Kabar hilangnya Marshanda di Los Angeles menghebohkan warganet di media sosial.
Kabar ini pertama kali diungkapkan oleh teman Marshanda bernama Sheila Salsabila melalui Instagram Story miliknya.
Marshanda disebut menghilang oleh kerabatnya karena dalam keadaan Manic Episode, yaitu gejala umum yang dialami oleh pengidap bipolar.
Namun dibalik kisah bipolar yang diderita oleh Marshanda sejak 2009 lalu, ibu 1 anak ini sempat membagikan kisahnya untuk berdamai dengan dirinya sendiri melalui Channel YouTube Merry Riana.
1. Tetap berpikir positif meskipun dihujat

Sejak videonya viral saat Marshanda sedang meluapkan emosinya, publik seolah-olah memberikan label negatif kepada dirinya.
Meski begitu wanita yang kerap dipanggil Chacha ini tidak terlalu mengambil hati komentar-komentar negatif yang ditujukan untuk dirinya.
“Ketika lagi liat sosial media, terus ada komentar-komentar yang sinis atau dan ejek aku, I would say, apa yang si A ucapkan buat orang lain, sebetulnya menggambarkan dirinya sendiri,” ungkap Marshanda.
“So, jadi aku belajar ingetin diri sendiri bahwa itu sebenarnya mereka ngomongin diri mereka sendiri kok. Ini melatih diri untuk lebih compassionate,” jelas Marshanda.
2. Mengungkapkan perasaan adalah salah satu cara untuk membersihkan emosi negatif

Marshanda juga mengungkapkan bahwa seseorang yang meluapkan emosinya berlarut-larut adalah hal yang sangat wajar.
Terlebih jika ia sudah menahannya sejak lama atau bahkan emosi yang ia sudah tumpuk saat masih kecil adalah hal yang normal.
Karena ketika seseorang meluapkan emosinya akan terkesan berlebihan oleh orang sekitarnya, padahal jika dilihat dari masa lalunya kita bisa memahami mengapa emosi tersebut sangat berlarut-larut.
3. Katakan 4 hal ini kepada diri sendiri
Marshanda juga mengungkapkan bahwa dirinya kerap membuat surat yang merupakan salah satu terapi penyembuhan diri yaitu Hoʻoponopono.
“Kita cari ruangan kosong, matikan hp dan kunci pintu. Kita duduk, tenang dan kita tulis,” jelasnya.
“Paragraf satu, setiap kalimatnya dimulai dengan kata ‘I’m sorry’, lalu paragraf kedua, setiap kalimatnya diawali dengan kata ‘Please, forgive me’, lalu paragraf ketiga dimulai dengan kata ‘Thank you’ dan paragraf keempat dimulai dengan kata ‘I love you’,” tambahnya.
Menurutnyaketika menulis surat Hoʻoponopono itu benar-benar totalitas, bahkan menulis sambil menangis dan keluar airmata, justru itu lebih bagus dan harus ada rasa seperti benang yang putus.
“Dan itu kita harus, menulis sampai kita menangis dan keluar air mata, ‘it’s better’ dan harus ada kayak rasa benang yang keputus, gitu. Itu tandanya kita ‘heal’,” ungkap wanita kelahiran 32 tahun silam ini.