Syahdan, di sebuah pesantren ternama, hiduplah seorang guru Mursyid yang memiliki banyak murid. Pada satu kesempatan, sang guru Mursyid menyuruh seorang murid agar ia memanggang biji nangka (panjhilan, Madura) sebanyak tujuh biji. Sebenarnya, sang guru Mursyid hanya iseng-iseng mengetes kejujuran dan ketabahan si murid.
Sebelum memanggangnya, sang guru memberikan semacam bacaan wirid yang harus si murid baca selama memanggangnya. Bacaannya seperti lelucon, dan sang guru hanya asal saja memberinya bacaan wirid tersebut.
Namun, si murid saking tabah dan taatnya pada sang guru, ia melaksanakannya sesuai arahan guru, tanpa ada rasa apapun yang mengganjal. Jelang beberapa jam si murid memanggang ketujuh biji nangka tersebut, tanpa ia sengaja ada satu biji nangka yang gosong dan perasaannya berbicara, bahwa biji nangka yang gosong tersebut tidak mungkin bisa dimakan. Ia membiarkannya bersama arang dan menganggapnya hilang.
Keesokan harinya, si murid menyampaikannya pada sang guru perihal satu biji nangka yang hilang tersebut. Namun, sang guru Mursyid tetap ngotot biji nangka harus tujuh biji, tidak boleh kurang. Untuk menggantinya, si murid perlu ke pasar. Lalu, si murid meminta izin kepada sang guru ke pasar. Karena jarak pesantren dan pasar terhalang sungai, maka sang guru Mursyid menyarankannya agar menaiki kapal.
Kemudian, berangkatlah si murid dan sampailah ia akhirnya di pelabuhan. Akan tetapi, si murid betapa kecewa karena dirinya ditinggal kapal beberapa menit saja. Lantaran terburu-buru, si murid lari sekencangnya mengejar kapal sambil berkomat-kamit membaca bacaan wirid lelucon dari sang guru tadi. Dengan tanpa sadar, ia bisa berjalan dengan cepat di atas air sungai hingga ia sampai pada tempat tujuan (pasar). Menyaksikan si murid mampu berjalan di atas air, sang guru Mursyid dengan berbisik sombong di hatinya, “Murid saya bisa, apalagi saya!”. Ia kemudian menyeberang sungai menyusul muridnya. Namun naas, sang guru Mursyid tenggelam dan terhanyut derasnya arus air sungai. Ia meninggal tak tertolong.
***
Kisah di atas, merupakan satu kisah yang pernah saya dengar dari orang tua saya. Mengenai fakta tidaknya, demikian itu bukan persoalan penting. Yang terpenting, kita dapat mengambil satu hikmah dari kisah di atas, bahwa merasa pengetahuan dan kemampuan kita di atas orang lain bukan sesuatu yang baik. Justeru demikian itu adalah jebakan yang mematikan.
Imam Al-Ghazali ratusan tahun lalu menuturkan, bahwa abad ini (abad di mana Al-Ghazali hidup), banyak ditemukan seorang ahli ilmu menggunakan ilmunya sebagai pakaian dan hiasan. Dengan ilmunya, mereka berbangga-bangga diri dalam forum debat dan diskusi, padahal bukan untuk itu ilmu diturunkan. Jika masa Al-Ghazali sedemikian kritis, lalu bagaimana dengan abad kita?
Kita terlampaui jauh melupakan Aqidatu al-Awam, Sullam al-Taufiq, Safinatu al-Naja, Syifau al-Janan. Bahkan, menganggap kitab-kitab berfisik kecil tersebut tidak relevan jika dipakai gaya-gayaan. Atau, dianggap tak lagi sesuai zaman. Kadang begitu berani mencampakkan dan meninggalkan kandungan yang tertuang di dalamnya.
