Belum lama ini tagar seputar sinetron Zahra marak di media sosial. Warganet tampak kesal dengan sebuah sinetron yang menampilkan aktris yang masih berusia 15 tahun sebagai istri ketiga dari tokoh suami yang diperankan aktor berusia 39 tahun.
Ernest Prakasa menjadi juru bicara warganet melalui unggahan protesnya di Instagram pada 1 Juni 2021. Ernest menulis, “Wahai Indosiar, ini keterlaluan. Sangat amat keterlaluan. Pemeran Zahra itu usianya masih 15 tahun. Okelah tolak ukur TV adalah rating, tapi tolak ukur manusia adalah nurani dan akal sehat. Menurut kalian ini wajar?”
Dalam sinetron tersebut, ada pula beberapa adegan yang kurang layak dilakoni oleh bintang sinetron yang masih di bawah umur.
Misalnya, ada adegan Pak Tirta, suami Zahra, mencium kening Zahra dan memegang perut Zahra yang digambarkan sedang hamil.
Seandainya peran Zahra digantikan aktris yang sudah dewasa, mungkin saja warganet dan pemirsa masih bisa menerima.
Akan tetapi, persoalan belum selesai di adegan-adegan tersebut saja. Secara umum sinetron yang lengkapnya berjudul Suara Hati Istri-Zahra itu menuai aneka kritik.
Pertama, dianggap mempopulerkan pernikahan dini
Usia Zahra yang diperankan Lea Chiarachel (15 tahun) membuat sinetron ini dianggap memopulerkan pernikahan dini.
Jika banyak generasi muda menonton sinetron Zahra ini, dikhawatirkan muncul pemikiran bahwa menikah muda itu baik-baik saja dan wajar.
Padahal, pernikahan usia dini terbukti secara statistik rawan aneka problema: risiko kesehatan bagi ibu dan bayi yang dillahirkan, perceraian, rentan salah paham, dan sebagainya.
Kedua, dianggap mengesampingkan hak-hak wanita untuk dicintai secara penuh.
Zahra adalah istri ketiga Pak Tirta. Ungkapan “Siapa wanita yang rela dimadu” relevan dengan apa yang ditampilkan sinetron ini.
Seolah-olah wanita dengan mudah menjadi istri kesekian dari seorang pria yang ditampilkan sebagai pria mapan dan berada.
Dalam kenyatannya, cinta yang mendua seperti yang dijalani Zahra tidaklah seindah sinetron. Adanya kecemburuan dan konflik rumah tangga kiranya tidak bisa dikesampingkan dalam perkawinan yang ditandai cinta yang mendua (dan lebih).
Pasangan suami-istri yang sepasang saja perlu perjuangan untuk rukun, apalagi jika ada kehadiran istri kedua, ketiga, dan seterusnya.
Ketiga, dinilai memopulerkan child sexual grooming
Dalam sinetron Zahra, dilukiskan bagaimana pendekatan Pak Tirta untuk menarik simpati Zahra agar mau menjadi istrinya.
Zahra yang masih terlalu muda belia menjadi objek child sexual grooming. Inilah yang bisa segera muncul di benak pemirsa ketika menonton sinetron ini.
Semoga Komisi Penyiaran Indonesia atau KPI segera menindaklanjuti protes warganet atas sinetron Zahra yang meresahkan ini.
Pihak stasiun televisi dan rumah produksi seharusnya juga memperbaiki sistem seleksi naskah dan konten sinetron saat ini.
Masyarakat perlu tontonan yang bisa jadi tuntunan, bukan malah jadi alasan untuk membenarkan hal yang salah.
Kita yakin, insan pertelevisian dan industri hiburan Indonesia bisa memproduksi sinetron yang lebih inspiratif.
Pada masa lalu, ada sinetron yang realistis dan laris. Misalnya Si Doel Anak Sekolahan yang dibintangi Rano Karno dan Maudy Koesnaedi. Juga Keluarga Cemara yang bahkan belum lama ini diangkat menjadi film bioskop yang laris.
Semoga industri hiburan Indonesia bisa menyajikan konten yang lebih baik dan mencerdaskan.