Afrika merupakan benua tertua, tua dalam artian geologi dan tua jika ditinjau dari peninggalan fosil yang berumur lebih dari empat juta tahun.
Sekitar 100.000 tahun yang lalu, sejumlah kelompok manusia hijrah dari Afrika ke benua lain, seperti Asia, Australia, dan Eropa.
Saat itu, Afrika diperkirakan hanya dihuni satu juta orang.
Hingga sampai tahun 2000 penduduk Afrika hanya berkembang menjadi 20 juta, sementara di benua lain telah berlipat ganda.
Afrika adalah bangsa yang penuh dengan kontradiksi tajam, baik di bidang sosial, politik, dan ekonomi.
Dibandingkan dengan benua-benua lain, Afrika termasuk bangsa yang tertinggal di segala bidang.
Akan tetapi benua Afrika sendiri kaya akan sumber daya alam, khususnya pertambangan, antara lain 66% emas, 43% vanadium, 35% platinum, 26% antimony dan 16% mangaan dari yang ada di dunia (Adnan, 2008).
Justru dengan kekayaan yang melimpah itu, Afrika menjadi incaran negara-negara Barat, khususnya Eropa yang sangat serakah akan bahan tambang untuk proses industrialisasi mereka.
Pada tahun 1652, Belanda masuk ke Afrika Selatan dengan tujuan menguasai pertambangan dan melihat potensi subur kekayaan alam di Afrika Selatan.
Pada saat bersamaan Inggris juga datang ke negara ini, terutama setelah mendengar ditemukannya tambang emas yang melimpah di Afrika Selatan.
Hal ini telah membuat terjadinya perang baik fisik atau politik antara negara Belanda dan Inggris di Afrika.
Kenyataan pelik ini belum lagi ditambah masalah perbudakan dan diskriminasi rasial yang dikenal dengan politik Apartheid yang diterapkan pada tahun 1948, Apartheid atau dalam bahasa Afrika yang berarti “keterpisahan” (segregasi rasial) antara kulit hitam dan kulit putih.
Akar politik Apartheid sendiri bermula ketika Partai Nasional Afrika yang para anggotanya berasal dari etnis kulit putih keturunan Belanda (Afrikaner) yang menguasai politik dan pemerintahan di Afrika Selatan.
Pada tahun 1948 partai ini berhasil memenangkan pemilu dan mendeklarasikan Afrika Selatan sebagai negara kulit putih, dan kelompok ras lain selain kulit putih tidak memiliki hak-hak politik dan warga negara secara utuh.
Adapun dalam implementasi politik Apartheid yang berdasarkan hukum negara tersebut, yaitu pembagian ruang hidup antara kulit putih yang memperoleh 87% wilayah Afrika Selatan dan kulit hitam hanya memperoleh 13 % sisanya (Gischa, 2020).
Seiring berjalannya waktu di awal abad ke-20 gerakan politik Apartheid atau rasisme ini pun mulai dilakukan oleh orang-orang kulit putih di negaranya salah satunya, adalah Amerika.
Sejarah rasisme di Amerika Serikat merupakan masalah berat sedari dulu hingga saat ini.
Menurut data yang diolah koran Washington Post, sebanyak 1.014 orang ditembak mati oleh petugas kepolisian di AS pada tahun 2019 dan orang kulit hitam merupakan korban terbesarnya.
Selain itu, kajian dari organisasi non-pemerintah bernama Mapping Police Violence juga menyatakan bahwa orang kulit hitam berpeluang tiga kali lipat lebih besar untuk terbunuh oleh polisi daripada orang kulit putih (BBC, 2020).
Bahkan pada tanggal 24 Desember 1865 pernah berdiri organisasi yang bernama Ku Klux Klan (KKK) atau yang dikenal dengan “The Klan”, yakni sebuah organisasi rasisme ekstrim di AS yang memiliki keyakinan bahwa ras kulit putih adalah ras unggul yang terbaik dibandingkan dengan ras lain yang ada di AS.
