Pertumbuhan sistem demokrasi di Indonesia membantu masyarakat untuk memiliki kebebasan dalam menyampaikan pendapat. Namun beberapa topik tetap menjadi hal yang masih tabu untuk dibicarakan, salah satunya adalah mengenai kekerasan seksual.
Masih banyak kelompok masyarakat yang berpendapat bahwa kekerasan seksual merupakan hal yang sifatnya sangat pribadi dan merupakan aib yang sebaiknya tidak diketahui oleh orang lain, apalagi dibicarakan secara terbuka sekalipun dampak yang ditimbulkan sangat merugikan korban.
Berdasarkan definisi oleh World Health Organization (WHO), kekerasan seksual adalah segala bentuk upaya tindakan seksual yang bertujuan untuk memperoleh tindak seksual dari seseorang tanpa memandang status maupun hubungan antara pelaku dan korban.
Dilansir dari data milik Kemen PPPA, kekerasan seksual yang terjadi pada anak dalam tahun 2019 terjadi sebanyak 11.057 kasus, sementara pada tahun 2020 terjadi sebanyak 11.279 kasus, dan 12.566 kasus dari data terbaru pada tahun 2021, di sisi lain kasus kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan sempat mencapai jumlah 8.800 pada tahun 2019 dan 2021, dan sempat mengalami penurunan di angka 8.600 kasus pada tahun 2020.
Banyak faktor yang mungkin mempengaruhi peningkatan angka kekerasan seksual di Indonesia, salah satunya adalah kurangnya wawasan terhadap kekerasan seksual dan masih kuatnya keyakinan masyarakat akan nilai-nilai tradisional dalam melihat seksualitas termasuk kekerasan seksual sebagai hal yang tabu.
Sebagai agen perubahan, generasi muda dapat turut mengambil peran dalam upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat atas pentingnya pemahaman dan cara pandang yang benar mengenai kekerasan seksual melalui edukasi yang memadai. Hal ini dapat dilakukan secara optimal lewat kreatifitas yang mereka miliki.
Salah satu cara kreatif dalam mengedukasi masyarakat dapat dilakukan melalui film.Sebagai media pembelajaran yang efektif, film menjadi opsi yang tepat untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan masalah sosial yang ada di lingkungan sekitar. Peran film dalam menghibur sekaligus memberikan edukasi berhasil memenangkan hati masyarakat mulai dari kelompok anak-anak hingga dewasa.
Seperti yang dilakukan sutradara Ravi Bharwani dan penulis naskah Rayya Makarim dalam produksi film 27 Steps of May. Film yang berhasil memenangkan Festival Film Indonesia tahun 2019 ini mengangkat sudut pandang seorang korban kekerasan seksual dan hidup yang akan dijalaninya.
Tidak mudah bagi korban kekerasan seksual untuk melihat warna warni kehidupan seperti sedia kala. Itulah mengapa film ini memiliki makna yang mendalam bagi mereka yang berjuang dan merasakan hal yang sama seperti yang dialami oleh tokoh pemeran dalam film tersebut. Contoh film lain yang diadaptasi dari pilunya perjuangan kekerasan seksual adalah Pasir Berbisik.

Melalui kedua film ini, masyarakat semakin disadarkan terhadap dunia gelap yang dihuni oleh para korban pelecehan dan kekerasan seksual. Sudut pandang baru kini muncul dan mengikis persepsi negatif terhadap korban-korban tersebut. Film-film ini pun seakan berbicara kepada korban kekerasan yang merasa terkucilkan oleh masyarakat, bahwa mereka tidak sendiri.
Generasi muda memiliki potensi yang besar untuk menghasilkan suatu perubahan sosial, dan apabila peran ini dimanfaatkan dengan baik maka masyarakat akan mendapat perspektif baru yang memberi dukungan bagi korban kasus kekerasan seksual.
Media film memberikan kesempatan yang luas bagi generasi muda untuk secara kreatif mengubah sudut pandang masyarakat terhadap isu kekerasan seksual. Pesan yang ingin disampaikan lewat film dapat dikemas dengan cara yang menghibur sekaligus meng-edukasi penonton. Sehingga tanpa disadari masyarakat yang menonton dapat memperoleh cara pandang baru terhadap kekerasan seksual.