Apakah kalian mengenal Leila S. Chudori? Jika belum, mari berkenalan dengan karyanya yang berjudul Malam Terakhir. Karya ini cukup menggelitik otak dan membuat saya bertanya mengenai beberapa hal. Untuk itu, pada kesempatan kali ini saya akan mereview kumpulan cerpen yang berjudul Malam Terakhir.
Judul Buku | Malam Terakhir |
Penulis | Leila S. Chudori |
Penerbit | Kepustakaan Populer Gramedia |
Tahun Terbit | 2012 |
Blurb
Ada ruang yang dimiliki oleh Leila di tengah tanggung jawabnya sebagai wartawan, ibu, dan anak.
Ini adalah pembuka yang memancing saya untuk mendalami buku ini. Menurut saya, buku ini merupakan hasil perjuangan dari banyak pihak yang membuat penulis mampu untuk membuka ruang yang pernah dibangunnya sejak dahulu dan menceritakan tokoh-tokoh yang menuntut kebebasan.
Kita tidak hanya masuk ke dalam ruang yang diciptakan penulis, tapi juga masuk ke dalam ruang yang dimiliki para tokoh.
Dalam cerpen yang berjudul Adila, saya berkenalan beberapa tokoh yang menjadi sahabat bagi Adila. Tokoh yang saya maksud di sini bukanlah orang-orang yang diciptakan Leila, melainkan tokoh terkenal yang bisa kita cari dalam mesin pencarian. Percakapan imajinasi yang tercipta antara Adila dengan Ursula Brangwen, A. S. Neill, atau Stephen Dedalus bukan sekadar percakapan yang menghibur, tapi mengisi ruang yang kosong untuk peran orang tua dalam kehidupan Adila.
Kita, perempuan yang selalu dipertanyakan.
Saya ikut merasa gerah dengan pemikiran, juga desakan yang dialami oleh tokoh perempuan dalam cerpen Air Suci Sita. Teman-teman sudah tahu kan mengenai kisah Sita? Sita yang diculik oleh Rahwana, dan setelah Sita kembali bersama Rama, kesuciannya dipertanyakan. Apakah label kesucian hanya ada untuk perempuan? Bagaimana dengan kesucian laki-laki? Saya rasa, cerpen ini akan membuat Anda tersenyum puas dan memikirkan konsep kesetaraan.
Jadilah diri sendiri.
Sering mendengar hal ini? Saya cukup sering mendengarnya. Tapi… bagaimana konsepnya? Sementara diri yang ditunjukkan adalah hasil dikte masyarakat. Dimana batasan untuk menjadi diri sendiri? Rasanya tidak terlihat, karena garis pembatasnya tidak tegas sama sekali. Pada cerpen Sehelai Pakaian Hitam, kita akan berkenalan dengan Hamdani dan Salikha. Dua tokoh yang rasanya bertentangan tapi juga saling menghargai.
Review
Seperti beberapa karya Leila yang saya baca sebelumnya, karya yang satu ini terasa menggelitik sekaligus menghunjam perasaan saya. Beberapa pemikiran yang sudah melekat pada masyarakat, yang saya serap begitu saja, kembali dicungkil dan dibangun ulang dengan kuat melalui narasi yang galak. Seperti apa yang dituturkan penulis, bahwa cerpen merupakan karya yang keras, galak, dan menekan dibandingkan karya fiksi lain.
Saya suka dengan beberapa cerpen yang mengambil sudut pandang seorang anak. Mungkin karena penulis sudah memiliki anak atau masa kecil penulis yang mungkin mengasyikkan, saya menjadi iri dengan cerita-cerita tersebut. Kebebasan, imajinasi, pemahaman yang luar biasa pada seorang anak.
Mungkin ini adalah ciri khas dari Leila untuk selalu menyelipkan kisah pewayangan dan derita dalam perjuangan demokrasi. Pada kumpulan cerpen ini, masing-masing cerpen terasa lebih menguras emosi dan mudah saya pahami.
Secara keseluruhan saya memberikan bintang 5/5. Finally, kalian harus coba baca karya yang satu ini! Selamat menikmati.