Peringatan 17 Agustus yang ke 76 kali ini masih dirasakan sama seperti tahun lalu. Masa pandemik Covid 19, memaksa kita untuk memperingatinya hanya dari rumah saja. Semoga tidak menyurutkan semangat kita dalam memperingatinya. Khususnya para generasi muda yang tengah demam K-Popers.
Nah, kali ini kita bahas mengenai kiprah pejuang Korea yang ikutan membela Indonesia sejak tahun 1945. Sesaat setelah Jepang menyatakan kekalahannya kepada Sekutu-Belanda. Tapi tidak semua pasukan Jepang menyerah begitu saja.

Ialah Yang Chil Seong, seorang tentara rekrutmen Jepang ketika menganeksasi Korea Selatan. Ia bersama puluhan pemuda Korea dipaksa untuk ikut membela Jepang yang tengah mengadakan propagandanya untuk menguasai Asia Tenggara.
Semacam pasukan Peta atau Heiho yang direkrut dari para pemuda Indonesia untuk membantu Jepang. Yang Chil Seong pada akhirnya bertugas di Indonesia untuk mengamankan wilayah Jawa Barat dari gempuran tentara Sekutu.

Sebagai tentara asal Korea, ia tak lantas mematuhi perintah komandan Jepang di Garut, sebagai area dinasnya. Ia memilih tidak mau menyerah kepada Sekutu. Kekejaman Jepang di Indonesia sama seperti yang ia rasakan, ketika Jepang menjajah Korea Selatan.
Selama ia bertugas di Garut, simpatinya kepada para pejuang Republik terus terbangun. Ia memilih menyerah kepada para Pejuang dan menyerahkan senjatanya untuk para pejuang. Dengan tujuan agar dapat bergabung bersama pejuang gerilya.
Atas sikapnya komandan gerilya Pangeran Papak merekrutnya untuk bergabung menjadi gerilyawan Republik. Ya, tidak salah pilih tentu, Yang Chil Seong adalah seorang ahli merakit bom.
Ia lantas memilih untuk memeluk agama Islam dan menikahi seorang gadis asal Garut. Namanya pun berubah menjadi Komarudin. Statusnya sebagai pejuang gerilya, dan kiprahnya dalam berbagai pertempuran dengan Sekutu-Belanda, membuatnya menjadi buronan paling dicari oleh pasukan kolonial.
Sebuah aksi yang heorik dilakukannya, tatkala Belanda datang ke Garut. Ia bersama pasukan Papak melakukan sabotase terhadap jembatan penghubung di Garut. Trek bom yang disiapkannya, berhasil meledakkan jembatan Cimanuk, dan menghalau pasukan Belanda disisi daerah terbuka untuk dihancurkan pasukan Papak.

Kehebatannya dalam bertempur membuat intelijen Belanda melancarkan skenario adu dombanya. Iming-iming imbalan besar untuk siapapun yang mau menginformasikan mengenai keberadaannya menjadi siaran berita sehari-hari.
Pada bulan Agustus keberadaanya terdeteksi berada di sekitar perbatasan Garut – Tasikmalaya. Gunung Dora sebagai saksi berakhirnya perjuangannya bersama beberapa pasukan gerilya yang terdesak oleh Belanda. Ia kemudian ditangkap, dan langsung dihadapkan kepada pengadilan militer darurat Belanda.
Belum sempat ia ikut merayakan kemerdekaan yang ke empat, Belanda menjatuhkan hukuman mati terhadapnya. Ia dieksekusi di Garut bersama rekan seperjuangannya dari Jepang yang juga bergabung dengan pejuang Republik, ialah Aiko dan Hasegawa.
Yang Chil Sung meninggalkan seorang istri dan anak yang hidup dalam kesederahaan di Garut. Ia lantas dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Tenjolaya dengan penghormatan militer dari pemerintah Indonesia pada tahun 1975.
Semoga generasi muda saat ini dapat menjadikannya sebagai inspirasi dalam semangat menghadapi pandemik Covid 19. Berjuang bersama untuk sekedar menerapkan pola 5 M dalam keseharian, agar Indonesia lekas terbebas dari wabah. Salam semangat kemerdekaan Indonesia.