Dari sudut jendela ruang kantor, aku duduk dengan menatap halaman yang basah diiringi dengan tetesan air hujan, daun-daun dari pohon beringin yang berada persis depan jendela terlihat basah dan bergoyang-goyang mengikuti irama angin saat itu, hujan ini mengingatkanku pada sebuah kisah sahabatku saat aku masih tinggal dirumah ibuku.
Inilah kisahnhya…
Dia adalah seorang wanita yang berhati sekuat baja, selembut sutra, dan setegar batu karang, sebut saja namanya “Riana”. Seorang wanita dengan dua orang anak dan bekerja srabutan demi memenuhi kebutuhan kedua anaknya, yang salah satu anaknya butuh pengobatan karena mengalami gangguan “AUTIS”, disisi lain bahtera rumah tangganya sedang diambang kehancuran karena adanya pihak ketiga. Suatu hari dia datang ke rumahku untuk membagi kisahnya denganku, saat itu anaknya yang kedua baru berusia 3 tahun, kulitnya putih dan rambutnya keriting, tatapan matanya hampa dan sama sekali tidak peduli dengan lingkungan sekitar, saat pertama kali melihatnya aku merasa gadis kecil ini tidak sama dengan anak lain pada umumnya. Riana meletakan gadis kecil yang sering disebut dengan panggilan “Chika” pada sebuah sofa busa yang cukup besar di ruang keluarga ibuku, dengan usianya yang sudah menginjak 3 tahun bahkan untuk bisa duduk dengan tegak saja belum bisa, badannya begitu lentur seperti tak bertulang, saat ibunya meletakannya dengan posisi duduk gadis kecil itu lansung jatuh seperti seekor ular yang tak punya tulang, “MasyaAllah”, aku sangat terkejut saat itu, mataku pedih menahan air mata yang hampir jatuh ke pipi. Riana sengaja datang kerumahku untuk menanyakan tentang perkembangan anaknya, kebetulan aku saat itu masih menjadi mahasiswa kesehatan jadi Riana mungkin menganggap aku sedikit banyak tahu tentang perkembangan anak dan kesehatan anak. Kusarankan dia untuk ke dokter anak dan konsultasi karena aku curiga AUTIS berdasarkan cerita dari Riana tentang keseharian gadis kecil ini, dalam rumahnya gadis kecil itu lebih suka menyendiri dan asik dengan kehidupannya sendiri, kadang kala dia menjerit tanpa alasan, seringnya dia melempar benda-benda yang berada didekatnya, dengan merayap-rayap dia menuju ke dapur untuk mengambil pisau dan memotong-motong rambutnya. Sungguh aku tidak bisa membayangkan betapa sabar dan repotnya Riana dalam mengurus anak seperti-Nya, belum lagi Riana harus bekerja sebagai penjual pakaian untuk memenuhi kebutuhanya.
Sebulan lebih telah berlalu sejak Riana main kerumahku dan bercerita tentang anaknya padaku, kabarnya Riana sudah membawanya ke dokter Spesialis anak dan untuk pertumbuhannya Riana harus rutin membawanya ke Fisioterapi dan stimulasi untuk anaknya bisa berjalan. Saat itu aku sedang sibuk ujian sekoalah, sepertinya Rianapun tau itu sehingga dia tidak lagi menemuiku karena takut mengganggu waktu belajarku. Beberapa hari setelah aku selesai ujian sekolah, aku melihat Riana disebuah kios pakaian milik teman kampusku, Riana sedang membawa barang dagangannya untuk dititipkan di Kios pakaian milik teman kampusku itu, Riana melihatku yang sedang asik bercanda dengan temanku dan langsung menghampiriku. “Mba Via…”, sapanya saat melihatku waktu itu, akupun langsung membalikan badan yang tadinya dalam posisi membelakangi Riana, kuhampiri Riana dan kupeluk dia, “Gimana kabarnya Chika ?” tanyaku sekedar memulai percakapan, tak kusangka saat kutanyakan hal itu Riana langsung kembali memelukku dan menangis terisak-isak. “Ada apa mba? Kenapa menangis? Si kecil sakit?” tanyaku lagi dengan penuh penasaran karena tangisannya itu, Riana hanya menggelengkan kepalanya seakan tak mampu untuk berkata-kata, sambil terus terisak-isak dan menangis lirih ku bawa dia ke kursi dan menuntunnya untuk duduk. “Tenang mba, cerita pelan-pelan kalo bisa, kalo ga bisa cerita juga gapapa, sekarang mba coba minum ini dulu yah” kataku sambil menawarkan secangkir teh hangat yang barusan diberikan oleh rima teman kampusku yang punya kios itu.
