Situasi darurat (emergency) nyaris tak pernah bisa ditebak, kapan akan terjadi, dan seberapa parah kondisi yang terjadi.
Situasi ini, sebenarnya harus membuat setiap lembaga, instansi, organisasi, dinas, perusahaan, dan bahkan perorangan; mempersiapkan diri sebaik-baiknya.
Lebih baik bersiap jauh lebih dahulu, dari pada sama sekali tidak siap pada saat kondisi darurat itu terjadi. Bisa saja, tiba-tiba terjadi bencana alam.
Misalnya: saat terjadi gunung meletus, banjir-bandang, tsunami, kecelakaan, longsor, atau kebakaran hutan.
Dalam sejumlah kasus bencana alam, sistem komunikasi yang konvensional, yang kebanyakan menggunakan perangkat terestrial, bisa saja mengalami ‘perpu’ (perhubungan putus).
Dan, pada saat terjadi ‘perpu’, maka bisa jadi perangkat radio merupakan satu-satunya pilihan yang bisa digunakan.
Perangkat radio, umumnya dikenal ada beberapa jenis. Antara lain perangkat radio untuk dipasang dan digunakan di ‘base station’ (pos jaga, posko, rumah, atau markas); perangkat radio ‘mobile station’, yang digunakan di kendaraan bergerak (kendaraan darat, mobil, sepeda-motor, perahu, perahu penolong, pesawat terbang, kendaraan amfibi, atau hovercraft); serta perangkat radio yang bisa dibawa-bawa, dimensinya relatif kecil, dan ringan (handy-talky).
Mengapa hanya perangkat radio yang bisa diandalkan, saat terjadi kondisi darurat? Jawabnya, seperti sudah disinggung di atas, adalah karena perhubungan yang bersifat konvensional, terputus.
Misalnya, hubungan yang dilakukan menggunakan sarana telepon, hubungan yang menggunakan jaring komunikasi data, atau hubungan yang menggunakan jaring komunikasi internet.
Kondisi ini, memang bergantung kepada seberapa parah bencana yang terjadi. Dalam hal ini, kita tidak bisa berharap bencana atau kondisi darurat yang terjadi, merupakan ‘hal kecil’ yang bisa diabaikan begitu saja.
Dalam sejumlah bencana, bahkan seringkali terbukti beberapa lembaga yang seharusnya menanganinya, justru tak berkutik, tak tahu apa yang harus dilakukan, dan seperti hilang akal; saat terjadi kondisi darurat.
Berbagai perangkat radio, dari yang paling sederhana, sampai yang paling canggih sekalipun, seringkali juga berubah menjadi amat sangat tak berguna (useless), saat ternyata tak bisa dioperasikan (tak bisa digunakan), gara-gara tak tersedia catu listrik.
Ini merupakan kejadian klasik yang seringkali justru diabaikan. Jadi, yang pertama kali harus dipikirkan, adalah bagaimana caranya menyediakan catuan listrik yang memadai, guna mengoperasikan perangkat radio itu.
Untuk keperluan ini, terdapat sejumlah kemungkinan. Misalnya: menyediakan baterai sel listrik secukupnya.
Bisa berupa baterai sel listrik tipe basah, atau baterai sel listrik tipe kering; seperti aki kendaraan. Hati-hati, baterai sel listrik yang manapun sebenarnya bisa digunakan.
Tetapi, ada baterasi sel listrik yang menghasilkan tegangan catu 6 Volt, dan ada pula yang menghasilkan tegangan catu 12 Volt. Baterai sel listrik yang digunakan pada kendaraan seperti sepeda-motor buatan jaman sekarang semakin lama semakin banyak yang menggunakan baterai sel listrik yang menghasilkan tegangan catu 12 Volt.
Tetapi, ada juga sebagian kecil yang masih menggunakan tegangan catu 6 Volt. Daya listrik yang disediakan, biasanya sebesar 4 – 6 AH.
Daya sebesar ini, cukup untuk digunakan bagi mengoperasikan handy-talky selama beberapa jam terus-menerus, atau bisa juga bertahan menjadi beberapa hari, jika pemakaiannya dihemat.
