Tahukah kalian? dibeberapa wilayah Indonesia masih marak mengenai perkawinan usia anak yang belum mumpuni dan masih harus diasuh. Perkawinan ini terjadi pada usia anak yang belum mencapai 18 tahun dan belum matang secara fisik maupun psikologis untuk mengemban tanggungjawab dalam pernikahan. Perkawinan usia anak dinilai menjadi bentuk pelanggaran hak anak yang mempunyai dampak negatif dan berbahaya, tidak hanya pada anak melainkan pada keluarga dan juga negara. Oleh karenanya, hal ini tentu menjadi kondisi yang perlu diperhatikan secara khusus dan dilakukan beberapa tindakan yang dapat meminimalisir terjadinya perkawinan anak.
Selain itu, faktor-faktor yang mendorong pernikahan anak tidak jauh dari faktor ekonomi, social, budaya dan juga pendidikan. Perkawinan anak sendiri dinilai sebagai solusi perekonomian dengan mengurangi biaya membesarkan anak perempuan. Dalam hal ini kemiskinan menjadi alasan utama terjadinya pernikahan anak karena dirasa ada manfaatnya bagi anak dan juga keluarganya. Pada dasarnya negara telah mengatur mengenai perkawinan usia anak, dimana para orang tua berkewajiban untuk mencegah terjadinya hal tersebut. Namun beberapa masyarakat juga kurang menyadari tanggungjawabnya sehingga mendorong anak untuk menikah lebih cepat.
Dilansir dari Koalisi Perempuan Indonesia pada tahun 2017 menyebutkan, bahwa berdasarkan data biro pusat statistik tahun 2016, menunjukan angka memprihatinkan anak perempuan yang berada di Indonesia menjadi korban perkawinan usia anak yang masih tinggi dan belum mengalami penurunan. Oleh karenanya, memang sangat perlu dilakukan sosialisasi kepada para masyarakat mengenai Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, dengan pasal 7 ayat (1) yang menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun.
Menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) usia ideal untuk menikah yaitu 21 tahun bagi perempuan dan 25 tahun bagi laki laki. Selain itu, usia ideal yang matang secara biologis dan psikologis yaitu 20-25 tahun untuk perempuan dan 25-30 tahun untuk laki-laki. Usia ini menjadi waktu yang tepat untuk berumah tangga dan menjalin hubungan yang berkualitas. Dengan adanya penetapan terbaik mengenai usia ideal inilah, diharapkan mampu menambah kesadaran masyarakat mengenai pentingnya melihat kematangan usia dalam perkawinan.
Dilansir dari the Conversation tentang alasan mengapa perkawinan anak harus dilarang, menurut sejumlah penelitian perkawinan usia anak menjadi permasalahan social di kalangan masyarakat. Terdapat lima dampak buruk akibat hal ini. Seperti, perkawinan anak menjadi alasan tingginya angka perceraian di Indonesia, perkawinan memiliki dampak yang buruk bagi kualitas sumber daya manusia (SDM), perkawinan anak dapat menyebabkan adanya kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga, perkawinan anak menyebabkan permasalahan kesehatan, dan perkawinan anak juga menghambat program kerja atau agenda dari pemerintah.
Dalam permasalahan kesehatan, perkawinan usia anak ternyata juga memiliki resiko yang tinggi diantaranya:
- Pengantin muda memiliki keterbatasan akses penggunaan kontrasepsi serta layanan informasi kesehatan reproduksi.
- Mayoritas terpapar hubungan seksual pada usia awal dan sering serta mengalami kehamilan berulang dan melahirkan sebelum mereka matang secara fisik dan psikologis.
- Kehamilan merupakan penyebab utama terjadinya kematian pada anak perempuan berusia 15 sampai 19 tahun, dan mereka yang berusia dibawah 15 tahun lima kali lebih mungkin meninggal daripada mereka yang berusia diatas 20 tahun.