“Mba diusir dari rumah sama mertua mba” katanya sambil terus terisak-isak. “MasyaAllah… tapi kenapa, memang mba salah apa sampai ibu mertua mba mengusir mba dari rumah?!” tanyaku
“ Ibu mertuaku merasa malu karena punya cucu yang cacat katanya, dia ga mau teman-temanya melihat anakku dirumahnya, dan mencoreng nama baik keluarga”, jawabnya sambil terus terisak-isak. Aku sangat terkejut mendengar jawabanya, kenapa setega itu seorang nenek terhadap cucunya sendiri, kenapa dia lebih peduli dengan penilaian manusia biasa dari pada penilaian sang pencipta. Ku hela nafasku panjang-panjang dan mencoba untuk menenangkan Riana. “ sabar mba, ini semua merupakan ladang ibadah buat mba, Allah memilih mba yang menjadi ibu dari anak mba karena Allah menyayangi mba, aku yakin Allah akan memperhitungkan setiap air mata dan kekecewaan pada hambanya”. Mendengarkan perkataanku Riana hanya bisa mengangguk-angguk. “Sekarang mba tinggal dimana?” sambungku mencoba mengalihkan pembicaraan agar Riana lupa dengan kesedihannya. “Aku tinggal dekat sini, itu di jalan yang ada tugunya belok kiri, masuk gang, nanti ada rumah cat biru, sementara aku kontrak disitu”, jawabnya sambil menunjukan jarinya memberi arah jalan rumahnya, karena seringnya aku main kerumah Rima temanku akupun paham sekali tentang jalan dan rumah yang ditunjukin Riana. “Oh… itu, klo itu aku sering lewat mba, kapan-kapan aku main deh kerumah mba, trus sekarang sikecil sama siapa kalo mba lagi jualan pakaian begini?” tanyaku kembali, “Sama kakaknya yang sudah kelas 4 SD, Alkhamdulillah dia bisa dititipi setiap habis pulang sekolah” Jawabnya kembali. Waktu semakin sore, jarum jam menunjuk kearah angka 5 lebih, Riana pun pamit pulang karena harus menyiapkan makan untuk suami dan anak-anaknya. Saat itu aku ingin sekali membantu Riana, tapi aku belum bisa berbuat apapun selain mendengarkan curahan hati Riana.
Keesokan harinya sekitar jam 12.150 WIB sepulang dari kampus kusempatkan waktuku untuk mampir kerumah Riana, kulihat Riana sedang menyuapi anaknya dengan penuh sabar di halaman rumahnya, saat Riana mencoba menyuapi Chika, kulihat Chika mengambil nasi dalam piringnya dan membasuhnya ke wajah Riana, namun saat itu Riana hanya membersihkan wajahnya dengan penuh sabar sambil terus menyuapi-Nya. Aku menghampirinya dan kusapa gadis kecil yang bernama Chika itu. “Chika….”, Sapaku dengan wajah penuh ceria berharap Chika mampu merespon sapaanku, saat itu Chika sama sekali tidak perdulikan kedatanganku, dia hanya terus asik dengan kesibukannya membasuh wajah ibunya dengan nasi. “Mba Via, sudah pulang dari kampus yah” Ujar Riana menjawab sapaanku sambil mengulurkan tangannya untuk menyalamiku, akupun membalas uluran tangannya setelah itu memberikan sedikit bingkisan yang sengaja kubawa untuk anak-anak Riana. “Ko repot-repot”, ucap riana dengan wajah ceria meneria bingkisan yang kubawa. Disitu dan saat itulah aku benar-benar melihat kehidupan Riana. Betapa repotnya Riana yang harus mengasuh anak yang tidak sesuai dengan perkembangan anak pada umumnya, pakaian yang sudah dicuci dan dijemur dengan kering, oleh Chika di beri BAK-nya dengan sengaja, bukan hanya itu Chika yang terlalu Hiperaktif juga mengambil semua makanan dan dipindahkanya ketempat mainan, saat ibunya mencoba melarang dan memberi pengertian Chika justru menjerit dan membuang semua piring-piring yang ada di Rak. Hampir setengah hari aku bermain dirumah Riana, menyaksikan semua kegiatan riana dalam mengurus Chika, dimana Riana dengan tlatenya memberi obat dan vitamin untuk Chika, mengajarinya berjalan, membaluri seluruh tubuh Chika dengan ramuan tradisional dengan harapan bisa membantu Chika cepat berjalan dan punya tubuh yang tegak tidak lentur seperti sekarang. Riana juga bilang waktu itu klo Chika juga rutin Fisioterapi di sebuah RS pemerintah setiap 3 hari sekali. Kulihat usaha Riana tidak terlalu sia-sia, karena sebulan yang lalu kulihat Chika belum mampu untuk duduk tegak tapi sekarang dia bisa duduk