Olimpiade Tokyo yang diselenggarakan pada masa pandemi ini ternyata bukan hanya mengajarkan nilai sportivitas, sebab ada pelajaran juga mengenai etika.
Banyak dari anggota panitia Olimpiade yang harus mundur atau minimal memohon maaf atas tindak tanduknya di masa lalu.
Persoalan etika rupanya menjadi perhatian penting bagi masyarakat Jepang. Terlebih lagi budaya Jepang yang masih menjunjung tinggi rasa malu. Kita sering melihat dan menemui berita mengenai pejabat yang mengundurkan diri saat merasa gagal dalam menangani urusan publik.

Contoh paling baru didapat dari momen Olimpiade Tokyo 2020 yang harus tertunda ke 2021. Di tengah pandemi yang terus menyerang, panitia yang memegang kendali acara pun tidak lepas dari persoalan etika. Namun hal positif dari masalah ini adalah contoh sikap ksatria yang mereka tunjukkan.
Di tengah badai kritik, mereka berani untuk meminta maaf sampai menarik diri dari keterlibatan mereka dalam pesta olahraga yang saat ini diselenggarakan dalam suasana “sepi” akibat pandemi.
Tokoh yang Terkait dengan Permasalahan Etika
Beberapa tokoh yang terkait dengan persoalan etika saat tergabung dalam kepanitiaan Olimpiade Tokyo ini terdiri dari berbagai jabatan dan posisi.
Mulai dari Ketua Komite sampai dengan komposer musik pembukaan Olimpiade.
Seiko Hashimoto selaku Ketua Komite penyelenggaraan Olimpiade merasa bertanggung jawab karena komite belum berhasil untuk memeriksa seluruh orang yang memiliki keterlibatan saat pelaksanaan Olimpiade 2020 ini.
Atas perkara ini Seiko Hashimoto mengajukan permintaan maafnya kepada masyarakat luas.
Kemudian terjadi pemecatan kepada Direktur Upacara Pembukaan yaitu Kentaro Kobayashi. Pemecatan ini dipicu oleh jejak masa lalunya pada tahun 1992 ketika ia tampil di sebuah acara komedi.
Sayangnya ketika itu tercetus gurauan dari Kentaro mengenai peristiwa holocaust yang menimpa bangsa Yahudi.
Akibatnya muncul gelombang protes dari beberapa pihak, salah satunya adalah lembaga pembela hak-hak Yahudi bernama Simon Wiesenthal Center. Gurauan yang diucapkan Kentaro dianggap tidak pantas sebab peristiwa pembantaian yang melibatkan korban sampai dengan 6 juta orang tidak etis untuk dijadikan gurauan.
Ada pula nama seorang komposer musik bernama Keigo Oyamada. Ia di dalam kepanitiaan bertindak selaku komposer musik untuk pembukaan Olimpiade 2020.
Namun ternyata ada jejak masa lalu yang kini menjadi batu sandungan.
Saat Keigo Oyamada masih bersekolah, ia pernah diwawancarai oleh media massa medio 1995 dimana ia melecehkan anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus.
Akibatnya media sosial Jepang berisi kemarahan akan rekam jejak Keigo. Ia dianggap tidak layak menjadi bagian di dalam pesta olahraga dunia ini karena terbukti terlibat menjadi seorang pelaku pelecehan terlebih lagi kepada sesama teman sekolah dengan kebutuhan khusus.
Ada pula Yoshiro Mori yang menjabat sebagai Ketua Komite Olimpiade yang mengundurkan diri karena perkataannya.
Ia pernah menyampaikan bahwa rapat yang berisi peserta wanita akan berdurasi lama sebab wanita terlalu banyak ngomong. Atas komentarnya ini ia mengundurkan diri sebab banyak menimbulkan amarah masyarakat luas.
Berakar dari Budaya Malu
Masalah etika yang terus dijunjung tinggi oleh masyarakat Jepang bisa dikatakan bersumber dari budaya malu yang mereka anut sejak dulu.
Menurut Ruth Benedict, seorang antropolog dari Amerika Serikat, mengatakan bahwa rasa malu yang dirasakan oleh masyarakat Jepang memiliki dasar atas sanksi sosial di dalam masyarakat.
Apabila ada tindakan atau tingkah laku yang dianggap merugikan orang banyak, maka rasa malu akan menanamkan rasa penyesalan yang begitu hebat di dalam dada orang Jepang.
Terlebih lagi apabila mereka memiliki tanggung jawab publik yang besar.
