Pajak merupakan iuran yang wajib dibayar rakyat kepada negara secara langsung maupun tidak langsung dan akan digunakan untuk kepentingan negara, baik masyarakat maupun pemerintah.
Salah satu jenis pajak yang wajib dibayar rakyat ialah PPN (Pajak Pertambahan Nilai). PPN merupakan pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen.
Sebelumnya, Indonesia menetapkan tarif PPN sebesar 10 persen, akan tetapi pemerintah pada 2022 mengeluarkan kebijakan kenaikan PPN (Istiqomah dan Rahmah, 2022).
Melalui pengesahan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), PPN mulai 1 April 2022 resmi mengalami kenaikan dari yang awalnya 10 persen menjadi 11 persen.
Pemerintah mengeluarkan kebijakan kenaikan tarif pajak PPN dari 10 persen menjadi 11 persen dengan tujuan agar negara dapat meningkatkan pendapatan di tengah pandemi Covid-19 serta agar dapat memulihkan kondisi rasio pajak yang merosot akibat pandemi Covid-19.
Sementara dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), PPN 11% bertujuan untuk mewujudkan keadilan yang berbasis gotong royong.
Kementrian Keuangan menilai bahwa kebijakan kenaikan tarif PPN ini tidak akan mempersulit masyarakat Indonesia sehingga kebijakan tersebut dapat diterima dengan senang hati oleh masyarakat.
Terlebih lagi kenaikan tarif PPN menjadi 11% ini masih berada di bawah rata-rata PPN dunia yang sebesar 15,4% dan di bawah tarif PPN negara-negara lain seperti China, Arab Saudi, Filipina dan India.
Akan tetapi pada kenyataannya kenaikan tarif PPN 11% ini menimbulkan banyak pro dan kontra di masyarakat.
Masyarakat yang kontra terhadap kebijakan kenaikan PPN 11% menilai bahwa kebijakan tersebut lebih banyak memunculkan dampak negatif bagi masyarakat, salah satunya dapat memicu lonjakan harga bahan-bahan pokok.
Banyak masyarakat yang tidak tahu dan mengganggap bahwa dengan berlakunya UU HPP semua bahan kebutuhan pokok akan dikenakan PPN 11%, sehingga akan berdampak pula pada penurunan daya beli konsumen.
Padahal, kenyataannya tidak demikian. Isu simpang siur bahwa dengan berlakunya UU HPP semua bahan kebutuhan pokok akan dikenakan PPN 11% adalah informasi yang tidak benar.
Sementara masyarakat yang tahu dan pro terhadap kebijakan kenaikan tarif PPN, mengetahui bahwa kebijakan tersebut tidak sama sekali berdampak pada lonjakan harga bahan pokok sehingga masyarakat tidak perlu khawatir.
Sebab, tidak semua bahan pokok dikenakan PPN 11%. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam UU HPP bahwa tidak semua bahan pokok dibebani PPN 11%.
Bahan kebutuhan pokok yang tetap diberikan fasilitas bebas PPN antara lain beras, jagung, gabah, sagu, garam, kedelai, daging, garam, susu, telur, sayur-sayuran, buah-buahan dan gula untuk konsumsi (Kementian Keuangan, 2022).
Hanya bahan pokok tertentu saja yang mengalami penarikan PPN dan itupun bahan pokok yang dijual di toko ritel atau supermarket modern saja yang dikenakan PPN 11%.
Sementara konsumen yang berbelanja bahan pokok di warung kelontong tidak akan dipungut PPN 11% karena PPN sudah dipungut saat pemilik toko kelontong berbelanja di distributor.
Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam UU HPP, bahwa kenaikan tarif PPN hanya berlaku pada barang dan jasa tertentu, seperti pulsa dan kuota internet, barang-barang yang dijual di supermarket modern atau toko-toko ritel (bahan pokok maupun kebutuhan sandang), TV kabel, transaksi saham, transaksi kripto, platform streaming seperti Netflix, pembelian rumah, kendaraan bermotor dan token listrik.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kenaikan PPN 11% tidak berimbas terhadap barang yang dibutuhkan masyarakat banyak, seperti halnya bahan kebutuhan pokok.
Sehingga, masyarakat tidak perlu khawatir dengan penyesuaian tarif PPN menjadi 11%, khususnya terhadap harga bahan kebutuhan pokok.
Hal ini perlu disosialisasikan kepada masyarakat agar masyarakat memahami isi kebijakan yang tertuang dalam UU HPP dan tidak terjadi lagi isu simpang siur mengenai tarif PPN 11% pada semua bahan kebutuhan pokok yang memunculkan rasa khawatir masyarakat serta stigma negatif masyarakat kepada pemerintah sehingga tidak berpihak kepada pemerintah dan enggan mendukung pemerintah dalam pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid-19.