Mungkin anda pernah mendengar kalimat ini “Memanusiakan Manusia” atau bahkan anda pernah menyebutnya. Istilah “memanusiakan manusia” merupakan upaya untuk membuat manusia menjadi berbudaya atau berakal budi. Namun, seiring berjalannya waktu istilah ini kemudian diadopsi untuk menyatakan tujuan pendidikan dan terkadang juga digunakan untuk memperbaiki kesejahteraan hidup manusia khususnya secara ekonomi.
Berdasarkan tujuannya, istilah ini luhur adanya. Namun, seperti yang anda lihat di judul tulisan ini, menyisahkan apa yang salah?
Pertama-tama saya akan memulai dari sudut pandang biologis. Dari sudut pandang ini, tentu saja istilah memanusiakan manusia tidak dapat dibenarkan karena manusia sebagai organisme atau individu ya tetap akan menjadi manusia atau tidak dapat mengalami transformasi menjadi manusia lagi karena pada dasarnya dia sudah manusia.
Tapi konteksnya bukan begitu!
Baiklah. Istilah memanusiakan manusia tidak merujuk pada konteks bilogis tetapi lebih pada revolusi tingkah laku dan konsep berpikir. Seiring berkembangnya penggunaan konsep ini seperti yang sudah saya sebutkan diatas, maka setidaknya istilah ini mengacu pada klasifikasi sosial atau pengelompokan masyarakat berdasarkan kelas tertentu. Sejauh ini penggolongan yang penonjol dalam masyarakat itu ada 3
- Profesi. Ada persepsi sosial yang memandang profesi tertentu tidak lebih baik dari yang lain. Contohnya petani. Penggolongan ini mungkin karena rata-rata tingkat pendapatan masyarakat yang menjalani profesi ini relatif lebih rendah dari profesi lain.
- Tingkat pendidikan. Pendidikan seolah-olah menjadi tolak ukur yang menentukan seseorang berpengetahuan atau tidak. Dalam konteks ini ada upaya untuk memperbaiki kulaitas manusia dai aspek ilmu pengetahuan.
- Tingkat ekonomi. Perbedaan kelas ekonomi ini jelas sangat nampak di masyarakat. Sehingga adanya upaya untuk memperbaiki kesejahteraan ekonomi masyarakat ini.
Upaya-upaya ini kemudian dikenal dengan istilah memanusiakan manusia. Kembali lagi munculnya konsep tentang memanusiakan manusia saya rasa merujuk setidaknya dari 3 golongan ini. Dari sini kita bisa melihat bahwa memanusiakan manusia berarti adanya proses yang dilakukan dalam upaya meningkatkan taraf hidup masyarakat dari yang golongan rendah menjadi tinggi.
Lalu apa yang salah dengan ini?
Diksi yang digunakan dalam istilah ini tak jarang membuat saya kembali melihat kenyataan yang terjadi di masa lampau khususnya di jaman kerajaan dan semacamnya. Praktek perbudakan dan sejenisnya sangat lazim terjadi pada zaman ini dan parahnya para budak dan masyarakat kelas sosial rendah tak jarang disamakan dengan binatang.
Salah satunya adalah parktek perbudakan yang mungkin sampai saat ini masih terjadi di pedalaman kabupaten Sumba Timur provinsi Nusa Tenggara Timur (berdasarkan pengakuan teman saya). Mungkin praktek ini tidak terang-terangan seperti dulu tapi berdasarkan pengakuan masyarakat lokal, praktek ini masih nampak dalam masyarakat.
Tapi istilah memanusiakan manusia jelas sangat berbeda dari praktek perbudakan!
Yah memang benar bahwa istilah ini memang tidak mengacu pada perbudakan tetapi dapat anda lihat pengelompokan kelas sosial meskipun pengelompokan ini tidak bertujuan untuk merendahkan golongan tertentu tetapi bahwa pengelompokan itu terjadi tidak dapat dibantah.
Lalu apa persoalannya?
Persoalannya adalah diksi yang digunakan menjadi sangat berbahaya jika tidak mampu dijelaskan secara tepat. Istilah “memanusiakan manusia” seolah menunjukkan adanya manusia tertantu yang hanya memiliki sifat manusia secara biologis dan harus diupayakan agar menjadi manusia yang utuh baik secara biologis, psikogis baik itu secara kognisi, emosi dan konasi maupun secara ekonomi dan lain sebagainya. Padahal kondisi-kondisi keterbatasan secara psikologi, ekonomi dan lain sebagainya sebenarnya juga merupakan bagian dari sifat manusia yang tidak dapat dihindari.
Disini kalau saya lihat memanusiakan manusia melihat bahwa tindakan amoral, perilaku yang tidak mencerminkan budaya setempat dan perilaku lain yag dianggap diluar dari harapan umum dianggap tidak mencerminkan sifat manusia padahal sebenarnya itu juga merupakan bagian dari sifaf manusia yang tidak dapat dihindari.
Pemilihan diksi pada istilah ini juga menjadi suatu persoalan. Disini jelas ada semacam stereotip negatif terhadap golongan tertentu dan parahnya dianggap bukan manusia yang memang manusia atau dengan kata lain belum sepenuhnya manusia.
Padahal manusia itu tidak bisa diukur tingkat kemanusiaannya dari taraf hidup atau kesejahteraan hidupnya melainkan kemanusiaannya ada secara otomatis. Saat manusia dilahirkan di dunia bahkan sejak masih dalam kandungan kemanusiaannya sudah ada secara kodrati dan sifatnya mutlak. Dan kemanusiaan ini tidak terbentuk dan tidak berkaitan dengan tingkat pendidikan dan kesejahteraan hidup secara ekonomi

Selain itu profesi tertentu tidak bisa dianggap buruk karena pada dasarnya baik dan buruknya sebuah profesi itu sangat tergantung dari masing-masing orang. Ada orang-orang tertentu yang tidak ingin jadi pengusaha tapi ingin jadi petani biasa yang hidup di desa, atau ada yang memang memilih untuk tidak bersekolah tetapi tetap belajar, ada juga yang memilih untuk hidup sederhana dari pada menjadi orang kaya
Jadi istilah “memanusiakan manusia” akan menjadi sangat berbahaya jika tidak mampu dijelaskan dengan benar. Namun, tujuan yang melatarbelakangi munculnya istilah ini patut diapresiasi.