Sedangkan baterai sel listrik yang digunakan pada kendaraan yang lebih besar, misalnya mobil atau truk; umumnya menggunakan tegangan catu 12 Volt, dan mempunyai kemampuan daya beragam.
Kendaraan kecil, biasanya menggunakan baterai sel listrik yang mempunyai kemampuan menyimpan daya listrik sebesar 30 – 40 AH.
Sedangkan kendaraan yang lebih besar, seperti jip, van, atau truk kecil; biasanya menggunakan baterai sel listrik yang mempunyai kemampuan menyimpan daya listrik sebesar 60 – 80 AH.
Kedua jenis kendaraan ini, pada jaman sekarang lazim menggunakan tegangan catu sebesar 12 Volt. Sedangkan kendaraan berat, seperti truk, bis, atau peralatan berat; umumnya menggunakan tegangan catu 24 Volt.
Dalam hal ini, catu setinggi 24 Volt itu, seringkali ditemukan bukan dihasilkan dari sebuah baterai sel listrik bertegangan catu 24 Volt, melainkan dihasilkan dari dua baterai sel listrik (aki) bertegangan 12 Volt yang disambung secara seri.
Persoalan yang berhubungan dengan penyediaan catu daya pada saat terjadi kondisi darurat, seringkali berubah menjadi pesoalan serius, justru karena jaring jala-jala listrik PLN bisa jadi juga terputus.
Akibatnya, berbagai baterasi sel listrik yang sebenarnya bisa digunakan, menjadi percuma dan tak bisa digunakan, karena tak bisa diisi kembali arus listriknya, gara-gara listrik padam.
Pada kondisi seperti ini, sebenarnya kita bisa memanfaatkan kendaraan yang masih bisa beroperasi, untuk melakukan proses pengisian baterai sel listrik.
Misalnya, dengan cara menyambungkan secara paralel, baterai sel listrik yang hendak diisi kembali arus listriknya, dengan baterai sel listrik yang sedang digunakan pada kendaraan.
Lakukan pekerjaan ini secara hati-hati, jangan sampai polaritas kutub tegangan baterai sel listrik terbalik.
Jangan lupa pula, mencermati tegangan baterai sel listrik. Jangan sampai baterai sel listrik bertegangan 6 Volt, diisi dan dicatu dengan tegangan catu 12 Volt; atau sebaliknya.
Baterai sel listrik yang berkemampuan lebih kecil, juga bisa diisi kembali sel listriknya, dengan cara disambungkan secara paralel dengan baterai sel listrik yang dipasang dan digunakan pada sepeda-motor.
Perhatikan baik-baik tegangan baterai sel listrik yang hendak diisi-kembali itu, dengan tegangan baterai sel listrik yang digunakan pada sepeda-motor.
Baterai sel listrik yang sudah diisi-kembali (recharged), sebaiknya dipastikan isi listriknya. Cara sederhana yang bisa dilakukan adalah dengan memasang (menghubungkan) lampu listrik ke baterai sel listrik itu.
Jika baterai sel listrik bertegangan 12 Volt, gunakan lampu kendaraan yang juga bertegangan 12 Volt.
Jika pada saat disambungkan, lampu kendaraan itu menyala terang, maka bisa dipastikan baterai sel listrik itu sudah penuh arus listriknya.
Sebaliknya, jika lampu kendaraan itu menyala tetapi redup, maka hal ini menandakan bahwa baterai sel listrik itu masih kosong arus listriknya.
Pada sejumlah kejadian, baterai sel listrik yang sudah rusak sel listriknya, jika dilakukan proses pengisian, bisa jadi menjadi panas.
Perhatikan baik-baik dan sesekali pegang bagian luar kemasan baterai sel listrik yang sedang diisi arus listriknya (recharged), untuk memastikan baterasi sel listrik itu berubah menjadi panas atau tidak.
Jika badan baterasi sel listrik itu berubah menjadi panas, maka pengisian arus listrik harus segera dihentikan. Harap dicatat, jika proses pengisian terus dilakukan, maka baterai sel listrik bisa meledak.
