Seluruh penghuni bumi seolah sedang berada di atas roller coaster, dibawa melaju dalam kereta kecepatan tinggi bernama Covid-19, terseok-seok mendaki jalan terjal lalu seketika terjun di lembah curam. Semakin banyak gejala Covid-19 bermunculan, membuat masyarakat awam hanya mempunyai 2 pilihan, yaitu antara ketakutan berlebihan dan tidak peduli sama sekali.
Dua pilihan itu pasti punya risiko sendiri-sendiri. Kalau takut berlebihan, kemudian hanya mengurung diri di rumah maka untuk sementara angka positif Covid-19 pasti turun tapi roda perekonomian bisa hancur dan itu juga menjadi petaka besar untuk sebuah sistem yang bernama negara. Sedangkan jika masyarakat mengambil keputusan tidak peduli, semua masih bekerja dengan normal, bisa dipastikan semua orang bakal mengidap Covid-19, rumah sakit penuh, BPJS kewalahan membayar tagihan biaya pengobatan anggotanya, demo besar dimana-mana… ya sama saja sih, sistem sebuah negara akan hancur juga.
Banyak sekali gejala-gejala Covid-19 yang bermunculan. Baru selesai para dokter mengatasi gejala demam tinggi; gagal nafas dan serangan tak terkendali penyakit bawaaan, lalu muncul gejala hilangnya indera penciuman, tak berapa lama muncul lagi gejala hepi hipoksia, dan di akhir tahun ini yang masih hangat didengungkan di TV adalah gejala Delirium.
Covid-19 ini bertingkah seperti artis baru yang terus menerus mengiklankan dirinya demi mendapat banyak followers. Mungkin di awal-awal kemunculannya, banyak orang yang tertarik, tapi kalau terus-menerus ia memborbardir maka masyarakat bisa jenuh dan lama kelamaan tidak peduli. Apalagi gejala yang diunggah makin lama makin menyerupai penyakit lain, alias makin tidak spesifik, seperti artis yang kalap menjual konten apa saja demi meraup endors dan followers.
Misalnya gejala hepi hipoksia. Penderita penyakit jantung juga bisa mengalami gejala hepi hipoksia seperti sesak napas, kelelahan luar biasa, bahkan bisa pingsan karena kekurangan oksigen dalam jantung. Hepi hipoksia bisa juga dialami ketika kita mendaki gunung atau menyelam di kedalaman tertentu. Penderita Anemia parah juga bisa mengalaminya.
Sekarang muncul gejala baru yaitu Delirium.
Apa sih itu? Delirium itu dislokasi atau seseorang menjadi kebingungan dia sedang ada dimana, lagi apa, atau sedang bicara sama siapa.
Bukan hanya Covid-19 yang bisa memicu Delirium, tapi kalangan usia lanjut di atas 65 tahun juga mengalaminya, istilahnya Pikun. Orang yang habis minum alkohol berlebihan juga bisa. Orang kekurangan gizi alias kelaparan berat juga bisa kena delirium, dia gak tahu warung mana lagi yang bisa dia utangin.
Kalau pingin lihat seperti apa ekspresi orang yang Delirium bisa nonton di youtube orang-orang yang lagi sakau atau ketinggian pakai obat narkoba. Mereka rata-rata bertingkah gelisah, tidak bisa fokus, kemampuan berpikir atau menganalisa sesuatu sangat menurun, emosional atau gampang marah, sulit diajak bicara.
Kalau sudah pernah melihat orang ketinggian pakai narkoba maka seperti itulah kira-kira ekspresi gejala Delirium. Jadi gejala Covid-19 ini makin lama makin melebar kemana-mana, tidak spesifik pada satu ciri khas. Akibatnya semua penyakit bisa saja dihubung-hubungkan dengan Covid-19. Dari gejala migren karena sedang menstruasi sampai tremor karena sakit Alzheimer bisa dikaitkan dengan Covid-19.
Masyarakat yang gagal faham bahasa kedokteran akan dengan mudah ketakutan lalu membawa semua anggota keluarganya yang punya gejala Delirium ke rumah sakit, akibatnya rumah sakit penuh, tagihan BPJS membengkak dan negara kita sakau karena kebingungan harus mencari hutangan kemana lagi untuk membayar biaya rumah sakit, negara kita dislokasi, negara mengalami Delirium.
Menurut petuah nenek saya tidak akan pernah mengalami delirium karena sudah meninggal, ia berkata “Masalah besar dikecilkan, masalah kecil dihilangkan.” Delirium ini bukan penyakit menular seperti flu atau TBC, jadi sebisa mungkin tidak perlu dibawa ke rumah sakit, kecuali penderita delirium disertai demam tinggi, sesak napas parah maka cepat dibawa ke ICU rumah sakit. Atau kalau tetap ingin dibawa berobat ya ke klinik dokter saja, yang tidak perlu bertemu banyak orang. Delirium itu lebih ke masalah kejiwaan, takutnya ketika kita bawa anggota keluarga kita yang salah masuk rumah tetangga itu ke rumah sakit malah disuruh konsultasi ke dokter jiwa, bukannya di tes SWAB.