Mereka mendirikan organisasi tersebut dengan maksud untuk berjuang memberantas kaum kulit hitam dan kaum minoritas seperti Yahudi, Katolik, Homoseksual, dan para imigran.
Meski organisasi ini telah dilarang oleh pemerintah, namun mereka tetap saja menjalankan aksi pembunuhan terhadap warga kulit hitam secara sembunyi-sembunyi (Banda, 2020).
Bahkan hingga saat ini diskriminasi dan rasisme di negara AS masih kerap terjadi. Terakhir adalah kasus pembunuhan George Floyd pada 25 Mei 2020.
Padahal sejak tahun 1950-1960-an, pemerintah AS telah memberi perhatian pada perjuangan hak-hak sipil kaum minoritas kulit hitam.
Namun, warga kulit hitam belum merasakan adanya perhatian pemerintah: prasangka negatif tetap saja mewarnai kehidupan sosial dan ekonomi warga kulit hitam.
Kenyataan pahit inilah yang kemudian memunculkan kelompok perlawanan dan para aktivis kemanusiaan dari kalangan kulit hitam AS untuk menyuarakan anti-rasisme, persamaan hak, dan keadilan sosial.
Dimana salah satu aktivis kemanusiaan itu adalah Martin Luther King, Jr.
Biografi Martin Luther King, Jr.
Martin Luther King, Jr lahir pada tanggal 15 Januari 1929 di Atlanta Georgia.
Ayah Martin Luther berasal dari Irlandia sedangkan ibunya seorang kulit hitam Amerika. Ayah Martin merupakan seorang pendeta gereja Baptis Ebenezer.
Dan ibunya juga merupakan putri dari seorang pendeta bernama Adam Daniel William. Sejak usianya 13 tahun, Martin sudah bekerja sebagai pengantar majalah The Atlanta Journal.
Pada tahun 1953, Martin masuk Seminari di Crozer Theological Seminary Chester Pensylvania.
Disana ia mengikuti mata pelajaran filsafat dan pemikiran para tokoh-tokoh pemimpin kulit hitam seperti Thoreou seorang penulis terkenal dari Massachusset, dan Booker T Washington, hingga Mahatma Gandhi yang nanti akan menginspirasinya dalam memperjuangkan hak-hak sipil tanpa kekerasan (Miharso, 2009).

Pada tahun 1953, Martin menikah dengan Correta Scott.
Dan setelah menikah, Martin diangkat sebagai pendeta pada usia 20 tahun dan menjabat sebagai pastor di Dexter Avenue Chruch, Montgomery, Alabama.
Sambil bekerja, ia melanjutkan pelajaran teologi di Systematic Theology Boston University, dan pada tahun 1955, ia memperoleh gelar Ph.D.
Sejak remaja, Martin sering sekali merasakan diskriminasi kaum kulit putih terhadap kulit hitam.
Pernah suatu ketika Martin bersama sahabatnya diusir oleh supir bus dari tempat duduk mereka untuk penumpang kulit putih yang baru, sambil mengucapkan kata-kata bernada rasis.
Oleh karena itu, Martin sangat merindukan suatu konsep kebebasan, kebebasan yang berpijak pada kewajiban bahwa memperlakukan sesama itu setara nilainya dengan keberadaan orang lain.
Maka sebagai seorang teolog, Martin pun mulai mengembangkan pandangannya dengan menulis buku Stride Toward Freedom.
Dimana dalam buku itu Martin menyatakan bahwa bagi orang-orang yang berkeyakinan pada gerakan non-kekerasan pasti mempercayai adanya kedamaian, kebesaran, dan alam semesta sebagai ciptaan Tuhan (Miharso, 2009).
Perjuangan Kemanusiaan Tanpa Kekerasan Martin Luther King, Jr
Perjuangan Martin Luther dalam menegakkan keadilan bagi kaumnya dimulai pada 1 Desember 1955.
