Pulau Mandangin, desaku, tanah kelahiranku, tumpah darah dan peluhku. Menyimpan pesona alam yang memukau. Delapan penjuru yang mengelilinginya adalah hamparn laut. Pasir-pasir bak permadani sutra melingkar luas di sekelilingnya. Rerimbun hijau daun-daun menjulang memeluk pohon-pohon berada di hamparan tubuhnya. Di tanah ini dua jazad pecinta agung terkubur, Bangsacara dan Ragapadmi. Tak salah jika ada wacana, desaku ini layak untuk dijadikan salah satu destinasi wisata pilihan yang ada di Kabupaten Sampang. Namun beberapa tahun terakhir ini, keadaannya semakin memprihatinkan. Pantai yang menyusut lagi jorok. Laut yang kotor. Sampah berkeliaran di mana-mana. Dan yang menjadi masalah serius adalah kambing-kambing milik warga ‘menyampah liar’ di jalan-jalan. Desaku, pulauku, seperti bayi kecil yang kekurangan gizi.
Desaku, Pulau Mandangin adalah satu-satunya pulau yang berada di Kabupaten Sampang. Dilihat dari segi geografis, pulauku ini terletak di Kecamatan Sampang Kabupaten Sampang Propinsi Jawa Timur dengan luas ± 94,04 hektare. Batas-batas wilayah Desa Pulau Mandangin sebelah barat, timur, utara dan selatan adalah dikelilingi oleh Selat Madura. Jarak tempuh dari Kec. Sampang ± 20 Km jalan darat, sungai dan laut. Ditempuh dalam waktu ± 1,5 jam dengan menggunakan perahu motor dari pelabuhan Tanglok. Jumlah dusun di Pulau Mandangin hanya ada tiga, yaitu Dusun Barat, Dusun Kramat (tengah), dan Dusun Candin. Masyakat Pulau Mandangin seperti komunitas kecil yang terasing. Orang-orang kota menyebutnya, “oréng polo” (orang pulau).
Banyak pertanyaan yang terlintas dalam benakku. Sebab, sejak kecil aku seperti dijejali cerita-cerita mistis, seperti pulau ini terpisah dari daratan lainnya karena mendapatkan tendangan dari Semar raksasa. Termasuk mengenai legenda burung gagak yang berkembang dari mulut ke mulut sewaktu aku kecil dulu kala bermain bersama teman-teman. Pertanyaan-pertanyaan seputar muasal ke-Mandangin-an berseliweran dalam tempurung kepalaku. Hingga pada akhirnya, selepas lulus diploma dua aku mencarinya dari sumber satu ke satu sumber lainnya meskipun belum membuahkan hasil yang sempurna.
Rumit memang mengumpulkan data untuk menguak sejarah muasal masyarakat Pulau Mandangin. Selain karena tidak adanya sejarahwan yang menulisnya dalam tinta emasnya. Namun karena juga kurangnya rasa peduli dari masyarakat Pulau Mandangin sendiri. Berbagai hipotesa mencoba untuk menggalinya, meskipun terkadang datang dari rekayasa ilmiyah yang letak kebenarannya jauh dari kata sempurna. Data-data yang berserakan diikhtiarkan untuk aku kodifikasikan dengan beragam sampel yang digali dari beberapa tokoh masyarakat Pulau Mandangin sendiri yang memang mereka pernah memikirkan dan menggalinya meskipun mereka catat hanya di dalam laci pikirannya saja, bukan dalam bentuk lembaran-lembaran.
Namun, beberapa literatur yang aku temukan banyak berseliweran khususnya di internet bahwa masyarakat Pulau Mandangin berasal dari orang-orang buangan kerajaan yang menderita penyakit kulit yang akut (lepra). Tulisan-tulisan tersebut tidak sepenuhnya salah, juga tidak menutup kemungkinan akan kebenaran faktanya. Sebab, menengok dari anggapan orang-orang dulu bahwa penyakit kulit tersebut adalah penyakit kutukan yang wajib dijauhi bahkan si penderita perlu diasingkan. Pengasingan orang-orang yang terserang lepra ke pulau-pulau kecil seperti mendaptkan tempat untuk dianggap ‘benar’ adanya, bisa saja juga dibuang di tanahku ini.
Terkait dengan itu, sejak duduk di bangku MTS dulu, aku seperti digantungi dengan pertanyaan-pertanyaan tentang pulau ini. Dari mana muasal masyarakat Pulau Mandangin? Siapa sebenarnya nenek moyang masyarakat Pulau Mandangin? Serta, dari mana asal kata nama Pulau Mandangin? Jawaban seputar pertanyaan-pertanyaan tersebut hingga detik ini belum aku temukan jawabannya secara pasti. Beberapa kali saat aku cangkruan bareng teman-teman bahkan sesepuh pulau ini, pertanyaan-pertanyaan tersebut sering aku layangkan, namun jawaban mereka beragam.
Pertama, mereka mengatakan bahwa nenek Moyang masyarakat Pulau Mandangin berasal dari orang-orang tirakat (bertapa).
