar memabukkan dirinya dan berhalusinasi dengan cara mengurapi tubuhnya dengan cairan balsam tersebut.
Rahasia Di Balik Kegilaan Perburuan Penyihir
Salah satu yang menjadi teka-teki dibalik perburuan penyihir ini adalah, bahwa perburuan ini tidak berlangsung sejak awal Abad Pertengahan tetapi hanya berlangsung pada akhir Abad Pertengahan, atau lebih tepatnya pada abad ke-15 sampai abad ke-18, atau mengapa baru dilakukan pada masa itu dan tidak pada masa-masa sebelumnya. Untuk mengetahui jawaban dari teka-teki tersebut, perlu dilihat terlebih dahulu mengenai kondisi sosial-ekonomi pada masyarakat Eropa kala itu. Sejak abad ke-11 banyak terjadi perubahan di Eropa, perubahan tersebut begitu terasa bagi masyarakat pedesaan yang kepemilikan tanahnya dipecah-pecah dan digantikan dengan sistem penyewaan tanah, akibatnya banyak dari kaum petani yang pindah ke kota dan menjadi buruh upahan. Kondisi ini masih diperparah dengan adanya kelaparan, wabah penyakit, perang tiada henti antar bangsawan maupun antar kerajaan, semnatara di tengah kesulitan kaum menengah ke bawah tersebut, kaum bangsawan dan agamawan Gereja Katolik masih merasakan banyak kemewahan.
Di tengah kondisi masyarakat yang penuh dengan keterbatasan dan keputusaan, munculah gerakan yang oleh Marvin Harris disebut sebagai militer-mesianis. Gerakan ini pada umumnya memiliki ciri khas yaitu memiliki pemimpin kharismatik, mengangkat isu-isu seputar perlawanan kepada kelas atas, pembagian dan pemerataan kekayaan serta satu hal yang pasti memusuhi kaum agamawan Gereja yang dinilai sebagai Antikristus yang sebenarnya. Di banyak negara-negara Eropa gerakan ini banyak mendapat dukungan dari kaum miskin. Terkadang gerakan ini juga muncul menjadi suatu kelompok yang radikal dengan tindakan yang tergolong ekstrem. Seperti misalnya sekelompok orang yang suka berkeliling jalan dan mencambuk dirinya, mengklaim bahwa darah mereka adalah memiliki kemampuan menebus dosa, dan tidak segan untuk menyerang pastor yang sedang mengadakan misa dan menyita barang-barang gereja. Kelompok lainnya seperti kelompok Hussit memaksa para pastor untuk menjalani kaul kemiskinan, yang kemudian di respon Paus dan sekutunya dengan tindakan yang represif. Namun inti dari sebagian besar gerakan ini adalah melawan masyarakat kelas atas yang hidup bergelimang harta di tengah penderitaan masyarakat, kelas atas dalam konteks ini adalah golongan bangsawan dan agamawan Gereja Katolik.
Lalu apakah hubungan dari semuanya ini dengan perburuan penyihir? Yang semakin ganjil adalah perburuan besar-besaran terhadap penyihir justru dimunculkan pada saat sumber daya Gereja sedang habis karena harus menghadapi pergolakan akibat gerakan militer-mesianis ini. Inkuisisi yang salah satu tujuannya untuk menghilangkan para pengikut ajaran sesat, dalam hal ini sebenarnya justru berperan dalam menciptakan penyihir itu sendiri, sehingga sihir dapat terlihat dan makin dipercayai. Perburuan terhadap penyihir bukanlah untuk mengejar tujuan surgawi, tetapi lebih kepada menyelesaikan permasalahan duniawi yang pelik. Peristiwa seperti gagal panen, keguguran, pajak yang tinggi hingga lapangan pekerjaan yang jarang semuanya itu dapat dikaitkan dengan kegiatan para penyihir dan banyak dari masyarakat yang mempercayai itu. Seseorang bahkan dapat berakhir di tiang pembakaran hanya karena tetangganya merasa melihat orang tersebut terbang ke pertemuan sabbath dalam mimpinya. Hal ini kemudian membuat masyarakat diliputi rasa cemas dan kecurigaan, menjauhkan mereka antara satu dengan lainnya.
Dengan begitu tujuan sebenarnya dari kegilaan dari perburuan penyihir bukan karena untuk menumpas ajaran sesat, tetapi lebih kepada untuk meredam gejolak yang ditimbulkan gerakan militer-mesianis. Gerakan militer-mesianis yang sebelumya dapat membuat rakyat miskin dan terampas merasa jarak sosial diantara mereka semakin menyusut sehingga memiliki satu kesatuan karena persamaan nasib dengan semangat berkobar untuk melawan kelas penguasa, pada akhirnya menjadi padam. Ini dikarenakan perburuan penyihir memiliki konsekuensi yang berkebalikan dari gerakan militer-mesianis, yang membuat rakyat semakin tercerai-berai akibat rasa tidak aman dan kecurigaan di antara mereka sendiri. Tidak hanya itu saja , Gereja dan institusi sekuler pendukung yang sebelumnya menjadi sasaran kritikan dan amarah dari masyarakat kelas bawah, dengan adanya perburuan penyihir kemudian berbalik posisinya dan membuat masyarakat merasa bergantung kembali terhadap kaum agamawan dan institusi sekuler pendukungnya.
Referensi :
Harris, Marvin. 2019. Sapi, Babi, Perang dan Tukang Sihir. Tangerang Selatan : Marjin Kiri