Biografi Johan Galtung: Bapak Studi Perdamaian

Dimas Sigit Cahyokusumo

Biografi Johan Galtung: Bapak Studi Perdamaian

“Banyak yang cinta damai tapi perang semakin ramai”

(Lagu “perdamaian”, GIGI, 2005)

Sepenggal lirik lagu “perdamaian” yang dipopulerkan oleh grup band GIGI di atas tentunya selalu mengingatkan kita bahwa perdamaian merupakan keadaan yang selalu ingin dicapai umat manusia di seluruh dunia.

Namun, pertanyaannya apakah yang dimaksud dengan perdamaian itu? Mungkinkah perdamaian bisa diwujudkan?

Pertanyaan-pertanyaan di atas lahir bukan tanpa alasan mengingat akhir-akhir ini banyak konflik sosial yang terjadi.

Konflik yang terjadi pun beragam variasi mulai dari skala besar seperti konflik etnis, agama atau seperti konflik saat ini antara Ukraina dan Rusia atau Israel dan Palestina, misalnya.

Hingga konflik skala kecil seperti konflik dalam keluarga, rekan kerja, teman atau di media sosial.

Secara sederhana, setiap manusia tentu mendambakan kehidupan yang penuh dengan keharmonisan dan kedamaian, terbebas dari belenggu kekerasan.

Kemudian dengan segala potensi yang dimilikinya bisa melakukan aktivitas tanpa adanya ancaman teror dari pihak manapun.

Hal di atas itulah yang kemudian menjadikan ilmu atau kajian tentang studi perdamaian menjadi penting untuk dibahas.

Maka tidak heran jika sejak dahulu para filosof, ilmuwan, aktivis politik dan pemikir sosial banyak menulis tentang dan menyuarakan “perdamaian” serta mengecam segala bentuk kekerasan termasuk perang.

Dan salah satu pemikir itu adalah yang dijuluki sebagai “bapak studi perdamaian”.

Biografi Johan Galtung

Siapa sebenarnya Johan Galtung yang dijuluki sebagai “bapak studi perdamaian” itu?

Johan Vincent Galtung lahir 24 Oktober 1930 adalah seorang sosiolog Norwegia, dan pendiri utama disiplin studi perdamaian dan konflik.

Dia adalah pendiri utama Peace Research Institute Oslo (PRIO) pada tahun 1959 dan menjabat sebagai direktur pertamannya hingga 1970.

Ia juga mendirikan Journal of Peace Research pada tahun 1964.

Pada tahun 1969 ia ditunjuk sebagai ketua pertama di dunia dalam studi perdamaian dan konflik, di Universitas Oslo.

Potret Johan Galtung, Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Johan_Galtung
Potret Johan Galtung, Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Johan_Galtung

Johan Galtung sendiri sebenarnya lahir dari seorang ayah keturunan aristokrat Norwegia, berpendidikan dokter, wakil walikota Oslo tahun 1920, dan kepala rumah sakit Oslo.

Namun, alih-alih mengikuti jejak sang ayah sebagai dokter Galtung memilih jalan hidup yang bertolak-belakang.

Pada tahun 1956 ia mendapatkan gelar Ph.D dalam bidang matematika, dan pada tahun 1957 dalam bidang sosiologi.

Dengan mengelilingi literature ilmu sosial multidisiplin, Galtung pernah menjadi asisten profesor matematika di Universitas Columbia di New York pada usia 27 tahun.

Dan pernah ditawari jabatan di Universitas Columbia sebagai pengajar. Tetapi dia lebih memilih untuk kembali ke Oslo dimana dia mendirikan PRIO, dan mengajar ribuan mahasiswa di banyak universitas dan institut di seluruh dunia, dan mengilhami mereka mendedikasikan hidup mereka untuk perdamaian.

Adapun tujuan Johan Galtung mengilhami seluruh mahasiswa mendedikasikan hidup pada perdamaian bukan tanpa alasan.

Melainkan terinspirasi dari perjalanan intelektualnya, sebagaimana yang pernah diceritakannya.

Pengalaman pertamanya dengan studi perdamaian dalam bentuk konkret, yakni ketika serdadu Jerman menguasai kotanya. Pengalaman kedua ketika dia berurusan dengan wajib militer.

Kedua pengalaman itu dalam diri Galtung ternyata meninggalkan kesan yang pahit.

Yang pertama, berwujud penindasan atas bangsanya yakni ketika ayahnya disekap di kamp konsentrasi dekat Oslo.

Yang kedua, berwujud penindasan atas dirinya sendiri di dalam penjara karena saat itu Galtung menolak untuk wajib militer.

Dari pengalamannya itu Galtung kemudian bertekad akan mendedikasikan hidupnya untuk mengembangkan studi yang mampu menghapuskan penindasan (Windhu, 1992).

Untuk mewujudkan tekadnya itu Galtung berkenalan dengan gagasan Mahatma Gandhi melalui Arne Naess, profesor filsafat di Universitas Oslo.

Guru dan murid ini kemudian melakukan kolaborasi yang sangat serius hingga pada tahun 1955 mereka menerbitkan sebuah buku berjudul “Gandhis Politiskeetikk”, suatu studi mengenai pemikiran dan praktik politik tanpa kekerasan Mahatma Gandhi (Windhu, 1992).

