Malam yang hening dan sunyi kala itu kalah dengan pecah tangis bayi dari sudut kota hujan. Irama hujan yang turun bagai melodi mengawali kehadiran bayi mungil untuk melihat dunia. Kehadirannya telah menyedot seluruh perhatian keluarganya, bagai magnet tak kasat mata menempel di tiap inci tubuhnya. Sesosok bayi perempuan telah hadir menghiasi keluarga bapak Latif dan Ibu Hanifa. Perjuangan sembilan bulan akhirnya tuntas sudah hingga si jabang bayi melihat dunia. “Dokter mana anak saya, saya ingin menimangnya” tanya sang ibu padahal kondisinya masih begitu lemas tak berdaya. Walau sedikit keraguan dokter itu akhirnya menyerahkan bayi mungil itu dipangkuan sang ibu. Dengan langkah gontai dokter itu perlahan mundur dan berbalik arah, tak sanggup untuk melihat ekspresi Ibu Hanifah. Rona bahagia begitu terpancar jelas dalam raut wajah sang ibu. Ini merupakan anak pertamanya setelah hampir 3 tahun ia belum dikaruniai anak oleh Pemilik Semesta. Wajah bayi itu begitu cantik, lucu nan mungil, lantas dibuka kain yang menutupi kepala sang bayi, perasaan ibu itu begitu terkejut ketika melihat tak ada daun telinga dari anak pertamanya itu, begitupun suaminya. Tapi seperti apapun bentuknya, tak sedikit pun mengurangi rasa sayang mereka terhadap bayi mungil tanpa dosa itu.
Tujuh tahun berjalan, tak terasa waktu membuktikan bahwa pendengaran anaknya berjalan dengan normal. Hanya daun telinganya saja yang tidak melengkapi anggota tubuhnya. Dokter mengatakan bahwa anaknya bisa memiliki telinga asalkan ada seseorang yang mau mencangkokan telinganya. “Ayah bantu ibu yaa.. ibu akan cari sosok baik itu yang mau mendonorkan telinganya, dan dengan izin Allah Varsya dapat memiliki telinga seperti kita”. Ucapan Bu Hani yang berusaha menenangkan diri. Suara dari Bu Hani seperti air yang mengalir di tengah hutan, jernih dan teduh. Tapi siapa yang sangka dalam hati yang paling dalam ia menaruh perasaan khawatir yang tak bisa dibuang, khawatir bagaimana putrinya nanti disekolah, apakah ia dapat memiliki teman, apakah teman-temannya mau menerimanya. Hingga suatu ketika hal yang dikhawatirkan pun terjadi. Varsya pulang dengan tersedu-sedu duduk di sudut pojok kamarnya. Sang ibu yang melihatnya heran bercampur panik, biasanya saat pulang sang anak berlari ke jendela, dan dengan senyum mengembang berharap hujan turun lantas melihatnya menari-nari dihamparan hijau rumputnya. Tapi itu tidak Varsya ketakutan. Lalu di dekati oleh sang ibu. ’kenapa anaku sayang? Kamu tidak didepan jendela, kita menunggu hujan lagi yuuk?’ tanya bu Hani sambil mengelus kepala Varsya. Saat itu juga tanpa sadar keduanya turun mengalir deras . Tetesan air langit itu kini beradu dengan tetesan yang jatuh dipipinya. “Ibu, Varya malu bu, seorang anak lelaki besar mengejeku, katanya aku aneh bu dan aku ditertawai teman-temannya”. Isak Varsya tak terbendung, hingga akhirnya Bu Hani tak bisa menahan air matanya. Ia tahu cepat atau lambat ini akan terjadi. Varsya terus menangis sambil membenamkan wajahnya ke dekapan Bu hani. Hingga akhirnya ibunya mencoba menenangkan diri. Ia tak boleh larut, karna akan membuat anaknya semakin terpuruk. “ Hei nak,lihat diluar sudah hujan, kamu tahu kenapa ibu memberikan kamu nama Varsya?”. Dengan sedikit penasaran Varsya mengangkat kepalanya dan bertanya “Tidak tahu bu, ibu belum pernah menceritakan sejarah namaku. Memang kenapa bu?”. “Namamu berasal dari bahasa Jerman yang berarti hujan, ibu ingin kau seperti hujan nak, hujan yang tetap setia menjalankan titah Sang Pencipta mesipun dicaci dan dihina penduduk bumi, ia ingin penduduk bumi selalu mendapat berkah dari Allah, beitupun kau nak agar tetap tersenyum sejahat apapun dunia padamu”. Varsya tersenyum bahagia, ia mulai melupakan perkataan ejekan anak lelaki tadi. “Terima Kasih ibu, aku semakin cinta dengan ibu dan hujan”.
