Budaya yang terbentuk saat ini tidak dapat dilepaskan oleh oleh peran penerjemah di masa lalu. Hal tersebut didasari oleh peran penerjemah untuk memperkenalkan sebuah cara berfikir dan kebudayaan dari penulis kepada masyarakat. Teks sumber yang belum diterjemahkan umumnya dianggap mewakili peradaban lebih maju daripada kebudayaan bahasa sasaran. Pola tersebut terjadi di kehidupan nusantara pada masa lalu.
Kebudayaan yang dianggap tinggi tersebut juga terjadi di daratan eropa. Kebudayaan Reinaissance yang tumbuh dan berkembang pada abad-16 di Eropa adalah buah dari penerjemahan karya filsuf Yunani Kuno dan Romawi oleh gereja yang nantinya dibaca kalangan intelegensia di Italia. Proses penerjemahan tersebut lantas merubah pandangan masyarakat akan kekuasaan gereja.
Kekuasaan gereja yang cenderung mengerdilkan pemikiran dari masyarakat akhirnya pandangan tersebut berbalik. Masyarakat pada abad reinaissance lantas mengutamakan kebebasan berfikir sebagai hakikat utama dalam hidup. Hal tersebut merujuk jurnal yang ditulis oleh Benny H.Hoed berjudul Penerjemah, Penerjemahan, Terjemahan, dan Dinamika Budaya: Menatap Peran Penerjemahan Pada Masa Lalu di Nusantara.
Sebelum melangkah lebih jauh terkait dampak penerjemahan terhadap budaya, ada baiknya untuk kita membahas keterkaitan antara bahasa dan budaya. Penerjemahan umumnya diartikan sebagai pengalihan bentuk serta makna dari bahasa sumber kepada bahasa sasaran. Pengalihan tersebut tidak hanya berkutat kepada bahasanya saja namun juga harus diiringi oleh pemahaman budaya . Melansir dari tulisan Sriyono berjudul Beberapa Isu dalam Penerjemahan dijelaskan aktivitas menerjemahkan haruslah memperhatikan faktor fungsional.
Dalam tahapan fungsional proses penerjemahan mengutamakan kepuasan dari pembaca. Selain itu juga mempertimbangkan aspek transformasi situasi. Jadi sangatlah penting untuk mempertimbangkan kualitas dari penerjemah itu sendiri. Penerjemah yang baik tidak hanya mampu untuk mendwibahasakan bahasa saja. Namun juga makna yang terkandung di dalam setiap kata harus diperhatikan, apakah sesuai dengan pengertian yang berlaku pada budaya atau situasi saat ini.
Kehati-hatian dalam menerjemahkan sebuah teks dapat dilihat lewat sikap Ali Audah. Beliau merupakan seorang penerjemah kondang asal Indonesia yang disegani pada masanya. Karyanya yang terkenal adalah terjemahan dari Abdullah Yusuf Ali berjudul The Holy Quran. Merujuk kepada artikel dari tirto.id, Ali Audah menjelaskan bahwa terjemahan yang baik adalah yang tidak melupakan gaya asli pengarang. Pesan Ali Audah untuk para penerjemah agar membaca banyak referensi dalam menerjemahkan sebuah teks. Selain itu perlu diperhatikan bagaimana latar belakang budaya yang terbentuk pada teks tersebut.
Setelah banyak membahas mengenai keterkaitan budaya dan bahasa. Selanjutnya kita akan membedah bagaimana bahasa dapat mempengaruhi sebuah kebudayaan. Sebuah novel berjudul Max Havelaar karya Multatuli yang pertama kali terbit dengan bahasa Belanda. Novel tersebut sedikit banyak memberikan pengaruh kepada terbentuknya gerakan nasional guna menyudahi budaya kolonialisme di Indonesia.
Selain itu juga terdapat tetralogi Pulau Buru yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer. Karya tersebut telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman, Swiss, Cina, Jepang. Lewat penerjemahan karyanya masyarakat lintas negara penasaran terkait dengan kondisi sosial dan politik di Indonesia. Novel tersebut menggambarkan kehidupan era kolonial di Hindia Belanda. Selain itu karya Pramoedya dianggap oleh penulis sebagai novel yang menceritakan cikal bakal lahirnya kebangkitan nasional.
Sebelumnya kita telah membahas terkait dengan dampak karya terjemahan di era kolonial. Namun baiknya kita juga mengkorelasikan bagaimana peran penerjemah di era globalisasi. Penerjemah memiliki fungsi sebagai jembatan antara budaya yang dapat memberikan gambaran atas perbedaan satu sama lain. Selain dapat menumbuhkan rasa toleransi terhadap budaya yang berbeda. Penerjemah juga secara tidak langsung berkontribusi kepada perkembangan teknologi dan pengetahuan melalui karya terjemahannya. Lewat karyanya tersebut masyarakat sebagai pembaca dapat memperoleh sudut pandang baru untuk mengembangkan minat dan bakatnya.
Meskipun kegiatan penerjemahan memiliki tujuan yang mulia. Namun perlu disadari tuntutan penerbit terhadap penerjemah terkait dengan tenggang waktu kerja berakibat pada mutu dari karya tersebut. Mungkin tulisan ini dapat menjadi masukan bagi penerbit dan pemerintah untuk lebih selektif lagi terhadap karya yang diterjemahkan. Jikalau pola ini terus lestari maka transfer ilmu yang ada dapat tersendat dan berakhir gagal paham.
Daftar Pustaka:
- Hoed, Benny H. “Penerjemah, Penerjemahan, Terjemahan, dan Dinamika Budaya: Menatap Peran Penerjemahan Pada Masa Lalu di Nusantara.” Masyarakat Indonesia 37.1 (2017): 57-80.
- Sriyono. Beberapa Isu dalam Penerjemahan. Prosodi Vol 7, No 2: Juli 2013.
- Teguh Irfan. 2018. Ali Audah: Bintang Terang di Langit Para Penerjemah. Dikutip 26 Mei 2021