Hari ini Kamis. Dari jauh nampak Slamet sedang berjalan dengan tergesa-gesa sambil membungkuk. Kepalanya menunduk, dan satu tangannya mendekap sebuah buntelan yang entah berisi apa.
Melihat hal tersebut, Sarmin yang sedari tadi sedang menyeruput es cincau di warung Mbok Pah merasa curiga. Ia mengamati laju jalan Slamet yang lintas di depannya tanpa sedikitpun menoleh atau berniat menyapa teman masa kecilnya ini. Sarmin terus melekatkan kedua matannya kepada Slamet di malam yang lumayan sunyi hingga ia berlalu saja dan hilang dari jangkauan netranya.
Sedikit tersedak, otaknya terngiang akan sekejap mengenai buntelan yang ada di tangan kanannya itu, warnanya putih, berbentuk persegi panjang, dan sedikit pipih.
“Masak batu nisan?” Gumam Sarmin.
Dengan sedikit tergesa ia lalu menaruh gelas Mbok Pah di meja warung dan bergegas pergi menyusul Slamet. Sekiranya ada 20 kali langkah kaki Sarmin berlari mengejar Slamet yang akhirnya tercapai seimbang.
“Met, tunggu Met”
Mendengar teriakan Sarmin, Slamet lalu menghentikan langkah kakinya. Ia menoleh dan menghadapkan kepala serta wajah datar tanpa menjawab sepatah kata pun dari mulutnya.
“Eh, Lu dari mana Met jam segini. Trus ntuh putih-putih apaan?” Tanya Sarmin dengan napas yang terengah-engah.
Namun sepertinya keberuntungan tidak memihak Sarmin. Slamet, kawan yang biasanya renyah diajak bicara serta sosok yang ceria apabila bertemu rekannya kini hanya diam dan melempar tatapan kosong. Slamet membisu, dan ia seolah melamun atau dalam keadaan pikiran yang bercabang. Melihat hal itu, Sarmin merasa lebih aneh. Ditambah angin malam yang berhembus, mengimbuhi perasaan merinding pada dirinya. Tak habis pikir ia-Sarmin, mengamati kelakuan ganjil Slamet kawannya itu yang sejurus kemudian malah meninggalkan Sarmin pergi begitu saja dan langsung masuk ke dalam rumahnya.
Masih dalam posisi di tempat yang sama, Sarmin berdiri keheranan. Ia berkacak pinggang dan memiringkan kepalanya ke kiri sedikit sembari mengingat bayangan Slamet yang masih menempel di benaknya-bagaimana ia terus lurus hingga sampai di ambang pintu sebelum masuk lalu lanjut sampai menghilang.
Kemudian setelahnya, Sarmin memutar ingatannya ke tiga hari yang lalu. Di mana ia dan Slamet masih bisa nongkrong di warung Mbok Pah dan sekotak papan catur yang hendak tuntas dimenangkan olehnya.
“Skak” Kata Sarmin kala itu.
“Ah curang Lu, harusnya Gua tadi gerakin kuda terus makan ratu Lu, Min” Ujar Slamet.
“Ya itu salah Lu sendiri Met, ga pake taktiknya di awal. Udah tahu ada kesempatan malah dibiarin.”
“Tau Ah”
“Eh ntuh apaan Met?”
“Mana? Oh ini, ini buku”
“Hah, sejak kapan Lu rajin baca buku? Kuliah aja kagak, kok mendadak kutu buku anda sekarang”
“Yaelah, alay Lu. Orang baca buku ga mesti anak kuliahan kali Min. Lagian ini bukan buku sembarang buku. Ini buku yang haram dibaca” Tegas Slamet.
“Hah, aneh-aneh aja Lu. Coba sini liat Gua bukunyah, pake dibuntel segala lagi.”
“Eh jangan. Kan udah Gua bilang ini tuh buku haram dibaca.”
“La kalo haram dibaca, kenapa Elu bawa. Pastinya Lu baca juga kan”
“Haram! Ah tau lah, Gua pulang dulu. Assalamualaikum”
“Et dah?! Songong banget Lu. Waalaikumsalam”
Nah… Sampai sini akhirnya Sarmin paham. Mungkin atau jangan-jangan buntelan putih pipih yang dibawa Slamet tadi adalah buku yang sama seperti tiga hari yag lalu. Tapi buku hanyalah buku, dan untuk alasan Slamet yang semakin cuek masih menjadi tanda tanya besar bagi Sarmin.
***
Keesokan harinya, kala siang menjelang sore. Dan waktu menunjukkan pukul 15.00, serta hari berada di nama Jum’at. Sarmin memutuskan dengan tekad yang bulat untuk mendatangi Slamet di rumahnya. Setelah ia pikir-pikir semalaman, ia takut jika Slamet sedang membaca buku yang salah, buku yang mengandung guna-guna atau semacamnya. Ia takut jika sahabat karibnya sejak kecil itu dapat berubah dengan cepat selama tiga hari hanya terpengaruh dari sebuah buku misteerius dengan buntelan putih seperti kain kafan itu.