Ketika saat itu ada seorang wanita kulit hitam bernama Rosa Park, usia 27 tahun, bekerja sebagai tukang jahit menolak untuk menyerahkan tempat duduknya kepada penumpang kulit putih.
Alhasil wanita itu pun ditangkap polisi karena dianggap melanggar aturan transportasi.
Hal ini tentu telah memicu aksi protes di kalangan warga kulit hitam yang dipimpin oleh Martin Luther, mereka kemudian pada tanggal 5 Desember mengadakan boikot bus di Montgomery.
Sejak peristiwa itu pada tanggal 3-10 Maret 1959, Martin bersama isterinya pergi ke India untuk mengembangkan dan mempelajari cara-cara atau teknik perjuangan demi menegakkan keadilan dengan cara anti-kekeraan (non-violence) yang diajarkan oleh Mahatma Gandhi.
Sepulangnya dari India Martin kemudian mendirikan atau mengorganisasi perjuangan warga kulit hitam melalui oerganisasi keagamaan dan cara-cara non-kekerasan lainnya.
Adapun organisasi dan cara-cara itu antara lain: (Miharso, 2009).
1. The Southrn Christian Leadeship Conference (SCLC).
Organisasi ini berorientasi pada bidang sosial, politik, agama, dan hukum. Para anggotanya adalah warga gereja dan dipimpin oleh Martin Luther King.
Filosofi SCLC ini adalah cinta kasih Kristiani yang dipadukan dengan ajaran Mahatma Gandhi Satya Graha.
Adapun inti ajaran tersebut adalah tidak mengalahkan lawan secara fisik, tetapi memenangkan persaudaraan.
Misalnya, di bidang politik SCLC selalu berjuang dengan cara berunding dengan pemerintah sampai pemerintah mampu memberikan hak-hak dasar kemanusiaan warga minoritas, terutama warga kulit Hitam.
2. The Student Non-Violent Coordinating Committee (SNCC).
Organisasi ini didirikan tahun 1960, yang para anggotanya merupakan pemuda dan mahasiswa.
Meski kaum muda lebih emosional dalam memperjuangkan keadilan serta hak-hak sipil, mereka tetap menggunakan cara-cara anti-kekerasan.
Sebab cinta kasih merupakan dasar dari perjuangan SNCC karena dengan cinta kasih permusuhan akan berangsur-angsur hilang, dan tercipta kedamaian.
Pada tahun 1964, Martin menulis artikel berjudul “Why We Can’t Wait”.
Dimana pesan-pesan dalam artikel itu adalah strategi yang paling baik untuk mengatasi permasalahan kaum kulit hitam adalah strategi non-violent (anti-kekerasan).
3. Penerbitan Buku.
Dalam memperjuangkan keadilan Martin juga menyuarakannya lewat tulisan berupa buku, diantaranya 1). Strengh to Love (1963), 2). Why We Can’t Wait (1964), 3). Where Do We Go From (1969).
Ketiga buku tersebut berisi perjuangan hak-hak sipil dengan strategi non-violence.
4. Memimpin Demonstrasi Anti-Kekerasan.
Martin Luther King telah muncul dalam beberapa kesempatan sebagai pemimpin demonstrasi.
Dalam setiap aksinya tersebut Martin selalu menggunakan strategi anti-kekerasan.
Sebagaimana pernyataannya, bahwa: “tindakan non-kekerasan itu sikap rendah hati. Kita warga kulit hitam harus memperjuangkan hak-hak kita dengan jalan yang benar.
Semua rangkaian perjuangan kita harus dipersiapkan dengan matang. Dalam usaha menyabut kemerdekaan baik di Amerika, Asia, maupun Afrika, kita tidak boleh berpikir siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan, tetapi semua orang harus menerima keadilan.
Kita harus mencari demokrasi sejati bukan tirani dari salah satu pihak. Tujuan kita bukan untuk menghancurkan warga kulit putih dan bukan menjadi korban filosofi supremasi kulit hitam.
Tuhan Allah tidak memberkati kemerdekaan hanya bagi warga kulit putih, hitam, coklat, dan kuning, tetapi bagi semua umat manusia”.
