Kreativitas masyarakat +62 memang tidak diragukan lagi. Semua bisa dilihat dari berbagai dimensi mulai hal genting macam politik hingga sesuatu yang biasa saja semacam makanan.
Khusus untuk makanan, kreativitas orang Indonesia bisa dikatakan sering mencapai batas maksimal dan melampauinya. Khususnya dalam beberapa tahun belakangan ini.
Tengok saja beberapa brand yang diluncurkan dengan memakai nama-nama bombastis semacam nasi goreng jancuk, mie setan, mie akhirat, kopi lan hati, ayam goreng menangis, dll.
Nama vs Kualitas
Bagi Shakespeare, apa artinya sebuah nama. Tapi untuk masyarakat kita, nama itu sangat berarti. Bahkan bisa dibilang mencari sebuah nama diperlukan proses panjang yang menghabiskan energi, hingga lupa esensi sebenarnya : rasa.
Sebut saja tiga produk nasi goreng. Mari kita samarkan namanya, Nasi Goreng Ibu Tiri, Nasi Goreng Penuh Ratap, Nasi Goreng Menjerit Guling-guling. Semua terdengar heboh, bombastis, hiperbolis dan luar biasa. Tetapi pada dasarnya dan memang kenyataannya semuanya sama, identik, tanpa variasi yang berarti dan seragam. Nasi goreng bergaya chinesse food dengan toping daging ayam dan rasa pedas yang berlebihan.
Disinilah bukti bahwa ternyata nama-nama yang bervariasi tidak melulu menunjukkan adanya inovasi. Bakso, bakmi, bebek goreng atau yang paling hits, ayam geprek. Semuanya berbahan dasar sama, bumbu yang nyaris sama, tampilan yang identik dan penyajian yang standard. Hanya nama yang berbeda.
Memang fenomena pemberian nama bombastis nan lebay untuk produk makanan adalah sah-sah saja. Semua dilakukan dengan tujuan menarik minat calon pembeli untuk datang dan melahap. Namun tetap saja, pada dasarnya rasa adalah yang utama. Ini yang tak boleh dilupakan.
Di sebuah kota di selatan Jawa, berdiri satu restoran. Namanya sederhana, jauh dari frasa-frasa menggugah emosi tetapi pembelinya berjubel, rela antri panjang. Rumah makan yang menjual gudeg itu bernama Gudeg Yu DJum.
Entah menganut filosofi kesederhanaan nama yang sama atau tidak, tetapi Ayam Goreng Bu Tatik, Soto Cak Har, Bakmi Abun, Senerek Bu Atmo atau RM Sederhana melesat dan berhasil membentuk basis penggemar fanatik. Nama-nama simpel mereka mekar semerbak melampau jaman, dan dikisahkan dari generasi ke generasi karena memang menyajikan hidangan unik dengan rasa nikmat.
Sudah banyak fakta membuktikan bahwa persaingan di dunia kuliner memang sangat sengit. Pemain baru datang silih berganti, para jagoan lawas tidak mau mundur sedikitpun.
Semua ini sebenarnya memiliki efek yang baik di satu sisi, yakni munculnya kesempatan luas bagi masyarakat untuk memilih berbagai variasi kuliner dengan rasa, harga dan keunikan masing-masing. Kosakata kuliner kita jadi bertambah banyak dan bukan tidak mungkin dari hal seperti ini bisa meningkatkan pemasukan devisa dari sektor wisata.
Expansi Makanan Luar Negeri
Kita tentu wajib iri pada Taiwan, Thailand atau Korea. Dalam tiga tahun belakangan ini, tiiga negeri Asia itu berhasil dengan cerdas mengekspor budaya ke negeri-negeri lain melalui ekspansi kulinernya. Lihat saja berapa banyak depot makan yang menjamur dengan sajian utama boba, Thai tea atau kimchi.
Bukan hanya menjamur, tetapi bahkan bertahan cukup lama dan menarik minat pemodal untuk menjadikannya komoditas franchise hingga berhasil menyebar tidak hanya di kota besar, tetapi kota-kota kecil dan pedesaan.
Rasa Adalah yang Utama
Memang pada dasarnya lidah masyarakat yang menilai. Keterampilan dalam memilih nama bombastis pemancing minat harus dibarengi dengan keterampilan mengolah bahan, kecerdikan menyajikan hidangan dan ketulusan dalam mempertahankan mutu pelayanan. Semua itu adalah kunci untuk bersaing di tengah bisnis kuliner yang sengit seperti ini.
[zombify_post]