Namaku Alika, nama yang penuh dengan unsur kebahagiaan dan rasa syukur. Mungkin, nama ini diberikan kepadaku dengan harapan aku akan selalu berbahagia dengan segala keadaan yang ada. Memiliki pribadi yang ceria dan banyak tersenyum. Kupikir juga begitu, dan akan terus kulakukan. Sampai suatu keadaan membuatku berubah 180 derajat.
Tak ada lagi senyuman, tak ada lagi kebahagiaan. Semua lenyap dan melebur bersama dengan kepergian Mama, sumber energi hidupku. Mama pergi begitu saja tanpa pamit. Aku ingat jelas. Waktu itu, aku hanyalah bocah 6 tahun yang tak mengerti apapun. Mama dan Ayah keluar meninggalkanku saat malam. Mereka bilang, ada hal penting yang perlu diurus. Aku memaksa ikut, tapi mbak Ina, pengasuhku, mencegah.
Aku menangis meronta-ronta, mencoba lepas dari pegangan mbak Ina. Saat aku berhasil lepas, aku berlari menuju Mama, menarik roknya, agar aku diizinkan ikut. Mama mengomeliku lembut, berkata ‘hanya akan keluar sebentar’. Aku diam, mulai menurut ketika Mama mengeluarkan janji jari kelingking untuk segera pulang dan membelikan mainan. Ayah hanya tertawa dan mengelus kepalaku pelan.
Mereka pergi, hilang dibalik pintu. Aku tidak tidur, sengaja menunggu semalaman, tak sabar melihat orang tuaku pulang, juga mainan yang telah dijanjikan. Satu, dua jam lewat begitu saja, tak kudengar sedikitpun suara mobil datang. Aku tak peduli, dan tetap menunggu. Sampai, aku tertidur pulas di sofa ditemani mbak Ina yang masih terjaga.
Esoknya, suasana rumah tiba-tiba menjadi ramai dan banyak kedatangan tamu. Aku bingung melihat banyak orang menangisi sesuatu yang tak kupahami, aku abai, tidak memperdulikannya. Pikiranku hanya mengacu pada Mama. Kucoba keliling rumah mencari keberadaannya.
Anehnya, tak kutemukan Mama dimanapun. ‘Seharusnya Mama sudah pulang dari semalam’ pikirku meyakinkan. Ditengah kesibukan mencari Mama, Ayah datang dan tiba-tiba menggendongku dengan uraian mata yang tak kumengerti.
“Yah, Mama dimana?” tanyaku pelan. Ayah tak menjawab. Hanya air mata yang kulihat terus mengalir. Kupeluk erat Ayah, mencoba menenangkan. Tanpa kutahu, bahwa Ayah menangis karena Mama telah berpulang. Iya, Mama pulang dan tak akan pernah kembali.
10 tahun berlalu begitu saja. Aku tumbuh menjadi gadis remaja SMA kelas 2. Kehidupanku sejauh ini berjalan normal, jika saja tak ada wanita baru yang masuk kedalam hidupku. Ya, setahun lalu Ayah memutuskan menikah dengannya, seorang Tante Airin. Berani sekali dia beranggapan akan menggantikan tempat Mama.
Aku sayang Mama, sampai kapanpun, posisinya tak akan tergantikan. Mamaku hanya satu, dan akan begitu seterusnya. Persoalan Mama baru dalam hidupku, tak pernah kusetujui. Semua ini pilihan Ayah, bukan aku. Keputusan itu berdampak pada hubunganku dengan Ayah, apalagi Tante Airin. Aku mulai tak acuh, mengurung diri, suka membantah, sering keluar malam dan pulang pagi yang sebenarnya aku hanya menginap di rumah Natalie, teman dekatku. Aku tak tahan jika berada satu atap dengan Tante Airin.
Sebenarnya dia baik, untuk menjadi seorang teman mengobrol. Tapi tidak sebagai Mamaku. Sikapnya yang seolah perhatian dan beranggapan sebagai Mamaku terlihat menyebalkan dan membuatku muak. Entah kenapa aku tak bisa menerimanya. Seperti saat ini, Ayah pergi keluar Kota sampai minggu depan. Mau merajuk seperti apapun, aku harus tinggal dengan tante yang sok perhatian itu.
“Ka, kamu sakit? Kok pucet gitu? Udah makan?” tanyanya khawatir, melihatku sempoyongan ketika mengambil air minum dari dapur.
“Ngga. Ngga sakit. Ngga pucet. Biasa aja. Udah.” Jawabku ketus, berbohong, mencoba menahan pusing yang seenaknya menusuk-nusuk kepalaku. Aku hanya tak biasa berlama lama mengobrol dengannya.
‘Lagipula, apa pedulinya. Dia hanya mencintai Ayah, buat apa memikirkanku’ gerutuku sembari memijit pelipis.
“Beneran udah makan? Beneran nggak papa? Kamu keliatan sakit gitu. Atau mau ke Rumah sakit aja?” pertanyaan demi pertanyaan membuatku geram.
“Kenapa sih tan! Dibilangin nggak ya nggak! Nanya aja terus! Masih kurang cukup ya gangguin keluarga aku, gantiin posisi Mama, sekarang mau gangguin aku? Gitu?! Jangan harap Tante jadi Mama aku! Nggak usah sok perhatian!” bentakku marah.
