Judul dari tulisan ini, sebenarnya juga adalah sebuah pertanyaan besar, yang sampai sekarang belum kami temukan jawaban yang memuaskan untuknya. Secara teoritik, memang ada Undang-Undang No. 8 Tahun 2016, tentang penyandang disabilitas, yang mengatur berbagai hak umum dan hak khusus bagi penyandang disabilitas. Akan tetapi, implementasinya masih sangat jauh dari harapan.
Sebagai seorang ayah dari seorang anak difabel penyandang Spinal Muscular Atrophy tipe 2, kondisi riil di Indonesia cukup berat bagi kami. Persoalan-persoalan klise, seperti minimnya aksesibilitas, diskriminasi, ketiadaan penyediaan alat bantu, dan lain-lain, yang belum juga tuntas sampai sekarang, membuat Undang-Undang yang disahkan pada era Presiden Joko Widodo tersebut seolah tak ada fungsi atau kegunaannya sama sekali.
Terlebih lagi melihat kejadian baru-baru ini, ketika Menteri Sosial Tri Rismahaharini, yang dengan sengaja melanggar pasal 128 ayat 2, Undang-Undang No. 8 tahun 2016, yang berbunyi, “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin Penyandang Disabilitas bebas dari segala bentuk kekerasan fisik, psikis, ekonomi, dan seksual”. Sikap Risma yang dengan sengaja memaksa seorang penyandang disabilitas tuna rungu, untuk berbicara, pada dasarnya adalah salah satu bentuk kekerasan psikis terhadap penyandang disabilitas tuna rungu tersebut. Ironisnya, hal tersebut terjadi pada saat peringatan Hari Disabilitas Internasional, tanggal 1 Desember 2021.
Karena itulah maka pertanyaan ini muncul, bagaimana Pemenuhan Hak Kaum Difabel di Indonesia? Sebenarnya, yang dibutuhkan oleh kaum difabel adalah bukan belas kasihan, seperti memberi uang receh kepada pengemis yang difabel di perempatan lampu merah, melainkan adalah aksesibilitas, kesempatan yang sama, fasilitas pendukung, perlakuan yang tidak diskriminatif, pemahaman akan kondisi yang mereka miliki, dan lain-lain. Tanpa ini semua, akan sulit bagi kaum difabel untuk hidup di bumi Indonesia.
Secara definisi, sebenarnya kata difabel merupakan serapan dari kata bahasa Inggris “diffable“, yang berarti differently able. Artinya, kaum difabel adalah orang-orang yang memiliki kemampuan berbeda dari manusia lainnya. Kata “Difabel”, sebenarnya lebih setara dibanding “Disabilitas”, yang berasal dari kata bahasa Inggris “Disability“, yang berarti “Ketidakmampuan”.
Spinal Muscular Atrophy, adalah sebuah kelainan genetik syaraf otot, yang mempengaruhi sel-sel syaraf yang mengendalikan syaraf motorik. Akibat kelainan syaraf yang dideritanya ini, otot anak kami jauh lebih lemah daripada otot anak normal lainnya. Ia belum mampu berdiri dan berjalan di usianya yang sudah 13 tahun. Untuk itu, ia harus menggunakan kursi roda sebagai alat mobilitasnya.
Memang Undang-Undang nomor 8 tahun 2016, telah diatur bagaimana dan apa saja hak-hak yang dimiliki oleh kaum difabel, dari mulai pasal 5 sampai 26. Persoalannya adalah apakah sudah dijalankan dengan menyeluruh atau belum? Salah satunya adalah apakah para pelaku bullying dan kekerasan fisik serta psikis terhadap kaum difabel sudah mendapat hukuman yang setimpal? Padahal dalam pasal 5 huruf v, Undang-Undang nomor 8 tahun 2016 disebutkan bahwa penyandang disabilitas memiliki hak “Bebas dari tindakan Diskriminasi, penelantaran, penyiksaan, dan eksploitasi“.
Jika hal klise seperti pembiaran terhadap pelaku bullying pada kaum difabel masih terjadi. Bahkan lebih parah lagi, seorang menteri sosial, ternyata dengan sadar dan sengaja, melakukan kekerasan psikis pada salah seorang difabel, pertanyaannya kemudian adalah, buat apa dulu Undang-Undang no.8 tahun 2016 itu dirancang dan disahkan? Apakah memang untuk mengatur hak umum dan hak khusus bagi kaum difabel sebagai bagian dari bangsa Indonesia? Ataukah hanya sebagai pemanis saja, supaya bangsa dan negara kita dianggap bangsa yang beradab oleh dunia internasional?
Kalau yang kedua yang menjadi jawaban, maka sebaiknya Undang-Undang No.8 tahun 2016 dibatalkan saja, dan atau diganti dengan Undang-Undang Apartheid seperti di Afrika Selatan zaman dulu, yang mengatur pemisahan antara ras dan warna kulit yang berbeda. Akui saja pada dunia bahwa kita bangsa Indonesia, belum sanggup jadi bangsa beradab, dan lebih nyaman dan cenderung abai terhadap ketidakberadaban. Hapus saja sila kedua “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” dari Pancasila.
Jika yang menjadi jawaban adalah yang pertama, maka mari kita bersama, rakyat dan pemerintah memastikan implementasi dari Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas. Dengan demikian, kita bisa menunjukkan pada dunia bahwa nilai dan sikap kemanusiaan yang kita miliki adalah kemanusiaan yang benar-benar adil dan beradab.

Hal kongkrit lainnya yang bisa dilakukan oleh pemerintah, yang dalam hal ini adalah Presiden Joko Widodo, yaitu menginstruksikan pada Menteri Sosial Tri Rismaharini untuk meminta maaf kepada kaum difabel, khususnya difabel tuna rungu yang dipaksanya berbicara, secara lisan dan tertulis, yang ditayangkan dan dimuat oleh berbagai media cetak maupun elektronik, serta online.
Sikap Risma yang tidak mau meminta maaf atas kekerasan psikis yang dilakukannya terhadap kaum difabel adalah sikap yang bertentangan sekali dengan sila kedua Pancasila, yaitu “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”. Oleh karena itulah, Presiden Joko Widodo, sebagai kepala negara dan pemerintahan, harus bersikap tegas terhadap bawahannya yang melakukan tindakan pelanggaran terhadap Undang-Undang No. 8 tahun 2016 dan dasar negara Indonesia, Pancasila. Jika kemudian, Risma tetap tidak mau meminta maaf kepada Kaum Difabel, maka Presiden Joko Widodo sebaiknya memberhentikan Risma sebagai Menteri Sosial, karena akan merusak citra pemerintahan di mata masyarakat Indonesia, komunitas difabel, dan dunia internasional.