Hai, rasanya sudah agak lama aku tidak menulis disini. Artikel ini adalah keempat kalinya aku menyuarakan pendapat di digstraksi.
Seperti yang sebelumnya, aku memilih untuk berdiskusi dengan temanku. Bedanya, kali ini bukan hanya satu. Aku bertanya pada dua temanku tentang pendidikan di tanah air.
Jika membaca dari judul, mungkin agak sedikit kasar terdengarnya. Namun, percaya atau tidak, bagi beberapa pelajar, pilihan kedua adalah jawaban bagi mereka.
Bagaimana bisa? Baiklah, kita mulai dari awal.
Sekolah berarti amat lekat dengan sesuatu bernama pendidikan. Yang dimana disana akan ada proses belajar dan mengajar, ketika yang diajar akan mengetahui sesuatu dan mempelajarinya yang konon berguna untuk masa depan.
Namun sayangnya, selama ini proses sekolah terkadang hanya lekat pada kegiatan akademik, atau mungkin ekstrakulikuler.
Jika kamu mencari itu, bukan tulisan ini yang harus kamu baca. Pendidikan yang akan diperbincangkan adalah pendidikan yang sesungguhnya.
Seperti ini, pendidikan adalah masa dimana suatu karakter seseorang dikembangkan.
Jika terfokus hanya dengan belasan mata pelajaran, insan pintar boleh saja terbentuk. Tetapi, manusia cerdas belum tentu menjadi hasil dari pendidikan semacam ini.
Mengapa?
Ini berkaitan dengan penggunaan kata ‘kill’ dalam judul di atas. Dimana banyak orang tua di Indonesia yang menginginkan anaknya sukses, namun membunuh semua pengalaman yang lebih penting dari pendidikan.
Membunuh disini bukan dalam arti menggunakan kekerasan yang kemudian menyebabkan kematian.
Melainkan pembunuhan pemikiran dan mental seorang anak.
Sebagai contoh, seorang anak dituntut untuk belajar terus-menerus demi mendapat nilai maksimal.
Padahal, sejatinya, anak yang masih dalam usia sekolah, sangat berhak mendapat waktu bermain. Entah bermain seorang diri atau lebih baik jika bersama teman-temannya.
Sisi ‘membunuh’ akan segera didapatkan disini. Orang tua dari Si Anak tersebut tampak jelas betul mengharapkan kesuksesan dari nilai-nilai anaknya.
Tapi, tanpa mereka sadari, nilai sosial Sang Anak akan mendapat nol besar.
Bahkan, terkadang, dengan kehidupan manusia yang dicap sebagai makhluk sosial, adanya keterkaitan atau interaksi yang sudah dibangun sejak dini akan lebih berguna di masa depan.
Bayangkan saja jika ada seorang karyawan perusahaan yang memiliki pemikiran cerdas.
Tetapi, karena tak biasa bersosialisasi dari dulu, ia boleh jadi akan menemui kesulitan untuk mengemukakan pemikiran hebatnya.
Dan, tentunya, tidak ada hasil yang ia dapatkan jika seperti ini jalan ceritanya.
Kemudian, pendapat selanjutnya.
Seperti yang sudah dikatakan pada tulisan pertama, dimana pendidikan di negara kita masih memberikan sistem murid yang dipaksa bisa di semua bidang.
Selain itu, bidang ketrampilan dan seni sering kali dipandang sebelah mata. Pun, tak jarang dengan istilah “school kills artists”.
Dilansir dari knightkrier.com, menurut American for the Arts, siswa dengan partisipasi seni tinggi dan status sosial ekonomi rendah memiliki tingkat putus sekolah 4%—lima kali lebih rendah daripada rekan-rekan mereka yang berstatus sosial ekonomi rendah.
Selain itu, ada pendapat lain yang mengatakan soal hal ini. Konsultan pendidik Sir Ken Robinson dari Inggris pernah mengatakan: “Sistem pendidikan publik tumbuh sebagai respons terhadap industrialisme.
Dan dalam upaya melayani pabrik, sekolah terlihat seperti pabrik.”
Jika membaca kutipan diatas, tentu sudah terbayang bagaimana kerap kali seni dipandang remeh.
Konsep sekolah seperti sekarang akan baik bagi mereka yang memiliki sistem ketat dan terbatas.
Namun, akan menjadi masalah besar untuk pelajar yang memiliki kreativitas yang luas.
Jika dilihat dari kenyataan sekitar, terlihat jelas bahwa ada pembatasan bagi sebagian anak yang memiliki kelebihan di bidang seni.
Khususnya, kepada mereka yang nampaknya tak minat dengan bidang akademik. Beberapa orang tua boleh jadi mengarahkan anaknya untuk menjadi ini dan itu.
Hal tersebut tak boleh lantas disalahkan. Sebab, memang tugas orang tua adalah mengarahkan anaknya.
Akan salah besar jika ia membiarkan anaknya terbengkalai tanpa mengenal arti ‘tujuan’.
Namun, perlu digaris bawahi bahwa tugas orang tua adalah mengarahkan, bukan mencampuri yang kemudian mencampur adukkan kebaikan anaknya dengan ambisi pribadi. Ini jelas sudah melenceng.
Kembali kepada pembatasan.
Yang dimaksud pembatasan adalah perubahan sudut pandang bahwa: seni itu adalah sampingan, atau parahnya, seni itu tidak menghasilkan.
Menurut artikel yang telah dibaca, murid boleh jadi terpatok hanya akan menjadi guru seni atau seniman.
Padahal, ada ratusan pekerjaan yang berkaitan dengan seni diluar sana. Pemikiran seni adalah nomor dua bagi anaknya yang memiliki ketertarikan khusus dibidang tersebut, boleh jadi salah.
Lagipula, di era sekarang ini, kadang kemampuan dan ketrampilan diri yang sesuai dengan bidangnya akan lebih mudah dalam menemukan pekerjaan.
Sudah ketinggalan zaman jika hanya terfokus dengan nilai matematika atau fisika seratus.
Namun, perlu diingat juga, peranan baik sekolah yang telah dihasilkan. Para pelukis juga boleh jadi mengenal warna dan alat-alat lukisnya karena bersekolah. Juga penulis yang mungkin bersungguh-sungguh dalam pelajaran Bahasa Indonesia.
Mungkin, tulisan ini lebih terikat dengan pilihan kedua dalam judul. Tapi, konsep membangun juga sungguhan nyata adanya.
Sekolah yang baik akan mampu membangun seorang anak manusia yang berpendidikan. Juga pada sikap sopan yang mungkin telah diterapkan di beberapa sistem pendidikan tanah air.