meskipun masih dengan sedikit bantuan ibunya, kusampaikan hal itu ke Riana untuk memotivasi Riana agar tetap semangat dan tidak menyerah dalam usahanya. Riana bilang kalo banyak anak-anak disekitar kontrakannya sekarang sering menghina Chika dengan mengatakan Chika bocah gila, Subhanallah… semoga Riana selalu sabar dalam menghadapi penilaian orang-orang termasuk tetangganya. Sejak saat itu aku sering sekali bermain kerumah Riana, sengaja kusempatkan waktuku untuk dapat menemani Riana mengantar Chika fisioterapi dan periksa perkembangan anaknya ke dokter Spesialis. Begitu besarnya pengorbanan Riana untuk seorang Chika, begitu yakinnya Riana bahwa suatu saat Chika akan bisa dikatakan normal seperti anak pada umumnya meskipun dalam hati kecilkupun tak yakin akan hal itu. Bukan hanya dalam mengurus Chika kesabaran Riana diuji oleh Allah, Riana juga harus menghadapi ujian oleh suaminya yang sedang tergoda oleh wanita lain yang telah menjadi teman kerjanya. Sedikit aku mengupas tentang suami Riana… dia adalah seorang lelaki dengan postur tubuh yang besar dan tinggi, penampilanya kurang rapih karna dia bekerja sebagai mandor bangunan, rambutnya juga panjang dan sering diikat seperti perempuan, dia tergolong lelaki yang keras dan kasar, seringnya aku menyaksikan dia bicara ke Riana sambil membentak dan melotot, sikap kasarnya dia lakukan terhadap Riana dengan alasan Riana sudah memberikanya anak yang cacat sehingga dia malu kepada semua orang apalagi rekan kerjanya, dan perselingkuhanya dengan rekan kerjanyapun dia lakukan dengan alasan karena Riana sudah mengecewakannya atas kehadiran Chika, tak jarang aku mendengar perkataannya untuk menyuruh Riana membuang dan menitipkan Chika ke panti asuhan, untuk biaya pengobatan, fisioterapi dan segala macam kebutuhan Chika dia sama sekali tidak mau tahu dan tidak pernah memberi, dengan alasan itulah Riana siang malam bekerja keliling membawa dagangan pakaiannya kesana kemari, tak jarang juga saat Riana berkeliling menjual pakain sambil mengajak Chika karna takut ketika suaminya di rumah Chika akan dilukai-Nya.
Seperti biasa sepulang dari kampus jika belum terlalu sore aku mampir kerumah Riana, saat itu pintu rumah riana terbuka, kusapa denga ucapa Asslamu’alaikum dari luar tapi tidak ada jawaba, berkali-kali ku ucap Assalamu’alaikum sampai dengan nada yang semakin tinggi tapi belum juga ada balasan, kuputuskan untuk lansung masuk ke dalam rumah meski tdk ada orang yang menjawab salamku, kulangkahkan kakiku pelan-pelan kedalam rumahnya, pas di depan pintu kamar yang terbuka kulihat Chika sedang tidur pulas, setelah itupun aku tengok kanan kiri mencari ibu dari Chika tapi belum juga kulihat, kulangkahkan kakiku kembali lebih masuk kerumah sampai di ruang dapur yang disampingnya ada kamar mandi, sayup-sayup kudengar suara tangisan dalam kamar mandi dengan diiringi oleh sedikit suara air dari kran yang mengalir kecil, kudekati kamar mandi itu sambil mendekatkan telingaku untuk meyakinkan suara itu, ternyata memang benar, semakin dekat dan semakin lama aku dengar suara tangisan itu semakin jelas didalam kamar mandi, aku beranikan diri membuka pintu kamar mandi itu, sempat terkejut saat kutemui Riana sedang menangis didalamnya denga seluruh badan yang basah kuyub, bibir yang gemetar dan berwarna biru, tangisan yang terisak-isak seakan menahan kesedihan yang amat sangat besar, kuhampiri dia dan kutuntun dia kluar dari kamar mandi, tanpa berkata-kata aku ambil handuk dan kukeringkan tubuh Riana dengan handuk, aku hanya berusaha menemaninya dengan duduk disebelahnya, aku sendiri belum berani menanyakan apapun padanya, meskipun aku tahu jelas Riana saat itu sedang sangat terluka. Beberapa saat kemudian setelah Riana sudah terlihat agak tenang akupun membuatkannya teh panas untuk menenangkannya, kulihat dia berjalan menuju kekamarnya, mungkin hendak mengganti bajunya yang basah. Setelah berganti pakaian Riana duduk menghampiriku dan meminum teh hangat yang baru kubuat.
