Surabaya sebagai kota pelabuhan, keberadaannya sangat penting dan letaknya sangat strategis bagi pemerintahan Belanda. Pada perkembangan pelabuhan Kalimas, pelabuhan tersebut menghubungkan daerah pesisir dan pedalaman yang berada di sekitar kota Surabaya. Hal ini juga di sekitar pelabuhan Kalimas, dijadikan sebagai pemukiman para pedagang yang terus berkembang ke dalam kota dengan makin banyaknya penduduk yang bermukin di sepanjang sungai Kalimas. Perdagangan menjadi bertambah penting dengan meningkatnya eksploitas perkebunan dan pembukaan pabrik-pabrik gula di daerah pedalaman, dengan semakin meningkatnya perdagangan di Surabaya.

Prospek kota Surabaya sebagai kota pelabuhan, khususnya pelabuhan Kalimas semakin cerah. Dengan dibukanya undang-undang Agraria yang memberi kesempatan pada pihak swasta untuk menyewa tanah-tanah yang berada di wilayah pedalaman yang digunakan untuk perkebunan, maka di Surabaya banyak dibangun kantor dagang serta bank untuk mendukung kegiatan perkebunan. Dibukanya terusan Suez juga ikut berpengaruh bagi kelangsungan perdagangan di Surabaya. Sejak saat itu banyak kapal dagang dari Eropa yang berlabuh di muara Kalimas untuk melakukan transaksi perdagangan.
Pada awal tahun 1900, Surabaya berkembang menjadi pusat pelabuhan pengekspor perkebunan di Jawa Timur. Gudang-gudang yang didirikan sepanjang sungai Kalimas berderet sampai ke daerah sekitar Jembatan Merah yang membuktikan pentingnya unsur sungai ini untuk pertumbuhan sektor perkebunan di zaman kolonial Belanda. Pemerintah Hindia Belanda membangun jembatan untuk mempermudah proses penurunan barang ketika kapal-kapal kecil yang melintasi Kalimas dan berhenti di tempat yang dituju. Barang-barang yang diturunkan bisa langsung dimuat ke gudang-gudang yang berada di pinggiran sungai. Beberapa rumah bertingkat dibangun menghadap ke arah Kalimas dan pelataran yang luas di tepi sungai.

Sementara itu, juga dibangun menara pengawas yang menghadap ke arah sungai, sehingga segala aktivitas bongkar muat barang dapat dipantau dengan jelas. Peran sentral dari sungai ini mengharuskan pemerintahan Hindia Belanda untuk membangun beberapa sarana dan prasarana untuk menunjang serta mempermudah kegiatan di pelabuhan Kalimas. Dengan semakin ramainya pelabuhan Kalimas sebagai bandar dagang yang menampung kapal-kapal, fungsi fasilitas di Pelabuhan Kalimas mulai menurun. Kondisi seperti itu mulai ada pemikiran untuk perluasan dan pembangunan pelabuhan yang memadai.
Semakin masifnya kegiatan perdangan di Surabaya, Pemerintah Hindia Belanda menganggap perlu adanya pembangunan pelabuhan baru agar bisa menampung kapal-kapal besar yang hendak masuk ke Surabaya. Dalam proses pembangunan pelabuhan yang baru, pelabuhan Kalimas masih beroperasi sampai pelabuhan baru tersebut selesai dikerjakan. Pada tahun 1911, dilakukannya pemeliharaan sungai Kalimas dengan melakukan pengerukan sungai Kalimas dengan menggunakan kapal keruk yang mencapai mulut sungai. Kedalaman sungai makin bertambah yang nantinya akan mempermudah kapal-kapal besar untuk berlabuh lebih dekat di mulut sungai Kalimas.

Pada tahun 1925, perampungan mengenai pelabuhan baru yang dapat menampung kapal-kapal besar sudah melalui tahap akhir. Hingga pada tahun 1930, kegiatan ekonomi pelabuhan di Surabaya terasa sudah saatnya yang semulanya adalah pelabuhan Kalimas sebagai pusat perdagangan di Surabaya, dipindahkan ke pelabuhan yang dapat menampung kapal-kapal atau muatan yang lebih besar dan memadai, yaitu pelabuhan Tanjung Perak. Seiring berjalannya waktu, fungsi pelabuhan Kalimas yang pernah menjadi pusat perdagangan di Surabaya mulai ditinggalkan.