Catatan lain, baterai sel listrik yang sudah lama tidak digunakan, bisa jadi sel listriknya rusak. Dalam hal ini, jika baterai sel listrik itu diupayakan untuk diisi kembali, maka yang terjadi, biasanya kemampuan menyimpan arus listrik pada baterai sel listrik itu sangat menurun, atau bahkan sama sekali tidak bisa menyimpan arus listrik lagi.
Baterai sel listrik yang berada pada kondisi seperti ini, sebaiknya jangan digunakan. Jika kita hendak menyimpan baterai sel listrik dalam waktu yang lama, sebelum nantinya digunakan; sebaiknya dilengkapi dengan perangkat pengisi arus listrik, yang akan selalu mengisi arus listrik secara otomatis secara berkala.
Ini bukan perangkat pengisi arus listrik biasa, melainkan pengisi arus listrik, yang secara otomatis akan mengisi baterai sel listrik secara berkala, saat tegangan listrik yang dihasilkan baterai sel listrik itu sedikit berada di bawah tegangan ambang yang sebelumnya sudah ditetapkan lebih dahulu.
Dengan cara ini, isi dan tegangan catu listrik pada baterai sel listrik akan dipertahankan secara terus-menerus.
Menyediakan generator listrik yang mempunyai terminal catu tegangan arus searah (direct current, DC) 12 Volt, juga merupakan sikap yang bijaksana.
Persoalannya, pada saat terjadi bencana atau kondisi darurat, sangat mungkin BBM yang diperlukan untuk mengoperasikan generator listrik portabel itu, tidak selalu mudah didapat.
Karena itu, juga disarankan untuk menyimpan cadangan bahan bakar yang diperlukan. Generator listrik kecil, yang menghasilkan tenaga listrik sebesar 600 Watt, sebenarnya sudah lebih dari cukup untuk melakukan pengisian arus listrik ke baterai sel listrik, sekaligus untuk mencatu berbagai perangkat listrik dan perangkat radio.
Lebih disarankan untuk menyediakan generator set berpenggrak mesin diesel, yang menggunakan bahan bakar solar atau minyak diesel.
Bukannya apa-apa, jenis mesin diesel ini, meskipun untuk menghidupkannya seringkali memerlukan upaya lebih, dibandingkan dengan mesin motor bensin; tetapi bahan bakarnya yang berupa minyak solar atau sejenisnya, tidak mudah menguap dan tidak mudah pula terbakar jika tumpah atau kontainernya mengalami kebocoran. Artinya, tingkat bahayanya, dibandingkan dengan bensin, jauh lebih rendah.
Menggunakan baterai sel listrik yang berkapasitas cukup besar atau generator listrik; keduanya mempunyai dimensi fisik yang relatif besar dan berat.
Ini merupakan konsekuensi logis dari pilihan kita. Bagaimanapun juga, pilihan ini, kecuali jika kita menggunakan baterai sel listrik yang dimensi fisiknya relatif kecil dan tidak terlampau berat; tetap bisa dianggap tidak terlalu praktis dan bisa jadi juga merepotkan.
Oleh sebab itu, pilihan perangkat radio yang hendak dicatu, sebaiknya juga mempertimbangkan soal ini. Perangkat radio yang bisa memnacar dengan daya pancar tinggi (high power), lazimnya memerlukan daya listrik yang juga besar.
Akibatnya, lalu memerlukan baterai sel listrik yang juga besar dan berat. Atau, jika menggunakan generator listrik, akhirnya juga memerlukan generator listrik yang bisa menghasilkan daya listrik besar. Tentu saja, generator listriknya juga menjadi berat dan juga tidak praktis.
Pilihan lain, yang jauh lebih praktis, adalah menggunakan perangkat catu daya panel surya (solar cell), baterai sel listrik, dan perangkat radio berdaya pancar rendah (low power transmitter, QRP).
