Bagian 1. Jane Doe
“Ayo katakan!” Kucoba merayunya sekali lagi, untuk kesekian kali.
Tapi Nad malah menengadah ke garis horizon, raut wajahnya kaku seolah ia kesal karena malam menyembunyikan bintang favoritnya. “Malam ini bakalan dingin,” katanya.
“Lagi-lagi mengalihkan pembicaraan! Jangan lihat langit terus, lihat aku!” Usahaku menggapai wajahnya selalu gagal, Nad pintar berkelit menghindari tanganku, selain itu ia lebih tinggi. Setiap kali berdiri di dekatnya aku seperti penderita stunting, Nad bilang itu karena waktu kecil aku kekurangan protein jadi tulang-tulangku tidak tumbuh maksimal, padahal kalau dilihat dari gen orang tua seharusnya tinggi badanku lebih dari seratus tujuh puluh.
“Kita makan ya?” katanya memohon.
“Dari dulu kau tidak pernah bisa mengatakannya, apa susahnya bilang I love you Kirana. Jujur ya, Dixon lebih romantis,” kataku.
Hampir sembilan puluh sembilan persen manusia pasti marah kalau dibanding-bandingkan dengan manusia lain, tapi aku senang membandingkan antara Nad dengan Dixon, keponakanku satu-satunya, karena ia malah menikmati. Aku merasa dia agak sedikit angkuh, terlalu percaya diri kalau semua teman cowok yang kumiliki levelnya jauh di ujung jempol kakinya. “Ternyata hanya Dixon yang tau perasaanku,” sambungku.
Ia menatapku sambil mengeluh pelan. Sinar samar dari lampu hybrid di depan pintu laboratorium tidak menghalangiku menikmati perubahan ekspresinya ketika sedang kesal pada tingkah kekanak-kanakkanku. “Bandingin kok sama Dixon yang baru tiga tahun, apalagi kau terus mengajari kalimat itu sejak ia mulai belajar bicara. Ayolah kita ke atas! Makanan yang kumasak pasti sudah dingin,” katanya.
Dengan cepat aku menghindar saat Nad ingin meraih tanganku. “Tunggu! Jangan mengalihkan pembicaraan terus!” selaku. “Jadi mau dibandingin sama siapa? Semua teman cowokku kabur setelah tahu profesimu, hanya Dixon satu-satunya cowok yang bertahan.”
“Ayolah kita makan please, aku lapar banget.” Nad lalu menarik lembut tanganku, sentuhannya membuatku meleleh, kami beriringan menapaki anak tangga berlapis kayu menuju loteng. Ia membiarkanku mengoyang-goyang tangannya sepanjang perjalanan meninggalkan “Raising Rose”.
Pekerjaan Nad sebagai dokter forensik mengharuskannya melakukan pemeriksaan kimiawi, karena itu ia membangun laboratorium kecil dan sederhana, di lantai satu rumahnya, Nad memberinya nama Raising Rose. Banyak bukti-bukti tak terduga sebuah kasus ia temukan ketika menyendiri dalam lab. Umur Raising Rose lebih tua daripada umur pacaran kami, makanya aku sering cemburu kalau Nad terlalu lama menghabiskan waktu di dalam lab dari pada bersamaku.
Pembawaan Nad sangat pendiam, teman kantor sampai ada yang memanggilnya si dingin atau si muka mayat. Beda sekali denganku yang tidak bisa diam kalau ada di dekatnya. Nad seperti magnet yang menarik banyak impian masa kecilku ke dunia nyata, tiba-tiba aku menjadi kekanak-kanakan, cerewet, manja dan maunya dilayani. Dan yang lebih aneh, Nad selalu meladeniku dengan sabar, malah terlalu sabar. Bunda Theresa yang terkenal penyabar saja kalah sabar kalau dibandingkan dengannya.
Tersisa delapan tangga di depan, masih ada waktu buat menggodanya. Aku segera melancarkan aksi. “Bolehkan sekali-kali manja sama pacar sendiri, kau kan tahu setiap hari kerjaanku sama laki-laki semua, di kantor ketemu cowok, di TKP cowok lagi. Satu tim sama laki-laki adalah pilihan hidup yang keras, aku kan minoritas…” Ia membiarkanku meracau. Otaknya pasti sedang sedang memikirkan kiriman yang tadi pagi dibawa anggota timku ke ruang kerjanya di rumah sakit. Mulutku baru diam setelah mencium harum telur dadar bertabur daun seledri dan sup kentang. “Hmmm…” Hidungku bertengger di pinggir mangkok menghirup semua aroma sehat sup kentang buatannya.
“Supnya masih panas,” komentarnya datar. Kulirik Nad yang sudah duduk di seberang meja sedang tersenyum sampai ada kerut-kerut dalam di kedua ujung matanya.
