Sebab saya bosan, kenapa kalimat seksis macam begini masih aja viral dan terus di ulang-ulang. Bikin saya muak dan geli. Apalagi, banyak orang juga memodifikasi itu kalimat demi menceramahi perempuan agar begini dan begitu, supaya layak untuk dinikahi.
Tentu semua itu bermula dari sini. Masyarakat Indonesia pasti sudah tau bahwa kalimat itu ikutan viral, karna lagi heboh konten intim non-konsensual artis GA dan MYD yang bocor ke ruang publik. Berita itu, mengutip Pak Ariel Heryanto, bahkan mampu mengalihkan perhatian publik kepada ancaman pandemi terburuk dalam seabad yang lagi kita alami. Hal Ini memperlihatkan mental masyarakat Indonesia itu mudah terdistraksi, apalagi untuk soal-soal kontroversial macam begini.
Komentar seksis bin misoginis sepertinya sudah menjadi budaya kita. Hal ini bisa diamati dari rentetan panjang tindakan kekerasan seksual yang berakar dari pandangan dan konstruksi sosial kita yang begitu patriarki. Jadi enggak heran, kata-kata bijak Om Roy Marten terus diulang-ulang, yang justru memperlihatkan lemahnya kesadaran kita.
Jika hal yang beginian terus diulang, ditambah lagi dengan komentar dan perisakan yang dilakukan, kita hanya terus memperpanjang siklus kekerasan seksual berbasis online (KGBO), yang di masa pandemi ini kabarnya semakin marak terjadi.
Coba cek rilisan pers SAFEnet (South East Asia Freedom of Expression Network) bersama Komnas Perempuan. Dari tahun 2018-2020 mereka mendapatkan 281 kasus KBGO. Terutama pada bulan Maret-Juni 2020, selama pandemi, KBGO malah melonjak sebanyak 169 kasus dibanding tahun 2019 di angka 91 kasus. Miris enggak tuh?
Sebagai seseorang yang pernah sesekali nimbrung dalam diskusi mengenai Gender Equality, ngintip-ngintip artikelnya Jurnal Perempuan, bahkan ikutan update cuitannya Mbak Khalis Mardasih, semata-mata agar saya bisa belajar dan terus memperbaiki kesadaran diri dan pandangan saya atas kesetaraan gender. Berkatnya, masuk akal bahwa GA itu enggak harus disalahkan, mesti dianggap sebagai korban yang harus didukung. Sebagai korban GA harus diberi hak pelindungan dan pemulihan.
Untuk urusan rumah tangga dan perselingkuhan beserta segala macam tetek-bengeknya, saya merasa itu bukan urusan saya. Sebab itu urusan privasi dia. Bagi saya, yang bermasalah itu, dan yang harus diselesaikan oleh pemegang otoritas adalah orang yang menyebar-luaskan. Begitu juga, yang bermasalah dan yang bikin saya jengkel adalah segala tanggapan dan pemberitaan media yang sama sekali enggak punya perspektif keberpihakan terhadap korban kekerasaan.
Akibat video tersebut, GA yang menjadi korban menjadi sangat tersudutkan. Apalagi kata-kata seksis dan misoginis udah meluncur keluar, mulai dari enggak punya otak, lonte dan kata-kata kasar lainnya yang terus mengobjektifikasi perempuan. Tentu saya kasian dan enggak sepakat. Sebab enggak harusnya ia dibully, apalagi dengan pandangan-padangan yang melecehkan, yang malah memperlihatkan bahwa ruang publik itu masih mengeras dan sangat berwatak patrialkal.
Kalau kita belajar gender dan hukum sedikit, setidaknya kita bisa terbebas dari cara pandang seperti itu. Misalnya gini, saya bukan ahli hukum, tapi saya belajar dengan membaca penjelasannya Mbak Nefa Claudia Meliala yang seorang pengajar hukum pidana di Universitas Katolik Parahyangan itu.
Kalau enggak salah, penjelasan beliau begini: Dalam hukum pidana itu, penafsiran terhadap kata, istilah, atau pengertian dalam undang-undang haruslah mengutamakan penafsiran yang otentik. Sebuah penafsiran yang sudah ditetapkan oleh pembuat undang-undang.
Dalam sebuah naskah undang-undang, penafsiran itu dapat ditemukan pada bagian Penjelasan. Hal ini, beliau melanjutkan, akan berfungsi sebagai tafsir resmi atas segala ketentuan-ketentuan pasal dalam suatu undang-undang. Sebab, penafsiran yang tepat atas rumusan-rumusan dalam undang-undang berhubung erat dengan upaya memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya terhadap hak asasi manusia, dan menghindari penyalahgunaan kekuasaan.
Misalnya, dalam UU Pornografi, Pasal 4 ayat 1 intinya melarang setiap orang untuk membuat atau menyediakan pornografi, dan ada Pasal 6 yang melarang setiap orang memiliki atau menyimpan produk pornografi.
Namun enggak cukup dengan itu, jika diperiksa bagian penjelasan, kita akan menemukan penjelasan mengenai larangan membuat pornografi dan larangan memiliki atau menyimpan pornografi. Maka kita akan menemukan bahwa “membuat” dalam Pasal 4 dan memiliki dan menyimpan dalam Pasal 6, itu tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri.