Ini merupakan pilihan yang jauh lebih mengurangi beban. Meskipun kelihatannya sangat praktis, pemakaian panel surya, hendaklah mempertimbangkan kondisi alam, termasuk cuaca, cahaya mata-hari, dan lingkung sekitar.
Mengapa demikian? Banyak pemakai panel surya yang tidak terlalu memahami, bagaimana sebenarnya pertimbangan cara pemakaian panel surya dan kelengkapannya.
Jika kita membeli perangkat panel surya, bisanya sudah disediakan berikut perangkat otomatis yang bisa mengatur tegangan dan arus listrik yang dihasilkannya.
Sebelum membeli panel surya, sebaiknya dipertimbangkan dan diperhitungkan secara cermat, kira-kira kebutuhan daya listriknya seberapa besar.
Ada baiknya juga mempertimbangkan penyediaan daya listrik yang jauh lebih tinggi dari pada yang diperlukan.
Mengapa demikian? Banyak orang yang memasang panel surya, senang menggunakannya, karena bisa mendapatkan catu listrik gratis, tetapi lupa, bahwa panel surya kenyataannya amat sangat peka pada perubahan cahaya mata-hari.
Jika panel surya dipasang, di wilayah pegunungan yang letaknya cukup tinggi dari permukaan laut, maka wilayah seperti itu, biasanya cenderung diliputi kabut.
Kalau sial, bisa seharian penuh, cuaca terus-menerus mendung dan kabut menggantung terus di udara. Dalam keadaan seperti ini, cahaya mata-hari bisa jadi terhalang awan atau kabut, untuk bisa digunakan oleh panel surya secara maximal.
Dampaknya, daya listrik yang dihasilkan bisa menjadi sangat rendah. Sedemikian rendahnya, sehingga seringkali tidak bisa digunakan untuk mengisi daya listrik ke baterai sel listrik.
Pada kondisi seperti ini, perangkat radio yang digunakan, akan menyedot arus listrik langsung dari baterai sel listrik, dan sama sekali tidak terjadi proses pengisian arus listrik.
Hal inilah yang menyebabkan banyak penerangan jalan, dan perangkat elektronika (termasuk perangkat radio), yang menggunakan panel surya yang dilengkapi baterai sel listrik, berumur pendek dan berakhir dengan rusak begitu saja.
Penyebab utamanya, pengisian arus listrik tak bisa melewati ambang batas minimum yang diperlukan. Berdasar kondisi inilah, maka jika hendak menggunakan panel surya, sangat disarankan memasang panel surya (dan kelengkapannya, termasuk baterai sel listrik) yang mempunyai kapasitas relatif jauh lebih besar dari pada kebutuhan daya listrik yang sesungguhnya.
Memang menjadi jauh lebih mahal. Tetapi, ini merupakan upaya yang penting untuk dipikirkan, supaya daya listrik yang disimpan dalam baterai sel listrik, selalu berada jauh di atas batas ambang daya minimum.
Sebagai catatan, baterai sel listrik yang disimpan saja dan tidak digunakan. Perlahan-lahan isi daya listriknya akan berkurang. Kalau dibiarkan, seluruh isi daya listriknya akan habis, dan baterai sel listrik tidak akan bisa digunakan lagi.
Anggaplah sekarang seluruh kebutuhan listrik yang diperlukan, sudah bisa disediakan. Maka sekarang kita harus membuat keputusan, perangkat radio mana yang akan disiapkan sebagai perangkat radio darurat.
Seperti sudah dibahas, percuma saja menyediakan perangkat radio berdaya pancar tinggi (high power, QRO), jika daya listrik yang bisa disediakan tak memadai. Berdasar sejumlah pertimbangan, maka sebaiknya digunakan perangkat radio yang menghasilkan daya pancar rendah saja (QRP radio equipment). Hal ini, terutama untuk menghemat daya listrik yang amat sangat terbatas.
Jika hendak bekerja di ban frekuensi yang dialokasikan untuk amatir radio, sebaiknya bekerja pada ban frekuensi yang dikenal banyak penggunanya, dan diharapkan bisa mencapai jarak yang relatif jauh.
