Meluasnya penyebaran wabah corona virus disease (covid-19) beberapa waktu lalu sempat membuat pemerintah daerah mengeluarkan kebijakan pemberhentian aktivitas pembelajaran di sekolah. Hal ini semula dapat diterima oleh Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan (Kemendikbud) sebelum kemudian Nadiem Anwar Makariem (Mendikbud) memunculkan skenario metode pembelajaran baru untuk dijalankan para siswa sebagai alternatif di masa pandemi yakni pembelajaran daring.
Seiring dengan diluncurkannya rencana pembelajaran daring, Kemendikbud mengembangkan aplikasi pembelajaran berbasis portal dan android dengan nama “Rumah Belajar” yang dapat diakses di web resmi milik Kemendikbud. Dirancang dengan berbagai fitur untuk mendukung sarana dan pra sarana pembelajaran, portal ini dapat digunakan oleh siswa dan guru di Indonesia dari PAUD sampai SMA/SMK.
Lalu apakah ada kontribusi dari pihak lain dalam hal ini? Mengutip pernyataan pak nadiem dalam suatu artikel di web kemendikbud, beliau mengatakan bahwa telah dilakukan kerja sama penyelenggaraan pembelajaran daring dengan berbagai pihak, diantaranya Google Indonesia, Kelas Pintar, Microsoft, Quipper, Ruangguru, Sekolahmu, Dan Zenius. Semua mitra tersebut bersedia memberikan fasilitas yang nantinya dapat diakses secara umum dan gratis.
Sejalan dengan pernyataan mendikbud, google berkomitmen untuk membantu meningkatkan pembelajaran di Indonesia dengan menyediakan G Suite For Education yaitu alat pembelajaran kolaboratif antara guru dengan siswa secara gratis. Fasilitas tersebut disertai beberapa fitur pendukung diantaranya hangouts meet atau alat konferensi video, serta google classroom untuk mengikuti kelas secara daring.
“melalui G Suite For Education, para siswa dapat terus belajar meski akses internet lambat atau tidak tersedia di manapun mereka berada” disampaikan Danny Aryanto, public policy & government relations manager google Indonesia.
Apakah metode daring cukup efektif mengatasi masalah kegiatan pembelajaran di masa pandemi? Pertanyaan tersebut kerap muncul di benak para orang tua siswa. Meskipun begitu mereka tetap menyambut dengan baik adanya metode pembelajaran ini karena diharapkan para siswa tetap bisa belajar meski pandemi. Namun, Seiring berjalannya waktu rupanya animo masyarakat terhadap metode pembelajaran digital ini mulai menurun. Para siswa yang semula menjalani metode digital ini dengan penuh semangat karena merupakan hal baru bagi mereka justru merasa bosan karena terlalu lama berada di rumah.
Mereka juga kesulitan membagi waktu untuk belajar dan bermain. Para orang tua pun tak jarang mengeluhkan mengenai setumpuk tugas yang diberikan para guru yang membuat mereka kewalahan, karena selama pembelajaran daring seringkali tugas tugas yang diberikan guru justru dikerjakan oleh orang tua sedangkan si anak memilih bermain.
Bahkan, saat ini banyak masyarakat yang menentang kebijakan pembelajaran daring karena merasa dipersulit dengan adanya metode ini. Mengapa demikian? Karena untuk mengikuti metode daring ini tiap siswa dan guru diharuskan memiliki minimal satu device digital.
Hal ini menjadi keluhan bagi kalangan menengah bawah karena jangankan untuk membeli satu device bahkan untuk keseharian pun mereka kesulitan. Ditambah lagi dengan kebutuhan kuota internet untuk menunjang pembelajaran yang membuat mereka kembali menggelontorkan sejumlah uang setiap bulannya.
Pembelajaran daring juga menjadi problema bagi guru guru dan orang tua yang mengalami kesulitan dalam menggunakan device digital. Hal ini jelas mengurangi efektivitas pembelajaran sehingga para siswa kehilangan konsentrasi dan kurang memahami materi yang disampaikan.
Beberapa pengajar juga merasa materi ajarnya tidak tersampaikan dengan baik selama pembelajaran daring, misalnya pembelajaran kesenian yang membutuhkan kegiatan praktik langsung pada beberapa sub materi yang dipelajari. Tentunya hal tersebut tidak dapat dilakukan dalam pembelajaran daring.
Polemik pembelajaran daring juga menjadi kegelisahan para mahasiswa. Banyak dari mereka yang harus menunda penelitian karena tidak dapat melakukan pengamatan langsung di lapangan. Penundaan juga terjadi pada proses konsultasi tugas akhir yang mengakibatkan target kelulusan pun terancam tertunda.
Bagaimana respon pemerintah terhadap sejumlah keluhan dan polemic pembalajaran daring tersebut? Adakah solusi atau alternatif baru untuk mengatasinya?
Sampai saat ini kemendikbud masih tidak punya pilihan lain selain tetap menerapkan pembelajaran daring karena kasus penyebaran virus yang kian marak dan tak kunjung mereda. Tetapi seolah menjawab kegelisahan masyarakat akan kebutuhan kuota internet yang tak murah, pemerintah menggelontorkan dana sebesar 8,9 triliun untuk subsidi kuota internet dan tunjangan profesi pendidik.
Sayangnya pemberian subsidi kuota internet masih belum merata bahkan cenderung salah sasaran. Terbukti dengan masih banyaknya siswa kalangan bawah yang belum menerima subsidi sedangkan siswa yang cenderung lebih mampu untuk membeli kuota justru menjadi penerima subsidi pemerintah.
Hal penting yang dapat kita ambil dari peristiwa ini adalah bahwa setiap hal di dunia memiliki resistansi efektifitas yang berbeda, alangkah baiknya kita sebagai subjek memahami hal tersebut. Beberapa hal yang jika diterapkan dalam jangka Panjang justru menimbulkan masalah dan keresahan berarti hal tersebut memiliki tingkat resistansi efektifitas yang rendah begitupun sebaliknya. Dalam kasus ini, pembelajaran daring memiliki resistansi efektifitas yang cenderung rendah karena efektifitasnya menurun seiring berjalannya waktu.