Guru, dalam filosofi Jawa memiliki makna digugu dan ditiru. “Digugu, artinya dianggap atau diterima setiap ucapan dan nasihat yang diberikan kepada siswa-siswinya, dan ditiru, artinya diteladani atau dicontoh setiap gerak langkah serta segala kepribadian baik yang ada pada dirinya.” begitu makna guru dalam filosofi Jawa.
Guru, dahulu dikenal sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, meskipun begitu besar jasa-jasa yang diberikan oleh para guru kepada peserta didiknya. Hal ini karena setelah mereka wafat tidak pernah diperingatinya atau dikenang lagi, bahkan ketika mereka telah pensiun dari jabatannya sebagai seorang guru, mereka sudah layaknya orang biasa yang seolah tak pernah memberikan peran apapun.
Tapi, tahukah kita, bahwa guru adalah pengabdi sejati bagi bangsa dan negara ini. Kiprahnya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat, tak pernah surut dalam setiap langkah dan waktu yang mereka jalani.
Guru tidak saja sekedar memberikan pelajaran, ceramah, lalu pulang, tapi perannya begitu besar dalam mempersiapkan kader penerus bangsa ini. Bukan sekedar memberikan nasihat saat siswa-siswinya berbuat kesalahan lalu selesai, tapi lebih-lebih dari itu. Mereka terus membimbing, membina, mengarahkan dengan penuh kesabaran serta kasih sayang serta tanpa mengenal batas waktu. Guru terus membina dan membimbingnya kapan siswa-siswinya lagi-lagi harus melakukan pelanggaran dan kesalahan kembali. Bahkan tak jarang guru ikut terseret-seret ketika siswa-siswinya membuat ulah diluar jam-jam sekolah karena masih menggunakan almamater sekolahnya.
Guru harus mengikuti perkembangan global, dituntut memenuhi standar pendidik, mempersiapkan materi pelajaran membuat RPP, Silabus, Penilaian dalam ranah kognitif, afektif, psikomotorik, hingga pada penilaian diri. Tuntutan pendidikan yang harus sesuai dengan undang-undang yang berlaku meski dalam usia yang sudah lanjut mereka harus sekolah kembali, dan banyak hal lain yang harus dijalani oleh seorang guru, seperti harus ikut pelatihan, MGMP, seminar, studi banding dan lain-lain.
Tak jarang para guru khususnya guru honorer, harus meninggalkan kebersamaannya dengan keluarga, anak, dan istri untuk beberapa waktu hanya karena tanggung jawab dan tuntutan pendidikan, dan sekedar mendapatkan transport tambahan.
Terdengar miris sekali, saat kita mendengar berapa gaji seorang guru honorer yang pengabdiannya tak kurang dari 10 bahkan 15 tahun. Rata-rata mereka hanya menerima 300 hingga 400 ribu dalam 1 bulan. Lebih miris lagi saat mendengar seorang guru honorer sambil menjadi tukang kuli pasir, kuli bangunan bahkan tak pernah memiliki sebuah gadget yag seharusnya mereka bisa berkomunikasi dengan sesama rekanan guru.
Namun semua yang teradi itu tak pernah menyurutkan perjuangan mereka untuk mendidik dan menyiapkan generasi bangsa ini. Kalaupun mereka ada yang mengeluh, itu adalah manusiawi, karena terkadang harus menghadapi sikap peserta didiknya yang tak jarang susah untuk dinasehati bahkan sampai pada tahap melawan. Tatkala guru ingin bertindak tegas, justru kondisi berbalik guru menjadi sasaran kesalahan dan harus berhadapan dengan pihak-pihak lembaga sosial masyarakat atau bahkan aparat hukum yang dapat menyudutkan kedudukan guru itu sendiri. Karena itulah guru terus berusaha untuk menjadi suri tauladan yang baik (ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tutwuri handayani).
Bermodalkan kendaraan ala kadarnya, mereka berangkat dipagi hari terkadang pulang hingga sore hari karena harus menyelesaikan tugas-tugasnya sebagai seorang guru. Teriknya matahari, derasnya air hujan bukanlah sebuah rintangan demi tanggung jawabnya terhadap calon penerus bangsa ini. Belum lagi area yang dilalui dengan medan yang susah dan penuh tantangan, harus melaui sungai yang deras atau bukit-bukit yang terjal.
Negara ini berkembang karena guru,negara ini bisa maju karena guru, negara ini bisa jaya karena guru, tanpa guru maka generasi kita tidak akan mengerti apa yang seharusnya mereka kerjakan.
Karena itu, mari kita hargai perjuangan mereka, kita hormati mereka, terlebih bagi para guru honorer senior yang perjuagan mereka sudah tak perlu lagi ditanyakan kesetian mereka terhadap dunia pendidikan. Bila mungkin jadikanlah mereka para honorer yang sudah mengabdi puluhan tahun lamanya bisa mengenyam manisnya buah kemerdekaan, yakni dijadikan ASN agar para honorer bisa lebih baik lagi kehidupannya dan bisa keluar dari kesulitan yang dijalaninya selama bertahun-tahun. Salam kompak buat guru honorer.