- Jika bekerja pada ban radio gelombang pendek (short wave, SW), sebaiknya memilih ban radio gelombang 40 meter (frekuensi 7 MHz). Ban radio ini, memungkinkan jarak jangkau pancaran sinyal radio bisa mencapai jarak yang cukup jauh, yaitu bisa sekitar ratusan sampai ribuan kilo-meter, jika propagasi, dan cuaca dalam kondisi relatif baik.Penggunaan antena dipol yang sederhana, dan bisa ditarik serta dibentangkan di antara dua tiang atau dua pohon, yang relatif tinggi, sudah lebih dari cukup bisa digunakan sebagai sarana komunikasi radio jarak jauh. Pertimbangkan bentangan kawat antena yang ditarik pada arah utara-selatan, guna mendapatkan arah pancar-terima timur-barat. Jika dikehendaki arah pola pancar-terima yang lebih ke/dari semua arah (omni directional), kita bisa memasang antena dipol itu pada kedudukan tegak, menggunakan satu tiang antena yang cukup tinggi, dan menarik bentangan kawat antena pada ke arah bawah, membentuk sudut yang relatif sempit. Jika kita menggunakan pesawat pemancar radio berdaya pancar rendah (QRP), dan kondisi VSWR antena yang relatif tidak terlalu baik atau agak buruk (VSWR 1 : 1,3 atau sedikit di atasnya); sebenarnya tidak terlalu berisiko, dan tidak akan merusak komponen aktif pesawat pemancar radio. Meskipun demikian, sebaiknya VSWR antena sedapat-daparnya harus tetap diupayakan supaya bagus. Tentu saja VSWR antena yang bagus (mendekati 1 : 1), akan menghasilkan efektifitas pancaran yang baik. Melakukan komunikasi radio yang dilakukan pada ban radio gelombang pendek (short wave, SW), juga harus mempertimbangkan persoalan LUF (lowest useable frequency) atau frekuensi terrendah yang bisa digunakan; serta MUF (maximum useable frequency) atau frekuensi tertinggi yang bisa digunakan; dihubungkan dengan waktu (selama 24 jam) dan frekuensi yang digunakan. Pemilihan frekuensi di sekitar 7 MHz, juga didasarkan atas kenyataan, bahwa frekuensi tersebut boleh dikatakan bisa digunakan nyaris selama 24 jam penuh, lepas dari besar atau kecilnya gangguan interferensi yang terjadi, serta gangguan yang disebabkan propagasi yang berubah-ubah.
- Jika bekerja pada ban frekuensi radio yang lebih tinggi, upayakan menggunakan frekuensi radio VHF (very high frequency), yang dialokasikan untuk amatir radio, yaitu pada ban radio frekuensi 144 – 148 MHz. Kondisi geografi Indonesia, sebenarnya jauh lebih cocok untuk ditangani dengan perangkat komunikasi radio yang bekerja pada ban radio VHF dari pada ban radio UHF. Untuk memudahkan komunikasi radio, jika hendak melakukan komunikasi radio jarak dekat (short haul), sebaiknya gunakan antena vertika sepanjang satu-per-empat lambda. Misalnya antena ‘quarter wave ground plane’. Jika hendak melakukan komunikasi radio jarak menengah (medium haul), sebaiknya gunakan antena vertikal yang berukuran 5/8 lambda. Misalnya, antena 5/8 lambda High Gain. Jika hendak melakukan komunikasi radio pada jarak jauh (long haul), sebaiknya gunakan antena vertikal yang berukuran 3/4 lambda. Misalnya, antena Slim JIM. Penggunaan antena yang diarahkan pola pancar-terimanya tidak terlalu disarankan. Penyebabnya, antena semacam ini memerlukan tiang menara antena (antenna tower) yang cukup tinggi, dan tidak sederhana instalasinya. Apalagi, dimensi antena semacam ini akan relatif cukup besar, jika kita menghendaki antena yang mempunyai derajat penguatan (gain) tinggi. Sebuah pesawat carima radio (radio transceiver) jenis handy-talky, yang bekerja pada ban radio 2 meter (frekuensi 144 – 148 MHz); jika dilengkapi dengan antena yang sudah dijelaskan di atas, selama kondisi lingkung sekitarnya cukup terbuka, bebas halangan (bukit, gunung, pepohonan yang tinggi, hutan, dan vegetasi yang tumbuh rapat), berada di lokasi yang relatif tinggi, dan memenuhi syarat LOS (line of sight); maka bisa dipastikan akan bisa mencapai jarak jangkau komunikasi radio yang relatif jauh. Secara umum, pancaran sinyal radio pada ban radio VHF, pada kondisi LOS, biasanya bisa mencapai jarak jangkau komunikasi ‘normal’ sejauh sekitar 10 – 30 kilo-meter. Jika kita beruntung, sesekali bisa juga mencapai jarak jangkau komunikasi radio sampai sejauh 75 kilo-meter (batas lengkung bumi).
