Menikah. Salah satu sunah yang digaungkan untuk melengkapi separuh agama. Menetapkan pilihan untuk menghabiskan sisa usia bersama, menjaga sumpah untuk setia hingga akhir hayat.
Tak sedikit pasangan yang memilih untuk menyerah sebelum sampai pada gerbang pernikahan. Alasannya, dari perbedaan mendasar yang sangat rumit hingga yang paling klise—aku tak cocok dengannya. Tak satupun dari semua alasan mereka menyerah itu salah. Memang betul, daripada nanti saat sudah bertahun-tahun bersama, lebih baik mengakhiri sekarang dan mencari yang lebih seirama.
Menuju sehati itu susah, apalagi tak didasari dengan berserah. Banyak yang mengalami ketakutan, bahkan untuk hal yang paling sulit untuk ditakar – mencapai standar sempurna. Atau lebih tepatnya mampu untuk ‘terlihat’ sempurna.
Tak salah menetapkan impian. Memiliki rumah berlantai dua bahkan lima, mobil elegan nan mewah, pabrik besar dan berkembang, bahkan investasi saham di mana-mana. Tapi, sebagian orang melewatkan beberapa hal. Mungkin sederhana, dan tak berpengaruh apa-apa.
Barangkali sebuah kolam kecil dengan beberapa ikan hias berenang dengan bebas, sejumlah tanaman hias yang tersusun rapi di pekarangan rumah, anak-anak yang bermain dan berlari kecil dengan riang di halaman, raga yang bugar dan mampu makan dengan enak, serta jiwa yang bahagia dan mampu bernapas dengan lega.
Mulai dari pola pikir bagaimana kebahagiaan itu datang. Saat kita tak punya banyak uang, tak bisa bebas mencicip makanan dan minuman mahal, tidur tak nyenyak karena kasur yang keras, bahkan harus berpikir panjang saat akan membeli barang, kita merasa tak bahagia. Melihat orang-orang dengan harta melimpah dan kemudahan memenuhi keinginan adalah tolok ukur kesempurnaan yang mutlak.
Tapi, tak selamanya menjadi kaya memastikan kebahagiaan. Tak sedikit orang-orang yang banyak harta merasa kesepian, dan ingin melakukan hal-hal yang mungkin sangat jarang mereka dapati. Hal sederhana seperti berjalan santai di pagi hari, duduk bersama pasangan dan bermain dengan anak-anak, bahkan ingin memiliki teman-teman yang melihat apa adanya, tidak sekadar menemani seseorang dengan harta yang melimpah.
Sama seperti kebahagiaan, konsep pernikahan pun memiliki standar. Meski tak pasti seperti apa standar itu, banyak orang yang berusaha mencapainya. Bagi sebagian orang yang mungkin belum cukup modal, cara yang terlintas di benak mereka adalah hutang.
Mereka rela, dengan harapan akan mampu menutupnya ketika nanti acara selesai dan sumbangan walimah telah seluruhnya direkap. Meskipun hal tersebut juga tak dilarang, alangkah baiknya jika setiap keluarga mengupayakan segala sesuatu untuk sebuah pernikahan dengan konsep yang sesuai dengan kemampuannya.
Hal ini bukan bualan. Menikah, baru permulaan. Akan ada konsep-konsep jangka panjang rumah tangga yang lebih membutuhkan biaya. Akan lahir anak-anak yang butuh dipenuhi gizinya dan dibiayai pendidikannya. Kesehatan kita juga menjadi kebutuhan utama, sebagaimana umur panjang yang bahagia adalah impian.
Sekali lagi, menuju sehati itu susah. Banyak perbedaan pendapat yang bisa memunculkan konflik jika tak ada kesamaan rasa untuk ingin saling mengerti.
‘Mengapa semakin mendekati jenjang serius ia justru tak pernah punya waktu untukku?’
Bisa jadi yang tak punya waktu bukan karena ada yang baru, melainkan mengumpulkan dana untuk kehidupan bahagiamu. Ia ingin menjadi suami yang layak untuk dibanggakan dan mampu diandalkan. Ia ingin keluarganya kelak tercukupi kebutuhannya.
‘Aku tak mendapat perhatian dan dia sering sekali mendiamkanku. Pun lagi dia tak berusaha terlihat menarik di hadapanku.’
Bisa jadi wanita yang sering mendiamkanmu bukan karena tak memperhatikanmu, melainkan menghargai waktumu untuk menggapai seluruh angan. Dia berusaha terlihat menarik di hadapanmu, tapi muncul rasa tak enak hati jika menganggu. Wanita yang memilih untuk berpenampilan biasa agar tak ada lain yang melirik, pun karena ia bangga padamu yang telah mendukungnya menjadi diri sendiri.
Semua kunci menuju sehati adalah saling mengerti. Bahwa bukan istri membantu suami dan sebaliknya, melainkan semua yang ada dalam rumah tangga adalah tugas bersama. Mulai dengan konsep pernikahan, mungkin memang tak sesuai impian. Tapi, mencapai makna bahagia adalah hakikat pernikahan yang sesungguhnya.
Banyak dari mereka yang berjuang dengan segala hal agar dilihat, melakukan sesuatu untuk mendapat perhatian, dan berusaha untuk mendapat pujian. Mereka tak segan menampakkan segala hal yang mereka miliki, namun tak paham untuk apa tujuan mereka melakukannya. Satu yang paling sering yaitu, memenuhi standar bagaimana kesempurnaan itu dicapai.
Kenyataannya, kesempurnaan adalah hal yang tidak pasti. Sekali lagi, tak ada manusia yang sempurna. Lantas mengapa harus ada standar kesempurnaan yang wajib dipenuhi setiap orang? Beberapa dari mereka yang merasa terikat dan harus terlihat sempurna, mempertaruhkan kehidupan dan masa depan mereka untuk mencapai standar tersebut. Padahal tak harus ‘mewah’, cukup dengan bersyukur dan berserah.
Menuju sehati itu susah, semakin berat jika harus mewah. Permudahlah, dengan niat dan hati yang berserah. Pasanganmu bukan seseorang yang harus dituntut menjadi sempurna, karena sejatinya cinta adalah membaik bersama. Perlu kesadaran yang nyata untuk berubah, agar kita layak disebut rumah—tempat pulang yang paling nyaman.