Apa yang dipelajari oleh pelajar Indonesia di bangku SMP dan SMA dalam kurun waktu 15 tahun ini? Adakah kewajiban untuk menamatkan sekian belas eksemplar buku sastra klasik lalu membuat laporan hasil bacanya? Tidak.
Inilah kelemahan terbesar kita. Cerita-cerita luhur yang kaya akan nilai-nilai mulia dari rahim pertiwi kita sendiri menguap begitu saja. Tidak ada upaya membangunkan kesadaran setidak-tidaknya untuk mengenalkan roman-roman lawas yang sarat nilai perjuangan.
Tidak bisa tidak, jikalau negeri ini masih ingin mempertahankan identitasnya sebagai sebuah bangsa yang berdaulat secara budaya, maka pendidikan bahasa dan sastra Indonesia harus dievaluasi secara serius.
Sebelum menuju pada upaya meningkatkan kecerdasan sastrawi dan memperkenalkan proses kreatif, mereka harus diwajibkan membaca Marah Rusli, Rivai Apin, Asrul Sani atau Pramodya.
Setidak-tidaknya mereka membaca dan mencerna judul-judul klasik macam Rubuhya Surau Kami, Atheis, Robert Anak Surapati, Lari Dari Blora, Godlob ataupun Perjanjian Dengan Maut.
Adalah sebuah hal yang sah dan legal meminta mereka meneruskan kegemaran kakek nenek di era Belanda, masa Revolusi hingga zaman Suharto yang masih familiar dengan cerpen-cerpen cerkas, novel dramatik terkait laju jaman yang penuh kontradiksi ataupun puisi dan prosa tempo dulu.
Semua itu juga sama berharganya dengan Harry Potter, The Lord Of The Rings, Seri Petualangan Sherlock Holmes ataupun Laskar Pelangi.
Apakah kita tidak cukup sedih estafet penyair hanya dipegang oleh Joko Pinurbo, Boy Chandra dan Fiersa Besari saja? Padahal jumlah penduduk kita ratusan juta orang.
Harus ada upaya serius untuk mengenalkan sastra-sastra klasik, setidaknya cerpen, novel, puisi dan prosa hasil karya pujangga tanah air.
Di sinilah letak kesalahan pendidikan Indonesia bertahun-tahun. Memperkenalkan hasil karya luar biasa para cerpenis dan sastrawan kita memang benar tidak akan serta merta melahirkan Sutarji Chalsoum Bahri yang baru, atau mencetak Iwan Simatupang junior secara instan. Tetapi itu adalah perwujudan untuk meneruskan estafet sastra kepada generasi muda.
Mungkin ketika diberi mereka akan bersungut-sungut melihat Bumi Manusia yang penuh sesak dengan tulisan tanpa gambar. Atau keadaan yang jauh berbeda yang digambarkan dalam puisi cerpen-cerpen Idrus.
Tapi dari sana anak-anak akan tahu perihnya dijajah Belanda dan melaratnya pendahulu kita ketika diinjak-injak Jepang. Ada pewarisan ingatan secara kolektif. Itulah hebatnya sastra klasik. Bersamanya ada nadi-nadi perjuangan. Inilah upaya mengembangkan proses kreatif secara jenius sambil mengajarkan sejarah serta menebalkan jiwa patriotisme.
Eka Kurniawan, sastrawan terbesar Indonesia saat ini hidup dan tumbuh cerita-cerita silat. Imajinasinya berkembang. Kosakatanya kaya. Insting sastranya terasah. Tak heran jika membaca karya-karyanya seperti Lelaki Harimau atau Seperti Rindu Dendam Harus Dibayar Tuntas bak menonton duel seru para tokoh yang aslinya hanya berupa rekaan berbentuk huruf di atas kertas.
Banyak negara di luar sana mewajibkan para pelajar melahap sekian buku dalam jangka waktu tertentu. Dan sastra lawas kita sudah menyediakannya. Bukan hanya menuntut anggara dari negara untuk belanja buku lalu diabarkan lapuk berdebu di perpustakaan. Sekolah dan dunia pendidikan harus turut aktif memperkenalkan roman-roman yang sarat berbagai nilai luhur dari pujangga masa lalu.
Atau jika mau yang modern, nama seperti Putu Wijaya, NH Dini, ataupun Sapardi adalah tokoh-tokoh yang masih dibilang fresh. Tapi kenalkah para pelajar kita pada mereka semua?
Lalu jika tidak kenal, bagaimana mungkin bisa menyayangi sastra? Jangan kaget jika beberapa pelajar yang haus akan sastra lalu mencari-cari panutan dari luar negeri. Lebih hafal kisah-kisah karya R.L Stine, JK Rowling atau Haruki Murakami. Padahal tetralogi Bumi Manusia karya Pram sudah diterjemahkan dalam ratusan bahasa.
[zombify_post]