Tak terasa dunia begitu cepat berputar, putri kecil Bu Hani kini tumbuh menjadi gadis yang cantik dan cerdas walaupun dengan kekurangan yang dimilikinya. Dengan kasih sayang dan dorongan semangat dari Ayah dan Ibu Varsya kuat menghadapi ejekan demi ejekan itu. Kini ia piawai dalam bermain gitar. Kecerdasan emosinya juga membuat ia mudah bergaul dan disenangi oleh teman-teman kampusnya. Ia pun mengembangkan bakat dibidang musik dan menulis, akhirnya ia tumbuh menjadi gadis yang disegani karena kepandaiannya bermusik dan menulis.
Saat matahari begitu lekat menajamkan matanya, Bapak Latif duduk ditemani secangkir kopi dan bertemu kembali dengan dokter yang bisa mencangkokan telinga untuk anak gadisnya. “ Bagaimana pak, apakah sudah menemukan pendonor untuk telinga putra bapak? Saya masih bisa membantu bapak”. Kata dokter sambil menyeruput kopi dihadapannya. Sambil menatap ke jendela ayah menjawab dengan mata yang sayu “Belum dok, tapi tenang saya dan istri akan terus mencari”. “Oh ya bagaimana kabar anakmu? Katanya dia sangat cinta hujan ya, seperti namanya?”. Tanya kembali dokter dengan sedikit tawanya untuk mencairkan suasana. “Oh iya dok, dia seperti istri saya begitu menyukai hujan, hari-harinya tak pernah ia lewatkan untuk menunggu hujan tiba bersama ibunya. Katanya hujan itu indah, seperti melodi ritmik tak beraturan”. Tawa pecah, dan akhirnya mereka berdiskusi ke hal-hal yang lain.
Beberapa bulan berlalu, kini saatnya Pak Latif dan Bu Hani memanggil Varsya. “Nak, kami sudah temukan pendonor untuk kedua telingamu, kami sudah temukan orang baik itu”. Dengan ekspresi gembira Varsya menyambut begitu antusias berita itu. “Sekarang kita harus ke rumah sakit, ia sudah menunggu disana. Tapi ingat nak ini sangat rahasia” kata si Ayah.
Akhirnya operasi pun berjalan lancar, Varsya kini menjadi semakin cantik dan sempurna dengan kedua telinganya, ia seperti tumbuh dan lahir kembali. “Ayah, ibu kini aku memiliki telinga” seru Varsya. Rona kegembiraannya tak bisa ia sembunyikan ia semakin percaya diri dalam melakukan segalanya, kini ia semakin pandai. Banyak penghargaan di raihnya dalam bidang musik dan menulisnya. Hingga akhirnya Varsya lulus kuliah dan dipinang oleh seorang pria tampan. Hidup Varsya kini semakin lengkap. Suatu ketika Varsya sedang duduk diatas sofa coklat sambil menunggu hujan turun ia membuka percakapan dan bertanya pada si Ayah “ Yah aku ingin mengetahui siapa orang yang dengan segala kebaikannya mencangkokan telinganya untukku.” Hati Ayah berdegup tak karuan. Antara bingung dan bimbang ingin menjawab “Nak, sesuai perjanjian ayah dengan orang tersebut, Ayah tidak boleh membocorkan rahasia ini, ia tidak ingin siapapun tahu mengenai identitasnya”. “Tapi aku hanya ingin mengucapkan terima kasih yah”. “Ayah paham nak. Tapi mengertilah, ayah tak ingin menjadi pembohong”. Saat itu juga ayahnya telah berbohong menutupi segala kegundahan anak gadisnya itu.
Pagi itu langit begitu berduka, awan gelap menyelimuti kota hujan. tak ada kicauan burung, tak ada kokokan ayam. Yang ada desiran angin yang membuat hati semakin tersayat. Bertahun-tahun Pak Latif tetap menjaga rahasia itu hingga anaknya tak lagi mempertanyakan . hingga suatu ketika ibunya sakit keras dan Tuhan mengambilnya. Saat itu juga Varsya dan Ayah duduk di hadapan jenazah ibunya. Ayah akan menguak rahasia yang telah lama disimpan rapih. Dibukalah kain penutup wajah ibunya itu. Dan ternyata daun telinga Ibunya sudah tidak ada. Lalu dikisahkan memori beberapa tahun yang lalu oleh sang ayah, bahwa orang baik itu adalah ibunya sendiri. Varsya kaget bukan main. Jantungnya berdegup kencang bagai belati yang mengiris-iris kulitnya. Pikirannya berkecamuk, kacau. Tangisnya meledak saat itu juga. Jadi selama ini orang baik itu ada didekatnya bahkan sangat dekat. Ia merasakan bahwa cinta sejati ibunya telah membuatnya menjadi seperti sekarang ini. Dan hujan pun turun mengiringi kepergian ibu dari anak penunggu hujan.