
Bau obat yang menyengat menusuk indra penciumanku. Hal tersebut membuatku terbangun dari kegelapan panjang yang menghantui selama berhari-hari. Aku tidak tahu di jam berapa aku terbangun sekarang. Aku bahkan tidak tahu sekarang itu adalah pagi, siang, sore, atau malam. Tapi, mungkin sepertinya aku terbangun di malam hari karena suara detik jam begitu jelas terdengar di indra pendengaranku.
Ingin rasanya kubuka mata hanya untuk membuktikan bahwa sekarang ini adalah malam. Tapi, nyaliku hanya sebesar biji kedelai atau mungkin bisa lebih kecil dari itu. Aku terlalu takut untuk membuka mata di tempat yang paling kubenci. Lucu memang. Aku benci rumah sakit, tapi sekarang malah tertidur di dalamnya. Entah karena apa, aku tidak bisa mengingatnya. Entah juga dari kapan dan entah sampai kapan. Yang jelas, aku sangat-sangat ingin pulang.
Tiba-tiba aku merasakan kehadiran seseorang. Aku tidak tahu apakah di kamar ini hanya ada aku saja atau ada pasien lain. Jadi, aku tidak tahu apakah seseorang itu ingin menjengukku atau bukan. Tentu saja aku juga tidak begitu ingin tahu karena itu tandanya aku harus membuka kedua mata ini.
“Bangun…”
Kudengar dia bersuara. Sepertinya ada pasien lain lagi yang tidur dalam satu kamar yang sama denganku dan dia sedang berusaha untuk membangunkan pasien tersebut.
“Bangun, Adriah. Bangun!”
Deg!
Jantungku berdegup kencang. Kukira bukan aku yang diminta untuk bangun. Jadi, aku tetap enggan membuka mata. Maka dari itu, ketika mendengar namaku disebut, aku terkesiap dan langsung membuka mata. Kulihat sosok yang terasa asing, namun di saat yang sama aku merasa seolah-olah sudah mengenalnya sejak lama. Dia berdiri di samping kanan tempatku berbaring. Kemudian, aku bangun dan langsung menyandarkan punggungku ke sandaran ranjang.
Setelah agak lama, baru kusadari kalau tidak ada pasien di kamar ini selain aku. Namun, ternyata aku tidaklah sendiri di sini. Kulihat seorang perempuan sedang tertidur di pinggir kasur sambil menggenggam tangan kiriku dengan erat. Sepertinya, perempuan tersebut sudah lebih dulu berada di kamar ini sebelum sosok yang asing tak asing itu tiba.
Melihat tangannya yang menggenggam tanganku dengan begitu eratnya membuatku bersedih hati. Ditambah, jika dilihat-lihat lagi, terdapat bekas air mata yang telah mengering di sudut mata dan pipinya. Benar-benar pemandangan yang menyedihkan sehingga membuat dadaku terasa begitu sakit. Makin-makin besar rasa sedih ini dan semakin besar pula rasa penyesalan yang bersemayan di dalam hati.
“Yuk, pulang.” ujarnya sambil mengulurkan tangan kanannya.
Akhirnya aku bisa pulang juga, batinku.
Kuraih dan kugenggam tangannya seraya berdiri. Tanpa kusadari, pandanganku mengabur karena terhalang bendungan air mata yang kutahan agar tidak mengalir membasahi pipi. Meski aku akhirnya bisa pulang, rasanya berat sekali untuk melangkahkan kaki.
“Tunggu,” kataku, “Aku ingin pamit terlebih dahulu.”
“Yakin?”
Ditanya begitu, aku menjadi ragu sesaat. Namun, kupikir aku memang harus berpamitan. Kutarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan sebelum akhirnya aku mulai melangkahkan kaki ke arah perempuan yang sedang tertidur itu. “Maaf, aku pulang duluan, ya, sayang,” bisikku ke telinganya yang tidak akan mungkin bisa terdengar, “Maaf, kita enggak bisa pulang bareng.”
Kutaruh telapak tanganku di atas kepalanya. Inginnya kuelus puncak kepala perempuan yang kusayang tersebut, namun rasanya seperti mengambang. Aku seperti menyentuh angin. “Sekali lagi aku minta maaf… maaf karena aku enggak bisa menepati janji untuk menikah denganmu.”
“Adriah, cepat! Waktu kita tidak banyak,” ujar sosok tersebut mengingatkan.
Dengan berat hati, aku melangkahkan kaki menuju dunia baru dengan membawa janji yang tidak akan pernah bisa kutepati.