“ ada apa Riana? “ tanyaku memberanikan diri. Dengan deraian air mata Riana mencoba menjawab pertanyaanku. “ Tika.. teman kerja suamiku, sekarang sedang hamil, dan bapak dari anaknya itu Mas Dio”, ujarnya sambil terisak-isak. “Astagfirullah hal ‘adzim!” ucapku dengan nada terkejut. Dengan menghela nafas panjang Riana mencoba menyambung kata-katanya kembali, “ aku masih sulit menerima kenyataan ini mba, dadaku teramat sesak, mataku selalu membayangkan gambaran bagaimana saat Mas Dio bersamanya sampai terjadi tragedi ini, aku juga merasa malu sekali pada Tika, mungkin dalam hatinya dia beranggapan aku tidak bisa memuaskan suamiku sampai tega melampiaskan nafsunya kewanita lain.” Saat ku dengar curahan hatinya aku hanya bisa menepuk-nepuk punggungnya untuk mencoba menenangkannya, aku belum bisa membayangkan klo Mas Dio tega menghianati janji-nya, dulu saat kami masih pacaran Mas Dio begitu baik dan menyayangiku, kenapa dia tega sekali sampai lupa dengan masa-masa indah kita dulu, apa saat Mas Dio dengan wanita itu dia tidak peduli dengan perasaanku, siang malam aku mencari uang untuk membantunya agar tidak semua kebutuhan keuangan dibebankan ke dia, aku mencoba iklas melakukan semuanya sampai kadang tulang-tulangku terasa berat karena kelelahan, tapi ternyata dia bisa mengeluarkan uangnya untuk wanita lain yang bukan istrinya!!! Padahal anak dan istrinya juga butuh uang darinya. Sungguh berat aku menerima kenyataan ini mba, klo sekarang Mas Dio merasa sudah tidak butuh aku lagi akupun akan coba berdiri sendiri tanpanya, aku akan menggantikan posisinya sebagai Kepala rumah tangga di rumah ini, aku akan membesarkan anak-anakku tanpa bantuanya, selama ini dia begitu kasar, keras dan galak kepada kami tapi aku hanya bisa diam menerima semua perilakunya hanya demi mempertahankan rumah tangga ini, tapi justru dia yang menghancurkan semuanya, dia sudah tidak bisa di pertahankan di rumah ini, dia sendiri yang ingin pergi dengan wanita itu dan akupun tidak akan mencegahnya lagi, aku akan membiarkan dia pergi tanpa mau menerima dia kembali!!!”. Ucapnya dengan nada sedih tapi begitu tegas, saat itu aku tidak bisa berkata apa-apa lagi, aku belum paham betul bagaimana rasanya dikhinati oleh suami, aku belum paham betul bagaimana cara membina dan menjaga keutuhan rumah tangga agar tetap utuh dan Sakinah mawadah warohmah, aku hanya tahu suami dari Riana berselingkuh dengan wanita lain, aku juga mengenang masa-masa dulu saat aku punya kekasih yang tiba-tiba meninggalkanku karena adanya wanita lain, itu saja sudah membuatku merasa sangat sakit, hampir beberapa hari aku mengenang dia, merasakan kesedihan dan sakitnya hatiku saat itu, aku bisa membayangkan pastinya sekarang Riana lebih sakit dari pada sakitnya aku waktu itu. Aku melihatnya dengan air mata yang tak henti-hentinya keluar dari matanya, aku belum bisa membayangkan keputusanya untuk berpisah dengan suaminya, tapi terbesit dalam hatiku berkata “Ah… emang apa bedanya ada dan tidak adanya suami Riana, toh dari dulu selama aku dekat dengan Riana aku tidak pernah melihat suami Riana membantu meringkan beban Riana, justru yang ada hanya menambah bebanya dengan kata-katanya yang kasar dan perilakunya yang keras, klo aku jadi Riana mungkin sudah sejak lama aku meninggalkan suaminya itu”. Suara tangisan Chika menghentikan tangisan Riana dan Lamunanku tentang suami-Nya, Riana bergegas bangun menghampiri Chika diiringi dengan langkahku yang mengikutinya dari belakang, sesampainya di tempat Chika, Rianapun memeluknya dengan sangat erat sambil melampiaskan kesedihanya waktu itu, seperti biasa Chika hanya terdiam tanpa ada sedikit respon sama sekali.
