Di dalam buku-buku pelajaran sejarah, kita selalu diajarkan bahwa salah satu penyebab munculnya gerakan nasionalisme di Asia dan Afrika ialah kemenangan kekaisaran Jepang atas Rusia pada perang Rusia-Jepang di awal abad kedua puluh.
Peperangan besar tersebut bermula ketika Rusia menolak tawaran Jepang atas kendali wilayah Manchuria di China.

Dan sebagai gantinya Jepang akan tetap mempertahankan pengaruhnya atas Korea.
Kegagalan negosiasi tersebut membuat Jepang mengobarkan perang kepada Rusia yang ditandai dengan serangan mendadak terhadap angkatan laut Rusia yang berada di Port Arthur pada 8 Februari 1904.
Peperangan besar pun tak terelakkan. Pertempuran sengit terjadi di antara kedua negara tersebut.
Kedua pasukan berusaha untuk saling membunuh satu sama lain, baik di darat maupun di atas laut.
Gejolak peperangan, kekacauan, serta huru-hara tercium pekat di seluruh wilayah Asia Timur kala itu.
Dari sekian banyak pertempuran yang terjadi selama peperangan. Terdapat satu pertempuran besar yang menjadi akhir dari perang brutal tersebut.
Namun pertempuran final itu tidak terjadi di daratan, melainkan berada di atas permukaan laut.
Tepatnya di wilayah selat Tsushima yang diapit semenanjung Korea di sebelah barat dan pulau Kyushu di sisi timur.
Tanggal 27 Mei 1905, setahun lebih setelah perang meletus. Armada Baltik Kekaisaran Rusia yang dikirim dari Eropa sedang berlayar diam-diam menuju Vladivostok melewati selat Tshushima di bawah komando Laksamana Rozhestvensky.
Armada tersebut terdiri dari 8 battleship, 3 kapal perang pesisir, 6 kapal penjelajah, 9 kapal perusak dan 12 kapal perang lainnya.
Mereka sebelumnya telah menempuh perjalanan panjang memutari Afrika dengan misi membantu rekan-rekan mereka menghadapi Angkatan Laut Jepang.
Sebenarnya, Armada Baltik kala itu bisa saja melewati Selat La Pérouse atau Selat Tsugaru untuk tiba di Vladivostok.
Namun Laksamana Rozhestvensky memutuskan melewati Selat Tsusima karena jaraknya yang lebih dekat.
Sayangnya, Laksamana Togo Heihochiro, pemimpin Angkatan Laut Kekaisaran Jepang yang sedari awal telah mengetahui kedatangan Armada kapal Rusia tersebut nyatanya sudah jauh-jauh hari mempersiapkan penyergapan.
Dini hari itu, sebuah kapal jelajah milik Jepang yang sedang menyamar mendeteksi kapal medis Armada Baltik Rusia.
Laksamana Togo yang mendapatkan telegram dari kapal penjelajah tadi segera memberangkatkan pasukannya yang bermarkas di Busan, Korea.
Armada Gabungan Jepang yang terdiri dari 89 kapal perang seketika langsung tancap gas menuju arah timur laut.
Lantas melalui instruksi Laksamana Togo, iring-iringan Armada yang dipimpin kapal perang Mikasa kemudian melakukan manuver U-turn, berputar balik ke arah selatan.
Hendak menghadang iring-iringan Armada Baltik Rusia menggunakan taktik crossing the T.
Kedua Armada kapal perang tersebut kemudian berhadap-hadapan dengan jarak 6.200 meter. Bendera keduanya berkibar-kibar ditiup angin.

Tak berselang lama, suara dentuman segera terdengar bersahut-sahutan. Merobek ketenangan selat Tsushima pagi itu.
Moncong-moncong meriam dari kedua belah pihak mulai memuntahkan peluru tanpa henti. Asap hitam dari kapal-kapal yang tengah terbakar hebat terlihat mengepul di mana-mana.
Mikasa yang merupakan kapal bendera Laksamana Togo segera di sasar oleh kapal-kapal Rusia, beberapa tembakan mengenai lambungnya.
Namun tidak sampai membuat kapal tersebut rusak berat. Armada Gabungan Jepang kemudian balas menembak.
