The Death of the Author- Pengarang telah mati, ungkapan ini dikemukakan oleh Roland Barthes pada tahun 1968. Ungkapan tersebut sering muncul dalam pembahasan kesastraan, khususnya pada pendekatan ekspresif. Tetapi dalam perkembangannya, kedudukan pengarang seringkali dikesampingkan bahkan muncul istilah “pengarang telah mati”. Hal itu menunjukkan bahwa ketika pengarang berhasil melahirkan sebuah teks karya sastra, maka secara otomatis pengarang telah memisahkan diri dari karya yang telah ia hasilkan (Barthes, 1989). Pengarang tidak memiliki hak untuk menentukan interpretasi dan makna dari karya yang mereka hasilkan. Keberadaan pengarang telah dikesampingkan, kedudukan karya sastra mendominasi dan dirasa lebih menarik dalam pembahasan teori kesastraan.
Ungkapan “pengarang telah mati” bertentangan dengan konsep pendekatan ekspresif dalam ilmu kesastraan. Dalam teori kesastraan, pendekatan ekspresif merupakan kajian yang memfokuskan pembahasan pada ekspresi, emosi dan perasaan penulis ketika menghasilkan karya sastra. Karya sastra dapat terlahir melalui kreativitas yang dihasilkan dari kehidupan pribadi seorang pengarang atau peristiwa yang dilihat oleh pengarang (Siswanto, 2008). Karya sastra merupakan “buah hati” dari seorang pengarang. Semua kepentingan yang terdapat dalam karya sastra merupakan hak pengarang sepenuhnya. Kemudian muncul istilah bahwa “pengarang merupakan sosok serba tahu terhadap sebuah karya sastra yang dihasilkannya.”
Kedudukan pengarang memiliki peranan penting terhadap karya sastra yang mereka hasilkan. Pengarang menjadi pemegang kunci tentang karya sastra yang terlahir (Nurgiantoro, 2013). Dalam hal ini, penilaian karya sastra menitikberatkan pada gagasan, ide, cita-cita, dan emosi pengarang yang mereka ungkapkan dalam sebuah teks karya sastra. Karya sastra merupakan dunia batin pengarang yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain (Sugihastuti, 2011). Hal ini menunjukkan bahwa dalam pendekatan ekspresif, kedudukan pengarang menjadi hal yang sangat penting dan tidak dapat dipisahkan dari kelahiran karya sastra. Oleh sebab itu, keberadaan karya sastra tidak akan terlepas dari peran pengarang di dalamnya (Abrams, 2009).
Lahirnya Pembaca dan Kembalinya Peran Pengarang dalam Karya Sastra
Dalam perkembangan dunia kesastraan, peran pengarang seperti yang diungkapkan dalam pendekatan ekspresif mengalami kemunduran. Peran pengarang dianggap tidak penting dalam sebuah teks karya sastra, maka lahirlah ungkapan “pengarang telah mati”. Hilangnya peran pengarang dalam karya sastra kemudian melatarbelakangi kelahiran pembaca. Pembaca muncul sebagai sosok yang memiliki hak penuh atas interpretasi sebuah karya sastra. Teks dalam karya sastra memiliki sifat yang tidak terikat. Pemahaman dan pemaknaan dalam sebuah teks akan menimbulkan multitafsir, sehingga dalam proses interpretasi akan menghasilkan makna yang berbeda antara pembaca satu dengan pembaca lainnya.
Lahirnya pembaca dalam proses interpretasi atau pemaknaan karya sastra, kemudian menghadirkan istilah baru yang dinamakan writerly text. Writerly text merupakan istilah di mana teks menjadi satu-satunya pusat penciptaan karya. Hal ini yang menjadikan kedudukan pengarang dianggap tidak terlalu penting (Foucault, 1987). Teks dianggap segalanya dalam sebuah karya sastra. Seiring dengan perkembangan kesastraan, kemudian muncul ungkapan readers power yang memiliki arti bahwa pemaknaan dalam karya sastra bersifat bebas, tergantung pada interpretasi masing-masing pembaca.
Kebebasan pembaca dalam melakukan interpretasi karya dapat mengakibatkan esensi atau pesan yang akan disampaikan oleh pengarang melalui karya sastra menjadi kurang optimal. Pembaca masih membutuhkan peran pengarang dalam menginterpretasi isi dari karya sastra yang mereka baca. Ungkapan “pengarang telah mati” hanya berlaku pada karya-karya yang pengarangnya tidak dapat dijangkau oleh pembaca, sehingga teks bersifat bebas. Dengan adanya era modernisasi, kehadiran pengarang dalam sebuah karya sastra dapat dihidupkan kembali melalui informasi-informasi yang dapat dihimpun pembaca dari media sosial dan pemberitaan pada majalah serta penelitian kesastraan. Ungkapan “pengarang telah mati” akan mengalami pergeseran makna apabila pengarang masih dapat menghadirkan diri, meskipun hanya melalui media sosial atau melalui penelitian terdahulu. Secara sederhana, pembaca masih dapat berkomunikasi untuk membahas makna suatu karya yang dihasilkan oleh pengarang. Hal tersebut sesuai dengan konsep pendekatan ekspresif, yaitu kehadiran pengarang diperlukan dalam pembuatan karya sastra.
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa ungkapan “pengarang telah mati” hanya berlaku apabila pengarang tidak dapat menghadirkan diri dalam proses interpretasi karya. Dengan adanya kemungkinan tersebut, pembaca diberikan kebebasan dan keleluasaan dalam proses penafsiran suatu karya. Hal tersebut kemudian menghasilkan sebuah pemaknaan ganda yang menyebabkan pesan dan nilai-nilai yang akan pengarang sampaikan tidak dapat tersalur secara optimal kepada pembaca. Modernisasi menjadi suatu hal yang penting untuk memberikan akses pembaca agar dapat melakukan komunikasi dengan pengarang berkaitan dengan proses pemaknaan suatu karya yang diciptakan. Hal ini sesuai dengan konsep pendekatan ekspresif yang memandang bahwa kedudukan pengarang dinilai sangat penting bagi hadirnya karya sastra.
Daftar Pustaka
Abrams, M. H. (2009). A Glossary of Literary Terms. Ninth Edition. USA: Wadsworth Cengage Learning.
Barthes, R. (1989). “The Death of the Author” di dalam Modern Literary Theory. A Reader (disunting oleh Philip Rice dan Patricia Waugh). London: Edward Arnold.
Foucault, M. (1987). What Is an Author’? Dalam Vassilis Lambropoulos and David Neal Miller. Twentieth Century Uterary Theory. New York: State University of New York Press.
Nurgiantoro, B. (2013). Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Muda University Press.
Siswanto, W. (2008). Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Gramedia.
Sugihastuti. (2011). Teori dan Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.