Dulu ketika saya masih kecil, saya berpikir bahwa sehat dan sakit itu hanya berkutat soal fisik atau jasmani. Pemahaman saya mirip dengan model medis (medical model) yang memaknai sehat sesimpel sebagai ketiadaan penyakit.
Lebih spesifiknya lagi, absennya gejala fisik yang berkaitan dengan penyakit. Ketika itu saya tidak terlalu mempedulikan faktor lain yang sebetulnya menentukan sehat dan sakit seseorang, yakni faktor psikologis atau mental.
Sedangkan definisi sehat menurut World Health Organization (WHO), sehat adalah kondisi fisik, mental, dan kesejahteraan sosial yang sempurna dari seseorang. Itu artinya, sakit dapat dimaknai dengan tidak sempurnanya kondisi fisik, mental, dan kesejahteraan sosial seseorang.
Yang perlu digarisbawahi adalah: sehat dan sakit bukan hanya membicarakan soal kondisi fisik. Kondisi mental dan kesejahteraan sosial tentu turut berpengaruh pada kesehatan seseorang. Orang dengan kondisi fisik yang baik-baik saja, jika kondisi mentalnya sedang dalam keadaan buruk dan/atau kesejahteraan sosialnya tidak terpenuhi dengan baik, maka ia tetap rentan untuk jatuh sakit juga.
Selain dua definisi di atas, konsep sehat dan sakit juga memiliki beragam pemahaman berbeda sesuai dengan nilai, kepercayaan, dan budaya yang dianut seseorang. Sehat dan sakit dapat dianggap sebagai kejadian alamiah yang terjadi begitu saja, keseimbangan (yin dan yang), dikaitkan dengan hal-hal supranatural, bahkan dianggap sebagai hukuman atas dosa di masa lampau (sebagaimana lazimnya pemahaman tentang sakit pada agama atau kepercayaan tertentu).
Pentingnya Komunikasi Kesehatan
Komunikasi kesehatan adalah pendekatan multidisiplin dan multiaspek yang berfokus pada pertukaran informasi terkait kesehatan kepada jangkauan khalayak yang berbeda guna meningkatkan kualitas hidup dan mutu kesehatan masyarakat. Tujuan dari komunikasi kesehatan adalah untuk mempengaruhi, menarik (untuk berpartisipasi), dan mendukung individual maupun kelompok dalam ranah kesehatan.
Komunikasi kesehatan mendorong agar individual maupun kelompok dalam ranah kesehatan dapat memperjuangkan, memperkenalkan, mengadopsi, atau mempertahankan perilaku, praktik, atau kebijakan yang pada akhirnya akan meningkatkan hasil di bidang kesehatan.
Sama seperti bentuk komunikasi lain, komunikasi kesehatan didasarkan pada pertukaran informasi dua arah berdasarkan sistem simbol dan perilaku yang umum. Komunikasi kesehatan juga harus dapat menciptakan perasaan yang saling pengertian dan simpati antara komunikator (tim profesional kesehatan) dan komunikan (target khalayak).
Kemudian, diperlukan pula saluran komunikasi serta pesan sebagai “pintu penghubung” yang memungkinankan komunikasi kesehatan dapat mencapai khalayak yang ditargetkan.
Komunikasi Terapeutik
Komunikasi terapeutik dapat dimaknai sebagai dialog interpersonal (antarpribadi) antara tenaga medis dan pasien yang bertujuan untuk memperbaiki permasalahan emosional atau mental yang dialami pasien serta menjalin hubungan antara tenaga medis dan pasien demi meningkatkan kualitas kesehatan pasien.
Komunikasi terapeutik memiliki fungsi terapi yang dilakukan oleh tenaga medis untuk membentuk relasi dengan pasien yang bertujuan guna mengatasi masalah psikologis pasien untuk menunjang kesembuhannya. Setidaknya ada empat relasi yang dapat terbentuk dari komunikasi terapeutik, yakni relasi antara tenaga medis dan tenaga medis lainnya, tenaga medis dan pasien, tenaga medis dan keluarga atau orang terdekat pasien, serta pasien dan keluarga atau orang terdekatnya.
Komunikasi terapeutik penting dilakukan dalam konteks komunikasi kesehatan. Hal ini karena pasien juga membutuhkan dukungan bukan hanya dari orang terdekat (significant others) namun juga dari pihak profesional yang mengerti permasalahannya secara mendalam dan mampu memberi penyelesaian atas masalah yang dihadapi pasien. Sebab, solusi dari suatu penyakit sering kali tidak melulu hanya dengan pendekatan yang berkutat soal fisik, pendekatan penyelesaian kondisi mental pasien juga penting untuk menunjang kesembuhannya.