Mbah Par pernah membaca tulisan awas jaga jarak di belakang truk-truk yang melintas di jalan. Dia tak trauma ketika dulu sepedanya kesempret truk saat mau berjualan ke pasar. Tapi, sekarang Mbah Par seperti trauma kehilangan.
Jaga jarak memutar ingatan Mbah Par. Seolah-olah sosok ayahnya yang dia lihat cuma empat tahun muncul lagi. Ingatan ini tiba-tiba tak pikun seperti dirinya yang hampir 80 tahun. Cuma gara-gara jarak membuatnya jadi yatim. Ceritanya begini.
Ayahnya sebenarnya tak sudi jadi ketua kampung. Cuma karena tamatan sekolah rakyat, bisa tulis baca, lalu dinobatkan sebagai pimpinan gumicok. Karto, ayahnya, deg-degan saat barisan tentara mengetuk pintu rumahnya. Lima tentara memakai topi bergambar bola pingpong warna merah. Malam hari. Pikiran Karto mungkin mau diculik. Ternyata, satu tentara bisa berbahasa lokal memberi komando: menanam dan menjaga jarak. Kampung harus memasok jarak!

Karto bingung buat apa menanam pohon jarak. Hanya ketakutan yang membuatnya patuhi perintah. Mengabarkan ke penduduk kampung. Keesokan harinya, penduduk benar-benar menanam pohon jarak. Di kebun, halaman depan rumah, halaman sekolah, pinggir jalan, tepi sungai, tanah kosong, bahkan di kuburan.
Jarak terlalu ramah di tanah manapun. Di mana-mana ditanami jarak. Penduduk seperti Karto, gentar. Kabarnya, tentara kuning ganas-ganas, lebih ganas ketimbang Londo. Karto mengawasi dan menjaga jarak. Sebulan, dua bulan, tiga bulan. Selalu datang truk-truk mengambil jarak yang sudah dipanen. Setahun, dua tahun, tiga tahun. Karto tak tahu dibawa kemana jarak itu.
Penduduk yang kelaparan lama-lama tidak terima. Jarak tidak bisa dimakan. Tanah sendiri, ditanam sendiri. Ditanam yang bisa mengenyangkan perut. Karto kasihan dengan penduduk, sekaligus panik tak ada pasokan jarak dari kampungnya.
Tanpa sepengetahuan penduduk, tanaman jarak ternyata yang membuat Jepang terus bernapas. Hidup mati Jepang ditentukan tanaman jarak. Entah bagaimana mengolahnya, biji jarak dijadikan pelumas dan bahan bakar mesin perang. Pesawat, kapal, roda empat butuh makan tanaman jarak. Bioenergi, istilah anak gaul zaman sekarang.
Karto cemas. Penduduk melawan. Dia tak bisa menjaga jarak terus tumbuh. Malam-malam, lima tentara mampir lagi, mengetuk rumahnya. Karto gemetar. Sisa keberaniannya melawan.
“Ini tanah kami. Buat hidup kami. Buat isi perut kami,” teriak Karto seperti pejuang kemerdekaan. Entah apa yang terjadi, Mbah Par mengintip dari balik kamar. Ayahnya diterjang bedil sampai rebah.
Mbah Par sebenarnya sudah lupa kejadian puluhan tahun lalu. Tapi, trauma kehilangan seakan merekah di tengah kata-kata jarak yang mendengung setiap hari. Jaga jarak!
Tahun ini, trauma itu semakin menguat. Di teras rumah, dia menanti cucu cicitnya. Hatinya ria bisa mencium anak keturunannya. Tapi, tak satu pun muncul.
“Jaga jarak, Mbah,” bisik Gini, perempuan desa yang merawatnya.
Mbah Par yang pikun hanya mendengar jelas kata jarak. Dia merasa harus kehilangan lagi.(*)