Sejak saat itu Galtung mulai banyak mengembangkan studi perdamaian, konflik, dan kekerasan.

Pemikiran Galtung Tentang Perdamaian

Sebagai orang awam kita selalu memandang perdamaian secara permukaan, yakni perdamaian selalu dimaknai tidak adanya perang nuklir, invansi militer, baku hantam, lempar-lemparan batu, atau kerusuhan.

Tetapi, menurut Galtung perdamaian tidak bisa hanya dilihat dari permukaan saja. Namun harus dilihat secara menyeluruh dalam realitas kehidupan manusia.

Oleh karena itu, Galtung mendefinisikan perdamaian menjadi dua, yakni; 1). Perdamaian negatif dan 2).

Perdamaian positif. Perdamaian negatif sendiri menurut Galtung didefinisikan paling sederhana sebagai tidak adanya kekerasan secara fisik.

Artinya jika kita tidak melihat adanya lempar-lemparan batu, kerusuhan, pembarakan, pembunuhan, atau baku hantam itu masuk di dalam kategori perdamaian negatif.

Sedangkan tindakan yang diambil untuk mencapai perdamaian negatif adalah tindakan yang bertujuan untuk menghentikan kekerasan atau konflik yang terjadi, seperti pengamanan kepolisian misalnya.

Namun, tidak adanya konflik atau kekerasan secara fisik tidak selalu berarti bahwa masyarakat itu damai.

Tetapi harus dilihat secara perdamaian positif yang menurut Galtung perdamaian tercapai bukan saja melalui genjatan senjata atau tidak adanya perang, melainkan hilangnya kekerasan atau konflik secara struktural dan budaya.

Atau dalam artian perdamaian positif adalah penentangan apa yang dikenal sebagai ‘struktur dan budaya kekerasan’, seperti penindasan, kemiskinan, ketidakadilan, perbudakan, dan eksploitasi sumberdaya alam.

Sehingga jika masih terjadi adanya penindasan dan ketidakadilan di tengah-tengah masyarakat maka perdamaian sulit untuk dicapai.

Disini menurut Galtung upaya untuk mencapai perdamaian postif tidak cukup hanya dengan pengamanan aparat berwenang, misalnya.

Melainkan aspek utamanya adalah kerja sama antar berbagai aktor, yang sering terlihat melalui upaya peacebulding, yakni bekerja untuk menggantikan struktur yang memperkuat kekerasan dan perang dengan memperkuat perdamaian.

Dan itu dilakukan melalui proses komunikasi non-kekerasan yang berfokus pada berbicara dan mendengarkan dengan cara yang menekankan pemenuhan kebutuhan hak-hak hidup (keadilan sosial dan kesejahteraan) semua orang dan mengedepankan kasih sayang.

Perdamaian positif dan negatif menurut Johan Galtung tidak bertentangan, akan tetapi saling melengkapi. Supaya masyarakat benar-benar damai tanpa kekerasan fisik dan struktural.

Variasi Perdamaian Positif dan Negatif

Perdamaian Positif

  •  Menghadirkan Keharmonisan
  • Menghadirkan Kasih Sayang
  • Menciptakan Keadilan Sosial
  • Menciptakan Ketenangan
  • Menghadirkan Kemanusiaan

Perdamaian Negatif

  • Mengurangi Peperangan
  • Mengurangi Kekerasan
  • Menghilangkan Penindasan
  • Mengurangi Konflik
  • Mengurangi Kejahatan

Karya-Karya Johan Galtung

Untuk mengembangkan pemikirannya dalam studi perdamaian Galtung telah menyumbangkan penelitian dan wawasan orisinal ke banyak bidang intelektual, termasuk transformasi konflik, rekonsiliasi, hubungan internasional, dan hak-hak asasi manusia.

Galtung sejauh ini telah menerbitkan lebih dari 150 buku dan lebih dari 1500 esai, artikel, dan makalah dalam jurnal ilmiah, yang diterjemahkan ke dalam lebih dari 30 bahasa.

Atas dedikasinya dalam studi perdamaian Galtung telah dianugerahi hadiah nobel alternatif. Diantara beberapa karya-karya Galtung adalah; 1).

Peace by Peaceful Means: Peace and Conflict, Development and Civilization (terbit tahun 1996), 2).

Johan Galtung: Pioneer of Peace Research (terbit tahun 2013), 3). Reporting Conflict: New Directions in Peace Journalisme (terbit tahun 2010), 4).

Searching for Peace: The Road to Transcend (terbit tahun 2000), 5). Choose Peace: A Dialogue Between Johan Galtung and Daisaku Ikeda (terbit tahun 1995).

Johan Galtung telah menghasilkan perangkat konseptual yang unik untuk penyelidikan empiris, kritis, dan konstruktif tentang masalah perdamaian.

Tentu hal yang dilakukan oleh Galtung ini melalui pemikirannya sangat-sangat tepat jika diaktualisasikan di negara Indonesia yang penuh dengan keragaman.

Sehingga lagu “perdamaian” yang dipopulerkan oleh GIGI dapat menemukan momentumnya.

Daftar Pustaka

Windhu, M. (1992). Kekuasaan & Kekerasan Menurut Johan Galtung. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Follow Digstraksi di Google News

Baca Juga

Rekomendasi