Film merupakan sebuah sarana hiburan yang dewasa ini mengambil porsi tambahan dalam membentuk paradigma masyarakat atas suatu fenomena, singkatnya film juga mengambil bagian dalam mengedukasi penontonnya.
Beberapa isu kontroversial kerap kali diangkat dalam layar lebar guna memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang isu tersebut.
Sebut saja kesetaraan gender, rasisme, hingga hubungan homoseksual.
Nilai-nilai yang disalurkan melalui film diangap lebih mudah dicerna dan diterima oleh penonton, tentunya dengan usia yang disesuaikan dengan konten film yang disajikan.
Sayangnya, masih ada beberapa penyajian informasi yang dinilai bias dalam penayangan sebuah film.
Salah satu isu yang masih dianggap belum disajikan secara konkrit dan eksplisit adalah isu disabilitas di tengah struktur sosial kita.
Sebagai seorang pelajar yang kebetulan pernah merasakan secara langsung bagaimana berinteraksi dengan para penyandang disabilitas di sebuah sekolah luar biasa (SLB), cara seorang produser film dalam menggambarkan tokoh disabilitas masih sering kami anggap rancu, jika terlalu kasar jika mengatakannya keliru.
Bagaimana tidak, tokoh disabilitas dalam film hampir pasti diperankan oleh aktor non-difabel.
Dari sini lah kemudian kerancuan demi kerancuan muncul.
Nilai-nilai yang seharusnya ditangkap oleh penonton yang menonton film dengan tema disabilitas di dalamnya menjadi tidak terbaca secara utuh.
Kami mengambil contoh sebuah film Indonesia yang mengadaptasi sumber aslinya dari negara korea berjudul “Miracle in Cell no.7” yang dijadwalkan tayang pada tahun ini.
Film ini akan mengambil premis dimana seorang ayah pengidap disabilitas intelektual yang dituduh atas sebuah kasus pembunuhan yang tidak ia lakukan.
Ia memiliki seorang anak perempuan yang harus ia besarkan sendirian.
Dari sini kemudian konflik bermula Ketika tokoh ayah berjuang untuk mencari keadilan demi bisa terbebas dari tuduhannya dan Kembali membesarkan putri tunggalnya.
Premis cerita yang menarik, aktor-aktor yang mengisi deretan cast juga tidak main-main.
Namun, terlepas dari itu semua ada satu hal yang kami garis bawahi Ketika perilisan perdana trailer film ini diluncurkan di kanal Youtube rumah produksi film tersebut.
Kebanyakan dari pengguna media sosial mengisi kolom komentar dengan pujian terhadap pemeran tokoh ayah yang dinilai dapat memerankan sebuah tokoh fiktif pengindap disabilitas dengan sangat baik dan totalitas, bahkan beberapa menyebutnya sempurna.
Tentu kami tidak mempermasalahkan tanggapan penonton yang semacam itu, namun disinilah ditakutkan bibit-bibit pembiasan makna film tersebut akan terjadi.
Alih-alih menangkap pesan moral tentang bagaimana kita sebagai masyarakat umum memandang para penyandang disabilitas, para penonton lebih terpukau dengan acting sang bintang yang berhasil memerankan tokohnya dengan baik.
Penonton yang haus akan hiburan mungkin akan terpuaskan, tapi bagaimana dengan penonton yang mengharapkan nilai moral yang dapat diambil dari film tersebut?
Bagaimana jika komentar-komentar yang bertebaran di trailer perdana film tersebut menjadi persuasif sehingga penonton yang datang ke bioskop untuk menonton film tersebut hanya berfokus pada bagaimana sang aktor idola memerankan tokoh disabilitas saja?
Karena aktor tersebut sudah dipuji-puji bahkan jauh sebelum filmnya benar-benar dirilis.
Diatas semua itu, film ini memberikan penonton gambaran bagaimana struktur sosial kita bersikap terhadap para penyandang disabilitas.
Tokoh ayah yang merupakan seorang difabel dituduh melakukan kesalahan untuk kemudian dihakimi secara sepihak oleh aparat dan dimasukkan kedalam sel penjara.
Tanpa belas kasihan mereka memperlakukan tokoh ayah sebagaimana mereka memperlakukan narapidana lain yang memiliki fisik normal.
Irioni yang diharapkan dapat membuat masyarakat paham bahwa meskipun para penyandang disabilitas punya hak yang sama, tidak berarti mereka juga harus diperlakukan dengan cara yang sama.
Hal-hal di atas tentu akan menjadi sama sekali berbeda jika rumah produksi memilih untuk menggunakan aktor yang memang di dunia nyata juga merupakan seorang penyandang disabilitas.
Meski proses produksinya tentu tidak akan semudah Ketika mereka menggunakan aktor non-difabel.
Tetapi stigma semacam ini yang membuat para penyandang disabilitas dinilai tidak layak, atau jika tidak terlalu frontal menyebut tidak akan pernah layak untuk menjadi seorang aktor film.
Pada kenyataanya mereka punya kemampuan untuk itu, hanya kepercayaan lah yang tidak atau belum pernah mereka dapatkan.
Maka para produser, rumah produksi, dan orang-orang yang bekerja dalam industri perfilman harus mulai menggali lebih dalam tentang dunia disabilitas, jika benar-benar ingin mengangkat tema ini dan menyampaikan pesannya secara komprehensif dan universal.
Hal tersebut bisa dimulai dengan memberdayakan teman-teman kita yang memiliki kebutuhan khusus untuk dilatih menjadi orang-orang yang tidak hanya bisa berakting, tetapi juga mampu menyampaikan pesan-pesan dari para penyandang disabilitas dengan polos dan tanpa bersandiwara.