Tak menunggu lama setelah pintu rumah diketuk, Slamet keluar menunjukkan batang hidungnya dengan keadaan yang lebih buruk dari tadi malam saat Sarmin tengah mengejar dan menghampirinya. Matanya tampak sangat merah lelah, kantung matanya lebih hitam, dan raut muka yang sungguh-sungguh kucel sangat lesu.
Melihat hal dmeikian Sarmin lantas bertanya kepada Slamet perihal kondisinya yang bukan lagi mirip seperti manusia sehat tapi lebih ke penderita asam lambung tingkat akut. Awalnya Slamet hanya menggeleng-gelengkan kepala dan enggan bicara. Tapi setelah didesak terus menerus oleh Sarmin, akhirnya terjadilah sebuah diskusi singkat mengapa ia-Slamet bisa menjadi seperti saat ini.
Dua jam tuntas bercerita, akhirnya Sarmin-sembari menyeruput air putih yang diberikan oleh Slamet sebagai suguhan sederhana, dapat menyimpulkan jika Slamet fix terkena gangguan buku yang ia peroleh tepatnya empat hari yang lalu itu.
Slamet mengatakan jika buku dengan buntelan kain putih itu adalah titipan seorang kakek tua yang harus diberikan kepada ibunya. Lantas karena penasaran, Slamet meminta izin untuk ikut membacanya. Tapi kakek tua itu bilang, haram. Hanya ibunya seorang yang boleh membaca buku itu. Sewaktu kembali pulang dari permainan catur bersama Sarmin, Slamet lantas menemui ibunya dan berencana memberikan buku yang berasal dari kakek tua yang ia temui tadi paginya. Tapi sang ibu menolak lantang-lantang. Seolah sudah tahu apa yang akan terjadi, akhirnya Slamet disuruh untuk menyerahkan kembali buku tersebut tiga hari kemudian atau tepatnya pada hari Kamis malam atau malam Jum’at. Sebab pada saat itulah kakek tua itu berjanji untuk menerima laporan dari Slamet, bagaimana tentang jawaban dari ibunya.
Slamet yang taat dan patuh hanya mengiyakan perintah dari sang ibu, ia lalu menaruh buntelan yang berisi buku itu di atas lemarinya. Tapi sepanjang malam, ketika hendak tidur, ia selalu saja dihantui rasa penasaran. Ia ingin membuka dan membaca isi dari dalam buku tersebut. Hingga sampailah hari ke mejadi Kamis, dan waktu menunjukkan pukul 21.00.
Maka Slamet lekas pergi tergesa, berjalan cepat-cepat agar tidak ada orang yang curiga kepadanya untuk menemui kakek tua itu, termasuk Sarmin. Sayangnya, di tengah perjalanan alias di depan warung Mbok Pah, niat baik Slamet berubah menjadi niat buruk. Ia benar-benar penasaran dengan apa-apa yang tertulis di dalam buku ini. Hingga ia pun mengurungkan niatnya untuk mengembalikan buku tersebut dan memutar balik arah kakinya menuju rumah. Saat bertemu dengan Sarmin pun ia tak mampu menjawabnya. Ia lalu pulang, dan sampailah di kamarnya. Ia buka cepat-cepat tali yang mengikat buntelan putih ini. Cukup tebal, sampai berjumpalah ia dengan sebuah buku bersampul cokelat usang berukuran sedang.
Krak
Bagian depan buku yang menunjukkan usia tuanya terbuka, dan tenggelamlah Slamet dalam setiap bacaan.
“Terus apa isinya?” Tanya Sarmin penasaran.
“Seharusnya Gua memang enggak baca buku yang haram ini Min. Harusnya Gua tetap patuh dan tidak dengkal. Gua bener-bener nyesel sekarang”
“Yaelah iya iya, emang urusan nyesel mesti di belakangan. Terus sekarang isi ntuh buku apaan kok bisa buat Lu jadi kek demit hidup gini ha?!”
Slamet menggelengkan kepalanya sejenak. Ia lalu mengambil napas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan kasar.
“Isinya pribadi….Itu, rupanya buku harian ibuk Gua Min”
“Bwahahaha. Yaelah gitu aja Met. Gua kira apaan Lu bis-“
“Yang ngejelasin kalau Gua ini sebenarnya anak haram, dan kedua orang tua Gua bukan mereka yang bener-bener ada di rumah sekarang”
“Hah!” teriak Sarmin dengan posisi mata melotot-tidak percaya.
Keadaan lalu menjadi hening untuk beberapa saat. Hingga tanpa disadari jika Ibu Slamet juga menguping dari balik tembok tempat mereka berbincang saat ini. Ia-ibu Slamet, lantas keluar dari persembunyiannya dan memandangi Slamet dengan mata yang berkaca-kaca. Setelah itu, Sarmin berpamitan pulang, sungkan dengan keadaan alias tepatnya memosisikan diri yang menjelaskan jika ia bukan siapa-siapa untuk ikut campur, dan sisanya hanya ada kata HARAM yang terus terngiang-ngiang dalam isi kepala Sarmin. Ia melangkah dengan gontai, dan turut merasa bersalah atas entah yang sebab apa pula.