Emosi dan sakit ini membuat sikapku menjadi semakin kurang ajar, tak tahu diri. Entahlah, aku tak peduli, semua ini membuat kepalaku terasa semakin sakit. Aku berbalik, berniat kembali ke kamar dan istirahat. Sampai, penglihatanku perlahan menjadi kabur.
“KA!!!” aku ambruk. Semua terlihat gelap. Ingatanku berhenti tepat saat Tante berlari meneriakkan namaku. Aku dilarikan ke Rumah sakit, dan Ayah masih belum menjawab panggilan berulang dari Tante Airin.
Semburat kuning menyusup dari jendela rumah sakit, membangunkanku. Sejenak kuperhatikan sekitar. Tak ada Mama, tak ada Ayah. Hanya ada Tante Airin yang tertidur di sebelah ranjangku. Kulihat raut muka lelah dan air mata yang mengering di sekitar pipinya.
Aku menangis dalam diam. Perlakuannya mengingatkanku akan Mama. Dikala aku sakit, Mama akan menemaniku, lantas tertidur pulas disampingku, seperti sekarang. Kustabilkan diriku dan mencoba tenang. Tiga hari berlalu. Aku masih menginap di Rumah sakit, masih bersama Tante yang entah kenapa setia menemaniku. Menyuapi dan sigap memberikan kebutuhan apapun yang kuperlukan.
Ia tak mengeluh, juga tak mengomeliku yang sangat sering bersikap keterlaluan. Wajahnya selalu terlihat tulus dengan senyuman. Senyuman hangat yang terlihat tak asing. Senyuman yang selalu kurindukan, dan berhasil membuatku luluh.
“Senyumnya Tante mirip sama senyumnya Mama.” ucapku tiba-tiba. Memecah keheningan ditengah kesibukannya mengemas pakaian. Tante Airin diam, menghentikan kegiatannya dan beralih melihat kearahku. Bukan hanya senyuman, kali ini yang kulihat adalah senyuman yang bercampur dengan linangan air mata. Aku bingung dan merasa bersalah.
‘Apa karena ucapanku yang terlihat seperti membandingkannya dengan mendiang Mama?’ pikirku. Tanpa aba-aba, tante memelukku erat. Membuatku diam karena terlampau kaget, belum bisa mencerna apa yang baru saja terjadi. Aku juga merasa aneh, tapi entah kenapa rasanya begitu hangat.
‘Pelukan Tante, juga sama hangatnya dengan pelukan Mama’ ucapku dalam diam, membalas pelukannya tak kalah erat. Pelukan yang telah lama hilang, kini kembali.
Lima hari bosan di Rumah sakit, akhirnya kondisiku membaik dan diizinkan pulang. Kata dokter, sementara aku harus menghindari beberapa jenis makanan karena penyakit typus yang kualami. Kabar baik lainnya, Ayah akan pulang dari luar Kota dengan berbagai oleh-oleh yang kuminta.
Sebenarnya sejak hari pertamaku masuk Rumah sakit, Ayah memaksa ingin pulang karena mengkhawatirkanku. Tapi Tante Airin meyakinkan, Ia akan menjaga dan merawatku dengan baik. Dari hal itu juga, hubunganku dengannya perlahan membaik. Aku kembali ke kamar dan berniat istirahat, sampai sebuah notif mengingatkanku untuk bangkit dan bersiap pergi.
‘Hari ini ulang tahun Mama’
Aku sudah akan pergi, jika saja tak dicegah oleh Tante Airin. Awalnya, aku beralasan akan ke rumah Natalie, sekedar bermain, yang justru membuatku mendapat larangan keras. Aku menyerah, dan mulai jujur tentang rencanaku, tentang Mama. Tidak ada respon, Tidak ada larangan, tidak ada bantahan. Tante tiba-tiba keluar kamar dan beberapa menit kemudian meneriaku dari bawah.
“Jadi pergi nggak, Ka?!!! Tante antar!” aku berlari dengan semangat.
Setelah setahun, Aku dipertemukan lagi dengan Mama. Tante membantuku membersihkan makam, juga berdo’a. Menenangkanku, menepuk pundakku, ketika lagi lagi aku menangis karena sebuah rindu yang tidak tersampaikan.
‘Ma, Alika kesini nggak sendiri. Kenalin Ma, Ada Mama baru yang Ayah bawa buat nemenin Alika. Mama nggak cemburu kan? Hehe. Soal Alika, Mama ngga usah khawatir lagi ya. Alika baik-baik disini. Alika selalu sayang Mama.’
Aku pulang. Sepanjang perjalanan, aku terdiam, ingatan membawaku pergi jauh ke memori yang sempat terlupakan. Memori 11 tahun yang lalu.
“Alika, sayang Mama, nggak?”
“Sayang dong.”
“Buktinya apa?”
“Mmmuuaahhh! Alika sayang Mama selamanyaaa!”
Kuperhatikan Tante Airin yang sedang sibuk menyetir. ‘Aku ikhlas’, senyumku mengembang.
“Ma, nanti malam makan apa?” tanyaku, membuka pembicaraan. Ia tak menjawab, hanya diam dengan sebuah senyuman yang terangkai cantik di bibirnya, disusul bulir-bulir air mata yang jatuh membasahi pipi.