Mereka memusatkan serangannya ke kapal Knyaz’ Suvorov yang merupakan kapal komando Armada Baltik.
Serangan bertubi-tubi dari kapal-kapal Jepang membuat Knyaz’ Suvorov rusak parah.
Armada Baltik bahkan kehilangan komando sementara karena Laksamana Rozhestvensky terluka parah dan harus dievakuasi ke kapal lain.
Dalam beberapa jam saja, Armada Gabungan Jepang berhasil memporak-porandakan kekuatan utama Armada Baltik.
Kapal tempur Oslyabya, Emperor Alexander III, Borodino, bahkan kapal komando Knyaz’ Suvorov berhasil ditenggelamkan oleh kapal-kapal Jepang.
Malam harinya, Laksamana Togo kembali melancarkan serangan menggunakan 37 kapal torpedo dan 21 kapal perusak.
Berusaha memburu kapal-kapal Armada Baltik yang hendak melarikan diri ke utara dalam kelompok-kelompok kecil.
Di tengah gelapnya malam. Kapal-kapal Jepang kembali berhasil menghancurkan beberapa kapal Rusia.
Kapal tempur Navarin yang sudah karatan bersama Sisoy Veliki tenggelam setelah dibombardir habis-habisan.
Sedangkan dua kapal penjelajah tua Admiral Nakhimov dan Vladimir Monomakh mengalami rusak berat hingga kemudian harus ditenggelamkan pagi harinya.
Pagi hari tanggal 28 mei 1905, Armada Gabungan Jepang kembali bersiap menggempur kapal-kapal Rusia.
Kali ini mereka mengepung empat kapal perang Armada Baltik yang tersisa. Membuat Laksamana Muda Nebogatov yang menggantikan Laksamana Rozhestvensky dipaksa untuk menyerah.
Nebogatov kemudian mengirim sinyal menyerah pada pukul 10:34 dan dibalas oleh Jepang pukul 10:53.
Pertempuran besar hari itu berakhir dengan ditangkapnya kedua Laksamana Rozhestvensky dan Nebogatov.
Total ada 21 kapal Rusia yang tenggelam dan tujuh kapal yang ditawan dalam pertempuran tersebut.
Hanya kapal penjelajah Almaz dan dua kapal perusak Rusia yang berhasil mencapai Vladivostok.
Setidaknya 4.380 awak kapal Rusia tewas dan 5.917 lainnya ditawan. Sedangkan pihak Jepang hanya kehilangan tiga kapal torpedo beserta 118 orang awak kapalnya dan 583 orang luka-luka.
Ketidakberdayaan Armada Baltik menghadapi serangan Armada Gabungan Jepang disebabkan kurangnya persiapan karena perjalanan panjang dan spesifikasi kapal perang Rusia yang kalah unggul dari kapal-kapal Jepang yang lebih modern.
Kekalahan telak Armada Baltik saat itu pun menjadi salah satu peristiwa paling memalukan bagi militer Rusia.
Tsar Nicholas II akhirnya mengadakan Perjanjian Portsmouth dengan Jepang yang ditandatangani pada 5 September 1905 untuk mengakhiri perang antar kedua negara.
Namun dengan konsekuensi Rusia harus meninggalkan Manchuria dan mengakui kontrol Jepang atas semenanjung Korea.
Semenjak pertempuran tersebut, Kekaisaran Rusia mulai kehilangan dominasinya di wilayah timur jauh.
Wibawanya di mata Internasional anjlok dan membuat kebencian rakyat terhadap Tsar dari dinasti Romanov semakin bertambah.
Sebaliknya Jepang justru tumbuh menjadi kekuatan raksasa di Pasifik yang kelak akan bersaing dengan Amerika Serikat dalam Perang Dunia II.
Pada akhirnya, sejarah mencatat pertempuran Tshuhima sebagai pertempuran laut terbesar di era kapal tempur Pra-Dreadnouht.
Pertempuran ini sekaligus juga mengilhami bangkitnya gerakan nasionalisme di banyak negara Asia dan Afrika yang telah muak dijajah dan memutuskan mengobarkan perlawanan menentang dominasi bangsa Eropa.