Tepat pada pagi hari di hari Jumat, 26 Oktober 2018. Aku bersama temanku tiba di Osaka Jepang dalam rangka mengikuti konferensi ilmiah internasional di Osaka University.
Adapun pada saat itu kami mendarat di Bandara Internasional Kansai Osaka. Setibanya kami di Jepang, kami merasa kagum dan bersyukur karna setelah sekian banyak perjuangan yang dilakukan untuk mewujudkan mimpi ini, akhirnya bisa terwujud juga.
Terlebih lagi ketika pertama kali kami menginjakkan kaki di Jepang, kami di buat kagum dengan pemandangan letak Bandara Internasional Kansai ini berada ditengah laut.
Konon, menurut dari salah satu sumber berita di internet. Bandara Kansai ini dibangun di atas pulau reklamasi jauh dari daratan Osaka Jepang dengan tujuan untuk menghindari kebisingan suara pesawat di wilayah perkotaan Osaka.
Kemudian perjalanan kami dilanjutkan dengan menaiki kereta subway menuju Stasiun Namba Osaka dengan menaiki Jalur Nankai Line.
Di sepanjang perjalanan, kami disuguhi pemandangan betapa indah dan rapih nya salah satu kota terbesar di Jepang ini.
Bersih, tidak ada pemukiman kumuh, kesemrawutan, macet, dan masyarakat Jepang yang terkenal dengan kedisiplinannya.
Kami seakan memasuki belahan dunia yang berbeda yang biasa kami lalui sehari-hari. Setiba nya di Stasiun Namba, kami ingat pada saat itu dan masih sekitar jam delapan pagi, kami belum menunaikan sholat shubuh.
Jelas, di negara yang bermayoritas Agama Shinto ini sangat sulit untuk menjumpai mushola.
Sehingga kami terpaksa sholah shubuh di lorong stasiun yang mana disitu banyak orang yang lewat.
Tidak hanya terkenal disiplin, orang Jepang juga terkenal dengan gerak jalan kaki nya yang cepat dan terlihat sangat sibuk.
Dari sini kami dapat memetik hikmah dari sifat disiplin dan pekerja kerasnya orang Jepang yang membuat negara Jepang ini menjadi salah satu negara maju di dunia dengan pendapatan negara perkapitanya menjadi salah satu yang terbesar di dunia.
Meskipun jika dilihat dari sisi Geografi, dataran Jepang tersebut mayoritasnya tidak layak huni karna terdiri dari banyak bukit dan pegunungan, miskin sumber daya alam, serta rawan bencana khususnya gempa dan Tsunami.
Namun, orang Jepang terkenal pantang menyerah sehingga membuat Jepang menjadi negara yang disegani dunia dan sebagai percontohan terbaik dalam hal penanganan bencana.
Orang Jepang juga terkenal dengan sifat toleransi dan menghargai orang lain. Hal tersebut dibuktikan ketika kami menunaikan sholat shubuh di lorong stasiun, tidak ada satupun dari orang Jepang yang melarang dan mengganggu.
Tibalah saat yang dinanti-nanti. Yaitu acara konferensi internasional di Osaka University bertajuk “Japan Indonesia International Scientific Conference 2018” yang diselenggarakan dua hari yaitu pada tanggal 27-28 Oktober 2018.
Adapun acara konferensi tersebut dibagi menjadi dua acara yaitu hari pertama Kyoto Excursion dan hari kedua acara inti yaitu konferensi ilmiah.
Di hari pertama, kami diajak untuk mengunjungi kuil Shinto terbesar di Kyoto yaitu Fushimi Inari Taisha.
Fushimi ini Taisha adalah kuil Shinto yang terletak di kaki Gunung Inari yang membentang sejauh empat kilometer di atas gunung setinggi 233 meter di atas permukaan air laut.
Kuil ini adalah kuil yang memuliakan Inari yang dipercaya sebagai dewa pertanian.
Di kuil ini juga terdapat Senbon Torii atau Torii seribu gerbang yang menjadi salah satu landmark kota Kyoto.
Kemudian tibalah di hari kedua yaitu acara inti konferensi ilmilah. Sekitar 200-an peserta mengikuti acara konferensi internasional ini baik dari kalangan akademisi, peneliti, dan pelajar yang berasal dari Indonesia dan Jepang.
Serta duta besar Indonesia untuk Jepang pun turut hadir karna konferensi ini juga diselenggarakan dalam rangka memperingati 60 tahun hubungan bilateral Indonesia-Jepang.
Adapun penelitian yang akan kami sampaikan pada konferensi ini adalah terkait “Productive Zakat As Pilar In The Progress Of Indonesian Community Economy”.
Sungguh, ini akan menjadi pengalaman berharga yang takkan terlupakan dalam hidup ini.