Beberapa bulan kemudia proses perceraian Riana dengan suaminyapun telah selesai, Riana mencoba bekerja keras dan membuktikan kata-katanya bahwa dia akan bisa hidup tanpa suaminya. Riana menitipkan Chika ke subuah sekolah SLB yang cukup bagus di kota kami, pada waktu Chika di sekolahnya Riana melakukan pekerjaan-nya baik sebagai Bapak ataupun ibu di dalam rumah tangganya, tak sia-sia usaha dari Riana, usaha pakaiany-nya semakin berkembang, bahkan Riana sudah bisa menyewa Kios kecil dekat rumahnya untuk menjual dagangannya, disisi lain Chika juga sudah mulai menunjukan perkembangannya, sedikit-sedikit Chika sudah mampu untuk berjalan dengan kedua kakinya, guru SLB-nya bilang kalo Chika suka sekali dengan musik, itu sebabnya Riana sengaja membelikan Piano bekas untuk Chika, sejak ada piano dirumahnya Chika tidak lagi sering mengamuk ataupun triak-triak tanpa alasan, Chika senang sekali memainkan Piano meskipun nada yang dimainkan masih sangat kacau tapi setidaknya Piano itu bisa menenangkan chika pada saat dirumah.
Hari berganti hari, segalanya berjalan seperti itu hingga 2.5 tahun berlalu, Chika kini berusia hampir 5.5 tahun, dia pun sudah berjalan normal, tampaknya fisioterapi dan macam-macam pengobatan yang dijalaninya selama ini tidak sia-sia, bahkan terakhir berita yang kudengar Chika sudah pintar memainkan Piano, hanya Chika satu-satunya anak yang menderita Autis yang mampu dan pintar memainkan Piano dikota kami, namanya kini bagaikan artis papan atas di kota kami, banyak sekali surat kabar yang membuat cerita tentangnya. Alkhamdulillah akupun kini sudah lulus kuliah D3 Kesehatan, dan melanjutkan pendidikan Sarjanaku di luar kota. Sejak aku melanjutkan pendidikanku diluar kota aku tidak lagi sering kerumah Riana, aku hanya membaca berita-berita tentang Riana dalam surat kabar, di salah satu surat kabar yang kubaca, Ibu dari Chika adalah pengusaha kecil yang tergolong sukses, dia bukan hanya mempunyai 2 atau 3 kios tapi dia sekarang sudah mempunyai lebih dari 5 Kios pakaian, selain itu Riana juga membuka sekolah musik untuk menyalurkan bakat dari Chika. Subhanallah… cerita dari Riana mengajarkanku bagaimana beratnya perjuangan ibu, mengajarkanku apa artinya kehidupan, Allah tidak pernah tidur, Allah selalu melihat dan menyaksikan doa dari hambanya, seperti janjinya bahwa “ sesudah ada kesulitan akan ada kemudahan”. Segala kekecewaan dan air mata bagi hambanya yang bersabar selalu diperhitungkan. Keyakinan Riana tentang anaknya Chika telah dibuktikan dengan ikhtiar dan Doanya, kini neneknya yang dulu pernah mengusir Chika mungkin menyesal karena pernah menghina Chika, ayahnya apa lagi.
Selamat untuk Riana dan Chika, meski kita jarang bertemu sekarang ini tapi kenangan tentang dirimu tak mungkin kulupakan, Riana kuibaratkan sebagai “guruku yang menyamar”. Terima kasih Riana, engkau telah ajarkan aku apa artinya sebuah “Iklas” dan “Sabar”. Semoga Allah senantiasa menuntunku agar senantiasa bersabar dan Iklas sepertimu.