Belakangan ini, sudah banyak sekali korban-korban atau penyintas pelecehan seksual, umumnya perempuan, yang berani untuk menceritakan apa yang dialaminya. Meskipun tetap saja terkadang pihak korban yang dirugikan dan disalahkan. Belum lagi, dari banyaknya orang yang berani untuk speak up dan menceritakan kejadiannya, tetapi masih lebih banyak lagi para korban atau penyintas yang memilih untuk diam dan tidak bersuara karena mereka masih merasa takut akan akibat dan hal yang terjadi setelahnya karena pelaku biasanya lebih berkuasa dan berpeluang untuk masyarakat malah lebih membela si pelaku dan berbalik menyudutkan korban. Mirisnya, hal tersebut sangat memungkinkan untuk terjadi dan sering terjadi di masyarakat.
Komnas Perempuan menyebutkan, pelecehan seksual adalah tindakan yang bernuansa seksual, baik yang disampaikan melalui kontak fisik maupun kontak nonfisik. Pelecehan seksual bersifat tidak adanya concern atau persetujuan dari kedua belah pihak, terutama korban. Jadi, salah satu pihak akan merasa dirugikan oleh tindakan-tindakan bernuansa seksual dari salah satu pihak yang lain. Umumnya, korban adalah perempuan dan pelaku adalah laki-laki, meskipun tidak selalu seperti itu. Mengapa hal tersebut bisa terjadi?
Korban pelecehan umumnya perempuan. Hal ini disebabkan dari pemikiran dan kondisi masyarakat yang masih mendudukkan perempuan sebagai makhluk yang lemah dan lebih rendah dibandingkan laki-laki, serta perempuan masih dipandang sebagai second class citizens. Pelaku berpikir, jika mereka melakukan kekerasan dan pelecehan seksual, korban tidak akan berani untuk melakukan sesuatu hal untuk melawannya.
Pelecehan seksual bisa terjadi di mana saja, membuat perempuan selalu merasa tidak aman dan tidak bebas dalam memberikan ekspresi. Seperti berpakaian, pergi sendirian, atau pergi ke tempat-tempat lainnya secara sendirian. Bahkan, tempat yang seharusnya memberikan rasa kenyamanan dan keamanan pun tidak menjamin perempuan tidak mendapatkan kekerasan seksual. Seperti di rumah, banyak sekali pemberitaan mengenai kekerasan seksual yang dilakukan bahkan oleh keluarga terdekat.
Kemudian, pada instansi pendidikan di kampus yang baru-baru ini sedang ramai diperbincangkan, kekerasan seksual dilakukan oleh para pengajar yang seharusnya mendidik dan memberikan rasa aman kepada para mahasiswanya, tetapi malah sebaliknya. Bahkan, para penyintas merasa trauma untuk melanjutkan kuliah kembali karena takut bertemu dengan pelaku tersebut selama berkuliah.
Lagi-lagi, pelaku tidak dirugikan apa pun, malah yang terjadi korban yang dirugikan dan jika melaporkan akan sangat beresiko untuk korban sendiri karena kekuasaan dan citraan yang dimiliki pelaku di masyarakat dan lingkungan. Dan masih banyak lagi tempat-tempat yang seharusnya memberikan rasa aman, tetapi malah sebaliknya. Sehingga, malah korban yang selalu disuruh untuk berhati-hati, bukannya para pelaku yang seharusnya melakukan kesadaran diri.
Masalah yang sering terjadi adalah ketika korban disalahkan karena menggunakan pakaian yang dianggap mengundang nafsu laki-laki, disalahkan karena berpergian sendiri, bahkan disalahkan ketika korban diam saja ketika sedang mengalami pelecehan seksual. Masyarakat mengira bahwa ketika korban diam itu berarti korban mau dan menerima perlakuan tersebut. Hal ini membuat korban akan semakin trauma karena rasa takut dari apa yang sudah dialami, serta ditambah lagi masyarakat yang menyudutkannya.
Dihimpun dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), pada tahun 2021 terkini sudah terdapat 3.122 kasus kekerasan seksual pada perempuan dan anak. Kemudian tercatat bahwa kekerasan seksual pada anak dan perempuan mencapai angka tertinggi pada tahun 2020 yakni sekitar 7.191 kasus. Jumlah itu pun yang hanya ketahuan dan melaporkan, tidak semua korban memiliki keberanian diri untuk membuka suara. Dari segala kecemasan dan ketakutan yang dirasakan oleh perempuan dan korban selama ini, apa yang bisa dilakukan?
Hal yang sangat ditunggu-tunggu baru-baru ini adalah Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) pada bidang pendidikan di perguruan tinggi. Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 ini berisi bahwa fokusnya adalah pada kekerasan seksual dan memprioritaskan korban. Sasarannya adalah mahasiswa, pendidik, tenaga kependidikan, warga kampus, serta masyarakat umum yang berinteraksi dengan mahasiswa, pendidik, dan tenaga kependidikan.
Seharusnya lebih banyak lagi peraturan dan penguatan terhadap perlindungan kekerasan seksual oleh negara yang diharapkan agar kasus-kasus seperti ini lebih sedikit terjadi sehingga orang-orang lebih merasa aman, terutama dengan disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Negara tidak boleh menunda-nunda mengadakan kebijakan mengenai kekerasan seksual dan segera memberlakukan R-KUHP menjadi KUHP Nasional agar para pelaku perkosaan dapat dipidana sesuai dengan ancaman pidana yang sudah diatur dalam R-KUHP.
Negara harus mengutuk tindakan yang berkaitan dengan kekerasan dan pelecehan seksual terhadap korban dan perempuan dengan hukuman yang pantas dan seberat-beratnya agar setidaknya perempuan dapat mengurangi rasa trauma dan ketakutan seumur hidupnya.