Karena perangkat radio biasanya bukan merupakan perangkat yang tahan air, maka ada baiknya juga menyediakan pelindung, supaya perangkat radio dengan seluruh kelengkapannya, tidak basah saat turun hujan.
Juga, upaya mengoperasikan perangkat radio di dalam ruang yang dilindungi dari terpaan mata-hari secara langsung dan dari terpaan air hujan yang turun.
Saat dilakukan pemindahan perangkat radio, ada baiknya seluruh perangkat radio itu dikemas dan dilindungi menggunakan pembungkus plastik nyang rapat, sehingga air hujan tidak sampai bisa masuk dan membasahi perangkat radio.
Hal penting lainnya, yang seharusnya juga dipikirkan jauh sebelum kondisi darurat terjadi, adalah:
- Frekuensi kerja yang hendak digunakan. Pemilihan frekuensi radio atau kanal radio yang hendak digunakan, sebaiknya juga memikirkan persoalan gangguan interferensi yang mungkin terjadi. Kemudahan untuk diingat. Digunakan pada berbagaiu perangkat radio yang berbeda pembuatnya.
- Moda komunikasi radio yang hendak digunakan. Dalam hal ini, sangat disarankan untuk menggunakan sistem komunikasi radio yang sederhana. Misalnya menerapkan moda ‘simplex’, yakni komunikasi radio dilakukan pada satu frekuensi tertentu yang sebelumnya sudah disepakati, dan setiap pembicaraan dilakukan secara bergantian. Dan bekerja tanpa bantuan stasiun pengulang pancaran (repeater station).
- Moda emisi komunikasi radio yang hendak digunakan. Dalam hal ini, jika bekerja pada ban radio gelombang pendek (short wave, SW), disarankan sebagai berikut: 1) Menggunakan moda emisi AM (amplitude modulation). Ini merupakan moda emisi yang paling kuna, dan paling mudah dipantau, bahkan mudah dan pasti bisa dipantau menggunakan pesawat penerima radio komersial biasa, yang mempunyai ban radio SW-1. 2) Menggunakan moida emisi SSB (single side band), khususnya moda LSB (lower side band). Moda ini, meskipun bisa menembus berbagai gangguan interferensi dan propagasi, serta cuaca buruk; tetapi kenyataannya, memerlukan penanganan yang khas, dan memerlukan operator perangkat radio yang berpengalaman. 3) Menggunakan moda emisi ‘morse-radio’. Moda ini, merupakan satu-satunya moda, yang jika digunakan pada ban radio gelombang pendek (short wave, SW), mempunyai kemampuan menembus interferensi, bebas gangguan penindihan (jamming free), bisa mencapai jarak jangkau komunikasi radio yang sangat jauh, bisa mencapai jarak jangau ribuan kilo-meter, antar benua; hanya dengan daya pancar beberapa Watt saja. Tetapi, memerlukan operator radio yang sangat mahir dan sangat menguasai penggunaan komunikasi morse-radio, dan operator dengan kualifikasi seperti ini, bukan persoalan yang mudah didapat.
