Konvensi sastra sering kali menjadi tembok bagi para pujangga dalam membuat karya sastra. Kebanyakan dari pujangga terlalu terpaku dengan konvensi sastra yang berlaku. Padahal bukan suatu hal yang salah jika membuat karya sastra yang eksentrik atau keluar dari kovensi sastra yang ada. Untuk lebih jelasnya, simak pembahasan berikut ini.
Komponen bahasa memiliki makna tersendiri, misalnya kata “Mangkuk”. Telah kita ketahui bersama bahwa “Mangkuk” memiliki makna alat untuk makan makanan berkuah. Mungkin sebagian masyarakat ada yang mengatakan bahwa “Mangkuk” itu bukan hanya untuk itu saja, tetapi bisa digunakan untuk minum layaknya gelas atau dapat juga digunakan sebagai gayung untuk mandi. Lalu siapa yang menyepakati bahwa “Mangkuk” harus selalu dipakai sebagai alat untuk makan makanan berkuah? Aturan tersebut disepakati oleh masyarakat sebagai pengguna bahasa di lingkungan tertentu. Hal inilah yang kemudian disebut sebagai konvensi.
Jadi, konvensi merupakan suatu kesepakatan yang sudah diterima orang banyak dan sudah menjadi tradisi (Surastina, 2018: 6). Sedangkan konvensi sastra dapat diartikan sebagai aturan dalam bidang sastra yang sudah diterima orang banyak dan sudah menjadi tradisi.
Karya sastra dapat dikatakan sebagai buah dari hasil berpikir serta imajinasi pengarang yang tidak ada batasnya. Variasi keadaan sosial menjadi pemicu lahirnya karya sastra yang beragam, bahkan eksentrik di mata awam. Misalnya karya sastra berupa puisi yang berjudul “Hyang?” dan “Tragedi Winka dan Sihka” yang diciptakan oleh presiden penyair Indonesia, yaitu Sutardji Calzoum Bachri berikut ini.


Sebagian dari kita beranggapan bahwa karya di atas bukanlah puisi karena tidak sama dengan puisi-puisi yang biasa ditemukan. Akan tetapi, karya Sutardji ini adalah karya sastra berupa puisi, namun dengan konsep penulisan yang berbeda. Yang paling mencolok dari kedua puisi di atas adalah bentuk tipografinya. Puisi “Hyang?” berbentuk abstrak atau tidak beraturan, sedangkan puisi “Tragedi Winka dan Sihka” berbentuk zig-zag. Inilah yang menjadi pembeda dengan puisi-puisi lain di luaran sana.
Tentu puisi “Hyang?” dan “Tragedi Winka dan Sihka” ini tidak sesuai dengan konvensi puisi yang ada di zamannya, terutama pada konvensi visual dengan karya-karya pada umumnya. Akan tetapi, ketidak sesuaian karya dengan konvensi yang ada bukan berarti karya itu salah. Justru dengan karya yang demikian membuat sastra menjadi berkembang.
Prof. A. Teeuw mengemukakan bahwa dalam ilmu sastra modern peranan konvensi dalam sastra dan karya sastra sangat ditekankan, bukan sebagai sistem yang begitu baku dan ketat, tetapi sistem yang luwes dan dinamis. Dengan demikian, konvensi sastra sifatnya tidak statis, melainkan terus berkembang. Berkembangnya konvensi sastra disebabkan oleh inovasi yang dibuat oleh para pengarang. Sehingga dari inovasi tersebut memunculkan konvensi-konvensi baru yang sesuai dengan perkembangan zaman.
Berdasarkan pembahasan di atas dapat kita ketahui bahwa, konvensi bukanlah halangan bagi para pujangga dalam membuat karya sastra. Sastra tidak dapat dibatasi begitu saja karena pengarang memiliki inovasi. Ibarat sebuah koin, konvensi dan inovasi tidak dapat dipisahkan. Konvensi bagaikan sebuah gambar pada koin, sedangkan inovasi bagaikan angka pada koin. Jika salah satunya tidak ada, maka koin tersebut tidak ada nilainya. Begitupun dengan sastra, jika karya sastra terlalu terpaku dengan konvensi yang ada tanpa memikirkan inovasi, maka sastra tidak akan berkembang.
Tinjauan Pustaka
Surastina. 2018. Pengantar Teori Sastra. (Yogyakarta: Elmatera).