Menikah merupakan salah satu sunnah Rasulullah SAW dan merupakan ibadah seumur hidup. Namun ada kalanya seseorang menikah karena hamil di luar nikah.
Maraknya fenomena wanita hamil di luar nikah kerap terjadi di lingkungan sekitar. Perbuatan demikian merupakan perbuatan yang dilarang oleh agama, norma, etika, dan Undang-Undang di Indonesia.
Pergaulan bebas dan lemahnya iman pada diri manusia menjadi salah satu penyebab terjadinya fenomena tersebut.
Iman yang ditanamkan dalam diri manusia hendaknya dapat mengantisipasi perbuatan keji tersebut. Pembekalan ilmu agama dan kesadaran moral perlu ditanamkan dalam jiwa manusia.
Kawin hamil artinya menikahi wanita yang hamil di luar nikah, baik dinikahi oleh laki-laki yang menghamilinya atau oleh laki-laki yang tidak menghamilinya.
Berdasarkan hukum kawin dengan wanita yang hamil di luar nikah, para ulama memiliki pendapat yang berbeda, berikut adalah pendapat para ulama:
1. Ulama mazhab Hanafi, Hambali, Syafi’i dan Maliki berpendapat bahwa perkawinan keduanya adalah sah dan boleh berhubungan sebagai suami istri, dengan syarat jika laki-laki tersebut yang menghamilinya dan kemudian ia mengawininya.
2. Pendapat Ibnu Hazm (Zhahiriyah) bahwa keduanya boleh (sah) dikawinkan dan boleh pula berhubungan suami istri, dengan ketentuan bila telah bertaubat dan menjalani hukuman cambuk karena telah berzina.
Pendapat ini berdasarkan hukum yang telah diterapkan oleh sahabat Nabi.
Berikut hukum yang berlaku dikalangan Nabi:
a. Seorang laki-laki tua menyatakan keberatannya kepada khalifah Abu Bakar dan berkata: “Ya Amirul Mukminin, putriku telah dicampuri oleh tamuku, dan aku inginkan agar keduanya dikawinkan.
Saat itu khalifah memerintahkan kepada sahabat lain untuk melakukan hukum cambuk, kemudian laki-laki tersebut dikawinkan dengan putrinya.
b. Jabir bin Abdillah ditanya tentang hukum mengawinkan orang yang telah berzina, beliau berkata: “Boleh mengawinkannya, asal keduanya telah bertaubat dan memperbaiki sifat-sifatnya”.
Kemudian mengenai pria yang mengawini wanita yang dihamili oleh orang lain, terjadi perbedaan pendapat diantara para ulama:
1. Imam Abu Yusuf mengatakan, keduanya tidak boleh dikawinkan sebab bila dikawinkan perkawinannya menjadi batal (fasakh).
Ibnu Qudamah sependapat dengan Imam Abu Yusuf dan menambahkan bahwa seorang pria tidak boleh mengawini wanita yang diketahuinya telah berbuat zina dengan orang lain, kecuali dengan syarat Wanita tersebut telah menjalani hukuman cambuk, apakah ia hamil atau tidak dan Wanita tersebut telah melahirkan bila ia hamil. Jadi dalam keadaan hamil ia tidak boleh kawin.
2. Imam Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani mengatakan bahwa perkawinannya itu sah, tetapi haram baginya bercampur, selama bayi yang dikandungnya belum lahir.
3. Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa perkawinan itu dipandang sah, karena tidak terikat dengan perkawinan orang lain (tidak ada masa ‘idah).
Wanita tersebut juga boleh dicampuri, karena tidak mungkin nasab (keturunan) bayi yang dikandung ternodai oleh sperma suaminya.
Adapun bayi tersebut bukan keturunan orang yang mengawini ibunya itu (anak di luar nikah).
Dengan demikian, status anak itu adalah sebagai anak zina, bila pria yang mengawini ibunya itu bukan pria yang menghamilinya.
Namun bila pria yang mengawini ibunya adalah pria yang menghamilinya, maka terjadi perbedaan pendapat:
1. Bayi tersebut termasuk anak zina, bila ibunya dikawini setelah usia kandungannya berumur 4 bulan ke atas.
Jika kurang dari 4 bulan, maka bayi tersebut adalah anak suaminya yang sah.
2. Bayi itu termasuk anak zina, karena anak itu adalah anak di luar nikah, walaupun dilihat dari segi bahasa anak tersebut adalah anaknya karena hasil dari sperma dan ovum bapak dari ibunya.
Itulah penjelasan seputar hukum menikah dengan Wanita hamil menurut para Ulama.