- Kematian bayi dua kali lebih tinggi pada bayi dari ibu yang sangat muda. (Ismi Dwi Astuti Nurhaeni)
Disamping permasalahan, penyebab, dan dampak perkawinan usia anak juga terdapat beberapa inovasi untuk mencegah usia perkawinan anak yaitu:
- Memberdayakan anak perempuan dengan informasi, keterampilan, dan jaringan pendukung
- Mendidik dan menggerakkan orang tua dan anggota masyarakat
- Meningkatkan aksesibilitas dan kualitas sekolah formal untuk anak perempuan
- Menawarkan dukungan ekonomi dan insentif untuk anak perempuan dan keluarganya
- Mengembangkan hukum dan kerangka kebijakan
(Malhotra et al, 2011: 11)
Dilansir dari Puskapa Medium, menurut (Malhotra et al, 2011) cara yang dinilai efektif juga tidak hanya itu, melainkan dapat dilakukan dengan cara melaksanakan kampanye sosial dari seluruh elemen. Dari berbagai program pencegahan perkawinan usia anak yang dilakukan setiap lembaga di dunia, masih sedikit yang membahas upaya pencegahan perkawinan usia anak secara khusus dan rata-rata program pencegahan anak juga dilakukan hanya sampai akhir tahun 2010. Menggabungkan pencegahan perkawinan usia anak dengan tujuan lain, seperti penghapusan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan.
Salah satu upaya Kemen PPPA dalam mencegah dan meminimalisir perkawinan usia anak yaitu dengan cara mengoptimalkan peran dan fungsi layanan kesehatan yang ada di masyarakat, salah satunya melalui Puskesmas Ramah Anak (PRA). Hal ini diharapkan dapat mendukung upaya upaya dalam mempercepat penurunan stunting dan masalah kesehatan lainnya. Puskesmas Ramah Anak harus mampu menginovasi dalam memberikan pelayanan ramah anak, seperti memperluas wilayah dan mengembangkan layanan puskesmas bagi masyarakat secara berkelanjutan, lebih khusus dalam melakukan pencegahan perkawinan usia anak.
Meski berfokus dalam upaya pencegahan perkawinan usia anak, kita juga harus tetap memperhatikan mereka yang sudah terdorong dalam menikah di usia anak. Tetap memberikan pelayanan kesehatan dan melihat kesiapan lebih lanjut dari setiap pasangan tersebut sangatlah penting, karena dibalik pernikahan dini ada persoalan psikologis yang harus menjadi perhatian, mengenai psikis dan juga mental kedua pasangan yang menikah, terutama untuk perempuan. Sebab menikah tidak hanya tentang menciptakan sebuah hubungan tapi juga berkaitan dengan organ reproduksi yang matang untuk siap menjadi orang tua sesungguhnya.
Berdasarkan semua permasalahan, factor penyebabnya dan dampak adanya perkawinan anak diharapkan menjadi tolakukur pemikiran para masyarakat untuk menyikapi hal tersebut. Oleh karena itu, pembekalan pengetahuan terkait kesehatan seperti reproduksi memang sebaiknya di berikan sejak usia anak dini dengan tetap memperhatikan usia dan cara penyampaian sebagai orang tua. Karena pengetahuan tersebut sebaiknya memang tidak hanya diberikan secara formal tapi juga bisa diberikan secara informal dalam masyarakat. Adanya ajaran pendidikan agama yang lebih humanis juga dapat dijadikan pengarahan agar setiap anak dan masyarakat dapat mengimplementasikan ajaran agama yang lebih akomodatif.
Selain hal-hal ini ditujukan sebagai upaya dalam mengurangi angka perkawinan usia anak yang tinggi dibeberapa wilayah di Indonesia, juga difokuskan untuk meningkatkan kualitas pendidikan agar menghasilkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan mengerti edukasi mengenai perkawinan yang ideal. Oleh karenanya, kesadaran masyarakat mengenai permasalahan ini sangat diharapkan karena dapat membantu setiap agenda pemerintah dalam mengatasi perkawinan usia anak.
Jangan lupa untuk selalu ikuti sosialisasi maupun kampanye yang dilakukan setiap lembaga maupun elemen pemerintah mengenai perkawinan usia anak ya, karena pengetahuan tentang ini sangat kita perlukan untuk menjadikan anak sebagai generasi unggul dan berkualitas.