Dalam mangkuk milikku ada kentang, wortel, daun bawang dan bawang bombai terpotong-potong rapi dan simetris, kuah kaldu kuning pucat bertabur daun seledri yang dipotong sama lebar dan panjang. Sempurna!
“Tapi ada yang kurang!” aku sengaja memancingnya. Dan benar, senyum manis itu pudar seperti debu di udara.
“Apa?”
“Bawang goreng!”
“Sini!” suruhnya. Kudekatkan wajahku ke arahnya. “Lebih dekat lagi!’
Wajahku semakin dekat ke arahnya sembari membasahi bibirku untuk mempersiapkan anugrah tak terduga, dan thak! Tangan kiriku langsung melindungi area jidat.
“Auww! Sakit!” Spontan aku menjauh, antisipasi terjadinya sentilan susulan.
“Jangan tiru kebiasaan orang kantormu yang gemar makan gorengan!” katanya.
Sejak kecil aku terbiasa makan satu mangkuk sup kentang bertabur bawang goreng ditemani seporsi nasi putih. Nad pernah bilang kentang dan nasi sama-sama sumber karbohidrat, masalahnya enzim insulin manusia tidak bisa memproses dua jenis karbohidrat. Jadi kalau makan nasi ya nasi aja jangan campur mie atau kentang goreng, padahal kombinasi itu menjadi menu wajib selama aku kuliah.
Dulu aku pernah bertanya padanya, “Apakah bisa aku mendapatkan cangkok pankreas satu lagi supaya ada tambahan insulin?” tanyaku demi memperjuangkan hobi makan karbohidrat. Namun hasilnya jidatku merah dan perih.
Kami makan dengan tenang, hanya diisi bunyi dentingan sendok garpu beradu. Tiba-tiba ia berdehem, “Setelah makan langsung kuantar pulang.” Aku melotot protes, seperti biasa ia tetap kalem. “Hari ini kerjaanku lumayan banyak, jadi mau tidur awal.”
Aku langsung menunduk lemas. “Gara-gara mayat baru kasus pembunuhan tadi pagi.” Nad mengangguk.
Jam sepuluh pagi kantor kami digemparkan dengan laporan dari salah satu warga di daerah Wildlast. Pelapor adalah tukang kebun yang setiap hari bekerja di salah satu rumah mewah di pinggiran Wildlast. Dalam kesaksiannya ia mengatakan seharusnya rumah dalam keadaan kosong, karena majikannya sedang kembali ke kota asalnya untuk menghindari pembatasan sosial akibat pandemi virus Corona. Tapi pagi ini sekitar pukul delapan ia menemukan mayat perempuan, aku hampir menjerit kaget setengah mati saat tiba di lokasi, karena mayat itu ditemukan tenggelam dalam bak mandi yang berisi darah. Lionel, anggota tim yang dua bulan lalu baru bergabung, sampai muntah hebat, tim medis langsung membawanya ke mobil ambulans dan memasang infus cairan elektrolit. Setelah rasa mualnya reda aku segera menyuruhnya membawa mayat itu ke rumah sakit untuk diautopsi.
“Kalian memberiku mayat tanpa identitas.” Ia menghabiskan air dalam gelas dengan sekali teguk.
“Kasus kali ini agak rumit karena nama korban tidak ada dalam kartu keluarga pemilik rumah, sidik jarinya juga gak match dengan data base penduduk daerah kita,” tambahku.
Ia mengangguk ke dua kali. “Laporan patologi baru bisa kuselesaikan besok siang, dan bosmu terkenal bukan orang sabar, aku kuatir dia menindasmu sepanjang hari.”
Kuselesaikan dulu mengunyah potongan kentang terakhir, menelannya baru bicara. Nad tersenyum, jelas sekali ia senang melihat kepatuhanku terkait etika makan yang benar. “Kalau itu bisa kuatasi, besok rencananya kami akan ke bagian cyber untuk memeriksa: satu rekaman CCTV jalan raya, dua jejak digital pemilik rumah…” Jariku menghitung pekerjan yang besok harus dikerjakan. “Tiga akun bank pemilik rumah, empat pergi ke tempat kerjamu untuk mengumpulkan data autopsi, lima menanyai para tetangga, siapa tahu ada keterangan yang mengarah pada korban.” Aku memandangi kelima jariku yang terbuka dengan putus asa.
“Banyak ya? Semoga hasil autopsi dan pemeriksaan DNA bisa membantu mengurangi pekerjaanmu menjadi dua.” Nad menangkup tiga jariku. Ia sudah selesai makan, kedua tangannya bersilang di dada.
“Yakin?” tanyaku pura-pura meragukan kemampuannya.
“Yakin!” jawab Nad mantap. “Meskipun kondisi mayat terlihat utuh tanpa luka, tapi pasti ada jaringan atau kondisi organ yang aneh jika ia mati tidak normal. Kemungkinan besar besok aku perlu melakukan pembedahan.”
