Apa yang terjadi dengan dunia di awal tahun 2020 ini belum pernah terjadi sebelumnya di masa-masa lalu. Sebagai sebuah komunitas global, manusia menghadapi sesuatu yang benar-benar baru. Pandemik Corona yang menewaskan banyak orang serta melahirkan ketakutan.
Banyak orang mencemooh tidak becusnya para stakeholder di berbagai negara terkait cara mereka menangani teror virus Flu Wuhan tersebut.
Namun nyatanya semua kebijakan yang diambil memang bisa berbuntut petaka. Ada yang kembali diserang ketika sudah merasa aman dan membuka sekolah. Ada yang dicemooh karena dianggap terlalu mengekang kebebasan. Semua kebingungan yang ada berhulu dari fakta yang sering dilupakan setiap insan : pandemik ini adalah sesuatu yang benar-benar baru bagi spesies kita. Jauh lebih berdampak dari Flu Spanyol, MERS, SARS ataupun EBOLA secara global.
EBOLA dan AIDS sudah cukup lama menjadi kekhawatiran kita, tetapi kedatangan COVID 19 yang paling membuat dunia terguncang hebat.
Lantas sebagai insan, apa yang harus dilakukan? Tenggelam dalam paranoia akut? Atau ikut arus alternatif yang mencurigai segudang konspirasi di balik ini dan kemudian lengah? Terserah Anda, Tuhan memberikan akal budi dan kecerdasan untuk kita semua. Saatnya Anda menggunakannya.
Namun di balik ini semua, ada satu kesempatan emas yang mau tidak mau telah berubah menjadi sebuah tuntutan bagi kita, mengubah kehidupan. New Normal.
Jepang menjadi salah satu dari sedikit negara yang sukses mengendalikan penyebaran dan dampak COVID 19, karena punya akar budaya yang kuat. Masyarakat negeri Megumi Megure itu sudah terbiasa melalukan gaya hidup bersih dan teratur jauh sebelum WHO menelurkan protokol kesehatan yang kini diadopsi seluruh dunia.
Jika kita jeli mengamati, maka New Normal akan sangat terkait dengan suatu mazhab hidup yang selama ini mungkin jarang dilirik umat manusia : kesederhanaan.
Pandemik Corona harusnya mengajarkan kita untuk mengurangi jiwa konsumtif, memangkas sikap hedonis sampai level tertentu dan bersiap untuk gaya hidup yang lebih sederhana.
Dengan pembatasan ini dan itu harusnya kita benar-benar belajar mengatur keuangan, waktu, tenaga dan space.
Mana barang yang harus dibeli, mana yang harus dikurangi. Perlukah membeli ini, haruskah memiliki itu?
Mengadopsi gaya hidup sederhana bukan hanya persoalan menghemat pengeluaran tetapi benar-benar cermat dalam mengatur hasrat ingin memiliki. Fungsionalitas nomor satu, kemewahan nomor sekian. Gengsi dan prestis wajid dihilangkan dari list.
Lantas bagaimana kita memulai hidup sederhana? Ada banyak contoh dan panduan di Youtube, Google, maupun majalah. Mulai dari membuat to do list belanja bulanan yang simpel hingga benar-benar memangkas barang-barang yang ada di rumah.
Ada banyak rumah tangga yang selama ini memuja hasrat posesif mereka karena kondisi memang memungkinkan : mengkoleksi mobil, punya banyak outfit, rajin mengikuti tren gadget, hingga menjejali rumah dengan furniture yang bikin pemandangan jadi sumpek.
New Normal memungkinkan kita untuk kembali mengevaluasi diri. Tidak hanya tentang barang-barang namun juga aktivitas : membuang waktu di kedai kopi mahal, mewajibkan diri nonton semua rilisan film di bioskop hingga hang-out di pusat perbelanjaan.
Inilah kesempatan bagi spesies kita untuk menyimak kembali perjalanan sejarah yang membuat kita mengadopsi konsumerisme, hedonisme dan kapitalisme dalam sendi-sendi kehidupan. Membuat itu semua tak terpisahkan dari kita, sehingga kita menjadi insan materialisme yang dipenuhi hasrat ingin hype, trendy dan dipuja karena kekayaan serta koleksi barang mewah.
Corona mengubah segalanya. Sekarang, maukah kita berubah? Menjadi lebih simpel dan menjalani gaya hidup sederhana.
[zombify_post]