Penerapan Asas Retroaktivitas dalam Hukum Pajak

Faizal Chandra

Retroaktivitas sendiri adalah suatu asas yang menginginkan penerapan suatu peraturan perundang-undangan yang lebih dahulu sebelum peraturan itu diundangkan. Artinya, asas retroaktivitas ini memiliki makna pemberlakuan hukum secara lampau atau surut. Apakah asas tersebut dapat dipergunakan dalam penerapan hukum pajak guna keadilan hukum? 

Mengenai asas retroaktiv sendiri apakah berkaitan dengan bagaimana implikasinya dalam bidang hukum pajak? Terlebih lagi, asas itu apakah ada hubungannya dengan hak-hak wajib pajak?

Sebelum ke pembahasan mengenai asas retroaktivitas dalam hukum pajak, terlebih dahulu kita bahas asas ini korelasinya dengan hukum pidana. Hukum pidana mengenal istilah asas non-retroaktiv, yaitu asas yang tidak memperbolehkan secara surut suatu undang-undang. Dalam ketentuan hukum pidana, asas ini terdapat dalam pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana :

“Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang, yang ada terdahulu daripada perbuatan itu

Asas non-retroaktif ini juga terdapat dalam Pasal 28 huruf i Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945:

“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun” .

Sedangkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pasal 1 ayat (2) menjelaskan bahwa suatu hukum yang lebih baru dapat berlaku surut, sepanjang hukum yang baru itu lebih menguntungkan bagi tersangka daripada hukum yang lama.  

Dalam kejahatan terhadap hak Asasi manusia, menurut pasal 43 ayat (1) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM (UU Pengadilan HAM) dijelaskan :

Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc

Untuk itu gambaran secara umum dari undang-undang adalah suatu yang mengharuskan asas hukum bersifat non-retroaktif, yaitu implikasi suatu undang-undang tidak diperbolehkan secara surut dalam kata lain suatu perbuatan yang dilakukan sebelum undang-undang ini terbit, tidak boleh diberlakukan. Meski begitu, kaitan dengan hal tertentu boleh memberlakukan secara surut, misalnya aturan-aturan Pasal 1 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan pasal 43 ayat 1 Undang-Undang Pengadilan HAM.

Sedangkan dalam hukum pajak sering kita kenal pembebanan terhadap wajib pajak, sebagaiman aturan yang surut yang diberlakukan secara semena-mena, sehingga menjadi beban masyarakat dan merugikan masyarakat. Dalam hal aturan pajak yang berlaku surut, pada dasarnya tidak boleh dimuat seperti misalnya dalam hal penarikan pajak dan retribusi.

Penarikan pajak dan retribusi adalah suatu contoh yang disebutkan dalam peraturan perundang-undangan dalam hukum pajak. Asas retroaktif memungkinkan adanya hal lain yang menjadi beban konkret bagi masyarakat, khususnya bagi wajib pajak. Untuk itu perlu pemahaman dan pembuatan aturan perundang-undangan, agar tidak terjadi tindakan sewenang-wenang oleh penguasa kebijakan yang dapat merugikan mereka.