Nah, mengacu pada peristiwa yang terjadi, GA tentu tidak menghendaki videonya bocor dan tersebar luas keruang publik, sehingga ia harus dianggap sebagai korban yang harus dilindungi hukum. Gitu penjelasannya. Ahli hukum ini ya, bukan kaleng-kalengan.
Oke itu proses hukum. Nah, yang enggak kalah menjengkelkan itu para netijen. Para netijen yang dalam kepalanya itu perempuan harus menyesuaikan diri dengan standar-standar yang sudah ia (laki-laki) tetapkan. Bahwa harus patuh suami, enggak boleh melawan, harus memasak, harus mencuci, enggak boleh ini, enggak boleh itu, dan harus senantiasa melayani dan memantaskan diri untuk laki-laki. Pokoknya, semua harus mengabdi dibawah hukum laki-laki.
Akibatnya, momen GA ini dimanfaatkan untuk menceramahi perempuan-perempuan lain agar begini dan begitu. Nah, ini yang paling viral. Foto Roy Martin dan Gading Martin berpelukan hangat, lengkap dengan kebijaksaan kata-katanya:
Roy Marten
“Menikahlah dengan perempuan, yang ketika ada masalah larinya ke Tuhan bukan kepada laki-laki lain”
Kata-kata yang disinyalir sebagai nasehat Roy Marten itu telah dibagikan secara luas, lengkap dengan komentar yang mengglorifikasi sosok Gading Martin sebagai laki-laki yang seolah-olah ideal. Kata-kata itu jelas punya konteks untuk menyalahkan perempuan, dan dalam kasus ini GA.
Seperti yang saya bilang ada banyak modifikasinya. Menikahlah dengan perempuan yang inilah, yang itulah, yang beginilah, yang begitulah. Oke, sebagai satu nasehat enggak masalah, tapi dalam konteks GA enggak usah dibesar-besarkan. Komentar itu justru makin menyakiti GA yang sudah jelas lagi kena kasus kekerasan gender seksual berbasis siber, mulai pemberitaan media, proses hukum, ditambah komentar netijen yang pedas, kok enggak ada yang berpihak kepada korban. Pada seksis dan misoginis semua, ya?
Coba kalau korbannya laki-laki, ada enggak yang begituan? Dalam banyak kasus, yang menjadi objek yang selalu dipersalahkan itu perempuan. Kalau ada kekerasan atau tindak pelecehan seksual kepada perempuan, siapa yang disalahkan? Ya kebanyakan perempuanya. Coba deh buka data atau pemberitaan tentang kasus kekerasan seksual. Kebanyakan korbannya itu perempuan, dan sekaligus menjadi objek yang terus dipersalahkan.
Di luar kasus GA, masih kental dalam ingatan saya tentang kekerasan yang menimpa YY di Bengkulu. Ia diperkosa 14 orang laki-laki, lalu kemudian dibunuh. Kasus ini membuat hati saya ngilu dan sedih, dan juga kemudian memicu wacana tentang hukum kebiri kimia yang menuai pro dan kontra. Sebagian masyarakat yang takut dan marah mendorong agar hukum ini disahkan. Kalau saya sendiri tentu tidak setuju, sebab hukuman itu enggak menjawab persoalan kekerasan seksual sama sekali, apalagi enggak menjamin korban diberi hak pemulihan.
Terlepas dari itu semua, fakta bahwa keberadaan perempuan itu dideskriminasi, disubordinasi, distigma sedemikian rupa, dan lengkap sudah dengan segala pengalaman kekerasan yang dialaminya enggak bisa ditampik. Kasus-kasus ini sudah menjadi rentetan kasus yang enggak manusiawi dalam sejarah panjang manusia. Apa kita udah berhenti belajar dan menengok kedalam diri kita masing-masing?
Misalnya, media masa mulai mengedepankan pemberitaan yang manusiawi, yang berpihak kepada korban, demi menjunjung netralitas jurnalistik. Penegak hukum berbuat adil, peka terhadap hak perlindungan dan pemulihan terhadap korban kekerasan. Para netijen yang budiman belajar mendukung, punya perspektif gender, dan enggak mudah menghakimi, apalagi menyalahkan korban. Sebab sebagai manusia yang katanya menjunjung hak asasi, harusnya kita mulai belajar dan enggak berbuat begitu lagi.
Melihat kasus ini, bukankah pengesahan RUU penghapusan kekerasan seksual sebagai payung hukum yang melindungi, memulihkan hak korban menjadi mendesak untuk disahkan? Saya kira, ini lebih menjawab persoalan ketimbang hukum kebiri kimia yang sekarang lagi heboh-hebohnya. Tapi udah lah, ya…
Sebagai penutup, kalau saya iseng ikutan memodifikasi nasehatnya Om Roy Marten gimana? Biar lebih adil, kira-kira jadinya begini:
“Menikahlah dengan laki-laki, yang kalau ada masalah, enggak berkata kasar dengan sebutan anjing, lonte, atau babi”
“Menikahlah dengan laki-laki, yang kalau ada masalah enggak main tampar, tinju bahkan menganiaya perempuan”
“Menikahlah dengan laki-laki, yang memandang perempuan itu sebagai manusia, dan bukan sebagai objek yang bisa diatur sesuka hatinya”
“Menikahlah dengan laki-laki yang menghargai perempuan dengan setara, dan kalau ada masalah bisa dihadapi dengan sabar dan dialog rasional”
Sekian dan terima-masukan…..