- Sistem pembumian. Pembumian (grounding), tidak hanya diperlukan untuk mengamankan perangkat radio, tetapi juga diperlukan untuk memperbaiki unjuk-kerja antena yang digunakan untuk melaksanakan komunikasi radio.
- Personal yang bertanggung-jawab. Suatu jaring komunikasi radio sudah barang tentu memerlukan seorang penanggung-jawab operasional, yang akan mengatur dan mengelola seluruh operasinya.
- Operator (awak) perangkat komunikasi radio. Untuk bekerja pada moda AM, tidak diperlukan operator yang canggih. Tetapi khusus untuk moda SSB dan morse-radio, kenyataannya hanya bisa dilaksanakan oleh operator yang menguasai dan canggih. Khusus untuk pemakaian moda morse-radio, sebenarnya tidak terlalu diperlukan kemampuan mengirim dan menerima kode morse dalam kecepatan tinggi. Bahkan pengiriman dan penerimaan kode morse-radio hanya dengan kecepatan 5 WPM (word per minute, kata per menit), atau kurang dari itu; juga tetap bisa dilakukan.
Sudah barang tentu, masih banyak faktor yang harus dipikirkan, guna mendapatkan efektifitas dan efisiensi kerja komunikasi radio yang dilakukan dalam kondisi darurat.
Sedikit catatan, berdasar kenyataan lapangan.
Perangkat radio buatan sendiri (homebrew), seringkali diabaikan dalam hal penyediaan berbagai perangkat radio yang hendak digunakan pada kondisi darurat.
Padahal, kenyataannya, kesederhanaan sistem berbagai perangkat radio buatan sendiri itu, seringkali justru memberikan sejumlah besar keuntungan.
Misalnya, biasanya sang operator, adalah pembuatnya. Jadi, jika terjadi kerusakan, operatornya biasanya dengan sigap segera bisa mengatasi kesulitan atau kerusakan itu.
Ini akan berbeda cerita, jika kita menggunakan perangkat buatan pabrik. Begitu perangkat radio itu rusak atau bermasalah, maka seluruh operasi sistem komunikasi radio itu, bisa jadi akan berhenti beroperasi, dan dalam waktu yang mungkin lama, perangkat radio itu tidak bisa digunakan.
Penggunaan perangkat komunikasi radio yang menggunakan emisi AM, pada masa sekarang cenderung sangat berkurang, dan banyak digantikan menggunakan perangkat yang lebih mutakhir, dan untuk bekerja di ban radio gelombang pendek, umumnya menggunakan moda SSB. Sedangkan di ban VHF umumnya menggunakan moda NBFM (narrow band FM).
Padahal, kenyataannya kedua moda ini tidak akan bisa diterima pada kebanyakan pesawat penerima radio biasa, seperti yang lazim dimiliki masyarakat.
Jadi, untuk mendapatkan kemudahan penyebaran informasi melalui sarana radio, ada baiknya dipikirkan penggunaan kembali moda AM ini.
Baik secara lokal, maupun secara nasional. Ini bukan soal teknologinya yang sudah kuna atau tidak modern; tetapi didasarkan kepada kemudahannya untuk bisa dipantau (ditangkap) secara mudah.
Sebenarnya masih banyak hal yang bisa disampaikan dalam soal ini, tetapi sekurang-kurangnya kita pikirkan sajalah untuk kepentingan kita dan negeri kita Indonesia.
Sebagai penutup, patut dipikirkan juga adanya sejumlah besar potensi luar biasa yang ada di dalam masyarakat, yakni kemampuan untuk membuat sendiri berbagai perangkat radio (pemancar radio dan penerima radio); yang belakangan ini semakin berkembang dan semakin semarak.
Semua ini, menunjukkan dan membuktikan, bahwa kemampuan masyarakat dalam hal membuat dan melengkapi diri dengan berbagai perangkat radio, sebenarnya sangat luar biasa.
Tinggal bagaimana mengelolanya saja. Perangkat radio, apakah buatan pabrik atau buatan sendiri; dua-duanya merupakan potensi yang luar biasa, dan sudah terbukti perannya, dalam sejumlah peristiwa bencana alam dan kondisi darurat.