Dalam hal ini contoh nyata yang baru terjadi adalah pengunduran diri sejumlah kepanitiaan Olimpiade 2020.
Masyarakat Jepang sendiri memiliki dasar rasa malu yang terbagi dua, yaitu kouchi atau malu secara umum dan shichi yaitu malu secara khusus.
Penjabaran dari dua konsep rasa malu ini adalah sebagai berikut:
- Kouchi: Kouchi adalah rasa malu yang berasal dari penilaian masyarakat umum. Apabila masyarakat memegang norma atau standar tertentu, namun ada seseorang yang tidak mampu memenuhi atau melanggar norma tersebut maka ia akan merasa malu. Rasa malu ini timbul dari kritikan, sindiran, teguran, atau kritikan yang disampaikan oleh masyarakat umum atau oleh khalayak luas.
- Shichi: Sementara Shichi adalah rasa malu yang berasal dari dalam diri. Perasaan malu ini bisa berasal dari membandingkan diri dengan orang lain. Contohnya ada seseorang yang lebih baik dalam melakukan sesuatu dibanding diri sendiri, maka pada saat itulah ia merasa malu.
Dari akar budaya malu yang dianut Jepang ini bisa diambil kesimpulan bahwa masyarakat Jepang merasa malu apabila tidak mampu memenuhi harapan, dan standar atau norma yang dianut oleh masyarakat Jepang.
Juga mereka merasa malu karena introspeksi. Mereka membandingkan dirinya dengan orang lain, kemudian berkaca apakah mereka sudah melakukan sesuatu dengan cukup baik atau tidak.
Dari situlah maka budaya malu membentuk karakteristik etika yang dianut oleh masyarakat Jepang.
Maka tidak heran apabila ada jejak masa lalu yang tidak sesuai dengan norma yang berlaku akan dijadikan sebagai dasar pengunduran diri pejabat publik Jepang.
Pelajaran dari Etika Jepang
Banyak pelajaran yang sesungguhnya dapat diambil dari budaya malu dan etika masyarakat Jepang ini.
Pelajaran yang paling penting adalah harus senantiasa berhati-hati dengan apa yang diucapkan, dilakukan, atau ditulis. Sebab seluruh dokumentasi dari perbuatan di masa lalu dapat menjadi batu sandungan di masa depan.
Bijak-bijaklah dalam menulis sesuatu, terutama pada era digital seperti saat ini. Sebab terkadang ibu jari lebih kejam dari ibu kota.
Selain itu – mungkin ini adalah harapan banyak orang – apabila seseorang menduduki posisi atau jabatan tertentu maka rekam jejak menjadi sangat penting.
Apabila terbukti melakukan atau mengucapkan sesuatu yang tidak sejalan dengan prinsip etika, maka minimal seseorang yang menduduki posisi tertentu meminta maaf.
Dengan meminta maaf dan bahkan mengundurkan diri menunjukkan sikap ksatria dan berani. Masyarakat Jepang sudah menunjukkannya selama ini dan semoga kultur ini dapat dijadikan pelajaran oleh banyak orang.
Kemudian pelajaran berikutnya adalah jangan menganggap remeh gurauan atau ucapan yang dilontarkan.
Sebab banyak orang lupa ketika bergurau di ranah publik bahwa gurauannya akan dicatat dengan baik dan akan diperiksa kembali ketika ia memiliki jabatan yang terkait dengan publik pula.
Berbeda jika Anda memang komedian, bahwa pekerjaan Anda adalah bergurau dan mengkritik sesuatu dengan cara komedi. Sebab memang sudah menjadi tugas komedian untuk mengubah tragedi menjadi komedi.
Namun jika seseorang memiliki kedudukan yang akan berdampak pada masyarakat luas, maka komedi yang ia lakukan mungkin dapat berbalik menjadi tragedi.
Kedudukan disini bukan dalam artian pejabat publik saja. Sebab kedudukan yang berdampak luas dapat dimiliki mulai dari pemilik bisnis, CEO, Ketua RT, bahkan pemimpin klub olahraga.
Siapapun yang ucapan dan tindakannya akan berdampak kepada orang banyak sebaiknya meniru prinsip etika masyarakat Jepang.
Dengan begitu nilai-nilai yang dianut oleh sebuah organisasi, perusahaan sampai dengan negara tidak dicederai oleh perilaku pemangku kepentingan yang tidak sejalan dengan nilai-nilai itu.
Olimpiade Tokyo 2020 bukan saja mengajarkan kita mengenai sportivitas, namun juga etika.