5. Membalas Tindakan Tidak Adil Secara Langsung dan Damai.
Martin Luther tidak pernah berhenti berjuang demi tegaknya keadilan.
Menurut Martin keyakinan dalam perjuangan melalui demokrasi damai dengan menggunakan metode non-kekerasan dapat digunakan untuk mewujudkan transformasi sosial dan ekonomi Amerika.
6. Tidak Menaati Hukum yang Tidak Adil.
Tindakan fisik Martin Luther King Jr terhadap hukum yang tidak adil adalah menahan diri.
Tindakan perlawanan dengan hukum yang tidak adil dipercayakan pada kekuatan pesan-pesan politik, tutur kata dengan tata bahasa yang tersusun rapi.
Sebagaimana pidato Martin yang disampaikannya di depan para mahasiswa SNCC, bahwa: “dalam periode perubahan sosial ini, kaum kulit hitam harus berjuang dari dua kubu.
Pertama, kita harus melanjutkan perlawanan terhadap pemisahan rasial. Kedua kita harus melawan semua bentuk ketidakadilan.
Perjuangan tidak boleh menjurus pada kekerasan.
Perjuangan dijalnkan dengan berpedoman pada ajaran lama yang dirintis oleh Yesus dari Nazareth dan metode modern yang diperkenalkan oleh Mahatma Gandhi”.
7. Mengatasi Ketidakadilan dengan Persuasif.
Martin menyadari bahwa perjuangan luhur dapat dikotori oleh perbuatan yang destruktif.
Sebab itu, ia selalu berpesan agar perlawanan terhadap ketidakadilan dilakukan tanpa menggunakan kekerasan.
Sebagaimana seruan Martin, bahwa “harapan saya kaum kulit hitam lebih mendalami arti kemerdekaan dan lebih mengerti filosofi non-violence.
Sebagai anggota dari satu ras, kita tidak bernafsu untuk memperkenalkan warga negara kelas dua demi tercapainya perjuangan.
Tujuan perjuangan bukan untuk memenangkan peperangan dan kemudian merendahkan martabat kaum kulit putih, tetapi menciptakan persahabatan dan pengertian”.
8. Mengutamakan Kompromi.
Dalam memperjuangkan hak-hak sipil Martin selalu menahan diri terhadap tindak kekerasan.
Ia lebih mengutamakan kompromi dan musyawarah dengan kaum kulit putih. Tetapi bila musuh tidak mau diajak kompromi Martin mengatakan; “kita siap menderita, dan bahkan siap mengambil resiko dalam menghadapi tantangan untuk menjadi saksi kebenaran dari apa yang kita lihat”.
Itulah perjuangan seorang Martin Luther King, Jr dalam memperjuangan hak-hak sipil warga kulit hitam.
Yang kiranya dari apa yang dilakukan oleh Martin bisa diambil pelajaran bahwa semua manusia di dunia ini memiliki kesempatan yang sama dalam memperoleh keadilan, kebahagiaan, dan kesuksesan tanpa melihat dan membeda-bedakan status sosial.
Daftar Pustaka
Adnan, A. H. (2008). Perkembangan Hubungan Internasional di Afrika. Bandung: Penerbit Angkasa.
Banda, O. (2020). Diskriminasi Ras dan Hak Asasi Manusia di Amerika Serikat: Studi Kasus Pembunuhan George Floyd. Jurnal Sosiologi Pendidikan Humanis .
BBC. (2020, Mei 29). George Flyod dan Kematian Warga Kulit Hitam Lain di Amerika Serikat Yang Memicu Gelombang Protes Besar. Retrieved from BBC News Indonesia.
Gischa, S. (2020, November 30). Sejarah Kebijakan Apartheid di Afrika Selatan. Retrieved from Kompas.com.
Miharso, V. (2009). Perjuangan Hak-Hak Sipil di Amerika dan Implikasinya Bagi Indonesia. Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana UGM.