Aku mengerti maksud halusnya yang tersembunyi. Pembedahan pada orang hidup atau mati adalah pekerjaan besar, berat dan lama. “Aku pulang sendiri saja,” kataku sembari berdiri mengambil mangkuk dan piringnya yang sudah kosong, menumpuknya ditangan lalu membawa ke bak cuci piring.
Di depanku ada jendela yang langsung mengarah ke langit, warna hitamnya diteruskan sempurna melewati kaca. “Tapi sepertinya mau hujan,” gumamku agak gusar.
“Makanya aku antar pulang.” Nad berdiri dari kursi, mendorong kembali kursi masuk ke bawah meja, kemudian mengambil jaket dan kunci mobil dari gantungan baju di samping pintu. “Tinggalkan saja piring-piringnya, nanti biar aku cuci!”
Dengan senang hati aku segera membututinya mengambil jaket, namun gerakanku terhenti oleh dering telepon genggam. Kami sibuk mencari barang mungil itu di saku celana dan jaket masing-masing, “Hapeku!” aku memekik. Ada tulisan Bosque di layar, kulambaikan tangan pada Nad sebagai isyarat supaya ia mau menunggu sebentar.
“Malam Pak!” sapaku formal. “Baik Pak, apa? Pak bicaranya boleh agak pelan? Tidak Pak, baik. Malam.” Sambungan telepon langsung terputus. Telingaku berdengung gara-gara suara David yang keras tapi tidak jelas karena bicaranya terlalu cepat.
“Gimana?” tanya Nad yang sangat hafal kebiasaan David, ya menurutku wajarlah karena mereka bahkan sudah berteman sejak aku belum lahir. Nadrendra dan David berasal dari kota Grasstorm, satu sekolah sejak TK sampai SMA, setelah itu Nad mengambil kuliah kedokteran dan David mendaftar di Akademi Kepolisian. Berbeda jurusan sekolah makin membuat persahabatan mereka punya arti lain. Nad sering membantu David memecahkan kasus berkat kemampuannya di bidang forensik, dan David sampai sekarang terus berusaha menjodohkan Nad dengan perempuan yang bukan anggota polisi. Bisa dibilang David membenciku karena berhasil mengajak Nad pacaran. Ya… jujur aku yang pertama kali nembak Nad, kan polisinya aku!
“Antarin aku ke kantor aja, Bram dapat bukti baru. Kata David kali ini penting!” Aku memakai jaket dengan tergesa-gesa sambil mendorong punggung Nad keluar dari rumah.
Ia malah berbalik dan menghadang langkahku. “Apa itu?” tanyanya. Matanya fokus membaca gerak bibirku sampai-sampai kedua ujung alisnya hampir bersentuhan, ia sangat ingin tahu.
“Entah…” jawabku sekenanya. “Mana mungkin bisa ngerti isi pikiran manusia hanya lewat sambungan telepon selama dua puluh detik.”
Alis Nad makin berkerut, bibirnya menegang.
“Sungguh aku gak ngerti David ngomong apa, yang paling jelas cuman perintah cepat datang ke kantor. Itu aja,” ujarku.
Otot wajahnya perlahan mengendur, Nad menarik tanganku lembut, ibu jarinya bergerak pelan mengusap kulit tanganku. “Malam ini tidur di mess kantor aja, tidak usah pulang ke rumah,” pintanya yang kuiyakan dengan sebuah anggukan.
“Cepat kabarin aku kalau ada bukti baru lain supaya gadis itu tidak menjadi Jane Doe.”
“Tak akan pernah ada Jane Doe selama ada aku,” ujarku menenangkan. Kutatap matanya yang kecil, garis hidung tinggi dan lurus, sebenarnya wajah Nad sempurna untuk menjadi model, namanya pasti lebih terkenal daripada hanya berurusan dengan mayat dan mayat. Tapi kalau dia jadi model pasti gak bakalan jadi pacarku. Dalam hati aku tertawa sangat keras. Beruntungnya seorang Kirana.
Kakiku seperti tertarik mendekat, kedua tanganku melingkar memeluk pinggangnya yang ramping dan kuat. “Boleh beri aku ciuman penyemangat supaya bisa melewati hari ini dengan baik?”
Jemari Nad yang panjang dan keras membelai garis leherku sehalus mungkin, seolah ia khawatir telapak tangannya yang kasar akibat terlalu sering memegang pisau bedah melukai kulitku, padahal aku menyukainya.
“French kiss or single kiss?” Suaranya terdengar seringan kapas.
Sambil berjinjit kudekatkan bibirku dan berbisik, “Ahli forensik harus memeriksa susunan gigi dan warna lidah objeknya kan?”
“Kau bukan mayat Kirana,” katanya menyambut bibirku.
BERSAMBUNG…
Keterangan:
Jane Doe adalah nama fiktif untuk jenazah tanpa identitas.
Stunting adalah keadaan kekurangan gizi kronis pada anak yang menyebabkan tubuhnya pendek.