Kutubu al-shaghair (kitab-kitab kecil) itu sudah banyak kita tinggalkan seiring ‘pengakuan’ kita semakin besar. Besar kepala. Besar pasak daripada tiang. Dan, semat sekian gelar mentereng di belakang nama. Kemudian, dengan congkak berdalil (yang rupanya itu berdalih) dengan seabrek kilmah, “Yuhramu ala ahli al-hukmi bikutubi al-shaghair” (diharamkan bagi ahli ilmu berhukum dengan menggunakan booklet /kitab kecil). Mirisnya, memahami kilmah ini dengan amat nista dan serampangan.
Taruhlah hal itu menjadi pembenaran, tapi tidak cukupkah kutubu al-shaghair sebagai sandaran pribadi, teman langkah kita sehari-hari, agar kita tidak terperosok ke dalam jurang ‘dosa’ yang tidak kita sadari? Kita telah banyak melewati fase keilmuan, lalu lupa, lagi abai akan kitab-kitab seukuran ‘sayap kupu-kupu’ itu. Kita merasa puas lagi bangga menelaah dan mengkaji pemikiran Ali Syariati, filsafat Al-Farabi, Al-Ghazali, Ibnu Rusyd, Kitab Muqaddimahnya Ibnu Khaldun,
Ushul As-Syafii, sampai pada tumpukan kitab Al-Umm, Thabaqat, soal khilafiyat madzahibu al-arba’ah, dan sederet kitab gede lainnya. Namun, dalam waktu yang sama kita abai dan menendang sunnah-sunnah rawatib yang banyak ditekankan dalam kitab-kitab kecil itu, seraya (kadang) mengkritisi bahwa hal itu kontraproduktif dengan zaman yang serba kompleks ini. Naudzu billah.
Terkadang juga kita capcipcup lagi jumutus membahas ragam persoalan pelik dalam Masailu al-Fiqih seribu kompilasi bahkan berjuta komplikasi problem kontemporer modern. Dan ada juga dengan gegabah, dengan latah mepersoalkan keabsahan hukum poligami, berdalil heboh gender equality, hak asasi dan menseragamkan ekonomi kapitalis berbasic riba dan muamalat syar’i.
Lagi-lagi, kita ‘sok hebat’ mencampakkan hukum-hukum fardi (personal) dan yang jama’i (kolektif sosial) yang qat’i (pasti) yang banyak diperjelas dalam kitab-kitab ashghar semisal Sullam al-Taufiq atau syarahnya yang ditulis Syaikh Nawawi Al-Jawi, Mirqah Shuudu al-Tashdiq.
Maka, apa yang terjadi dengan kita? Dengan jemawa melupakan tulang dan daging dan ingin wah dipandang di kulit luaran. Bertambah ilmu, malah bertambah kesombongan. Semakin tinggi ilmu, semakin tinggi mendongakkan kepala.
Sekiranya kita sadari, kitab-kitab kabair adalah datang dari shaghair. Jam’u al-Jawami’ atau kitab syarah yang super melimpah itu datang dari kitab matan yang berukuran sayap nyamuk.
Patut kita renungi, ada seorang pemuda yang datang kepada Imam Syafii dan mempertanyakan hal yang pelik dengan nada mendebat. Sang Imam tidak lantas menjawab dan hanya menyuruh si pemuda mempraktekkan wudlu’. Setelah Sang Imam Syafii memperhatikan praktek wudlu’ si pemuda, Imam Syafii berkata, “Hal yang rumit kau tanyakan, urusan wudlu’mu sempoyongan.”
Imam Al-Sya’bi ketika ditanya beliau sering menjawab, “la adri!” (saya tidak tahu). Seseorang berkata di hadapan Al-Sya’bi, “Apakah anda tidak malu menjawab “la adri” padahal anda adalah al-faqih (pakar fiqih)?” Merespons pernyataan tersebut, Imam As-Sya’bi berkata, “Bagaimana saya malu, padahal malaikat tidak malu ketika ditanya menjawab, “subhanaka la ilma lana.” (Maha Suci Engkau [ya Allah], kami tidaklah berilmu)”.
Jadi, begitulah ilmu padi yang seharusnya kita tanam dan pupuk dalam dasar hati. Bukan asal babibu agar dipandang berilmu, namun nyatanya keluar dari minim ilmu.