Konon, dulu Pulau Mandangin adalah tempat yang sangat strategis untuk bertapa, maka orang-orang yang senang bertapa (ahli tirakat) dari berbagai daerah Pulau Madura dan Jawa banyak yang berdatangan ke pulau ini. Mereka di Pulau Mandangin mengasingkan diri dari hiruk-pikuk kehidupan hedonisme. Sebagian dari mereka ada yang membawa sanak keluarganya, istri-istrinya, dan anak-anaknya. Mereka sebagian berkelompok dan memetap di Pulau Mandangin sehingga membentuk masyarakat Pulau Mandangin hingga saat ini.
Versi kedua menyebutkan, Masyarakat Pulau Mandangin berasal dari orang-orang narapidana yang dibuang (diasingkan) oleh kerajaan di tanah Madura dan Jawa. Raja-raja dahulu kala, ketika mendapati masyarakatnya melakukan tindakan yang menyalahi aturan kerajaan manakala kesalahannya teramat fatal, raja-raja tersebut tidak segan-segan membuangnya di pulau-pulau kecil yang tidak berpenghuni, salah satunya di Pulau Mandangin. Pengasingan seperti itu di beberapa negara masih dijalankan hingga saat ini. Maka, dari sanalah masyarakat Pulau Mandangin dengan sendirinya terbentuk.
Yang ketiga, Masyararakat Pulau Mandangin berasal dari para saudagar dan pelayar. Mereka saudagar-saudagar itu menyandarkan perahunya di Pulau Mandangin untuk beberapa waktu. Saudagar-saudagar itu melintas dari tanah Jawa, Sumatera, dan sebagainya ke Sumenep dan ke daerah timur lainnya. Terkadang hanya untuk sekedar istirahat, memperbaiki perahunya, dan mencari beberapa bekal perjalanan; mengumpulkan buah-buahan dan minuman. Ada juga di antara mereka menetap untuk beberapaa bulan di Pulau Mandangin. Dari bergulirnya waktu, mereka dengan otomatis membentuk masyarakat Pulau Mandangin. Versi ini seperti ada benarnya, sebab di zaman aku masih kecil banyak beberapa kapal dari jauh bersandar di pulau ini dan berbaur dengan masyarakat setempat.
Keempat, Masyarakat Pulau Mandangin berasal dari pengembara atau pemburu hewan liar. Anggapan ini ada benarnya, melihat dari Pulau Mandangin yang tidak berpenghuni dan hutan liar, maka tidak mustahil jika Pulau Mandangin menjadi tempat pengembaraan dan pemburuan hewan liar oleh orang-orang Madura sendiri maupun orang-orang yang datang dari tanah Jawa.
Kelima, Masyarakat Pulau Mandangin berasal dari pelaut dari tanah Jawa. Hal ini dapat dibuktikan dari sebagian bahasa masyarakat Pulau Mandangin terserap dari bahasa Jawa. Misalnya, kata kiwo (kiri). Kata kiwo sering digunakan masyarakat Pulau Mandangin, ketika membelokkan (ke kiri) perahunya saat mereka sedang melaut. Termasuk pula kata bohong (singkong), masyarakat Pulau Mandangin lebih menyebutnya bohong (sebagai serapan dari bahasa Jawa) untuk singkong dibanding kata tenggâng (singkong: Madura-Sampang), dan kata sabbhrâng (singkong: Madura-Pamekasan), dan lain sebagainya.
Versi terakhir menyebutkan, Masyarakat Pulau Mandangin berasal dari orang-orang yang lari dari tahanan Belanda. Hal ini dapat dibuktikan dari satu kebiasaan (tradisi) masyarakat Pulau Mandangin, ketika menurunkan perahunya ke bibir laut mereka bergotong royong seraya serempak berkata, “Jo tara tajo le ale…” Aku sebenarnya tidak begitu mengerti itu berasal dari kata apa dan apa terjemahannya, hanya saja menurut versi ini, kalimat itu berasal dari Bahasa Belanda. Tak cukup sampai di situ kata kumpur (kompor) dan seterusnya, konon merupakan serapan dari Bahasa Belanda. Terkait dengan itu, penggalian lebih dalam perlu terus-menerus dilakukan.
Kemunculan nama Pulau Mandangin termasuk juga muasal nama Pulau Kambing ini masih ada perdebatan panjang di antara para sesepuh desaku ini. Menguak kemunculan dan muasal dua nama itu belum jua memuaskan pikiranku. Sebagian dari sesepuh pulau ini bercerita, bahwa Sebelum era 80-an Pulau Mandangin dikenal dengan sebutan Pulau Kambing. Menurut penuturannya, nama Pulau Kambing sendiri berasal dari tiga versi. Pertama, karena di tanah Pulau Mandangin terdapat banyak kambing yang berkeliaran. Kedua, konon karena tanah Pulau Mandangin jika dilihat dari ketinggian bentuknya seperti hewan kambing. Sedang versi yang ketiga menyebutkan, kata Kambing berasal dari kata kambâng (mengambang), karena Pulau Mandangin berada di tengah-tengah laut dan seperti mengambang di atas permukaan laut. Kemudian muncul nama Gili, ini karena makna kata gili sendiri adalah pulau atau tanah yang dikelilingi air laut.
Sementara muasal nama Mandangin, ada beberapa versi menyebutkan.
1. Nama Mandangin berasal dari kata pamandangan (karena terdapat banyak pemandangan yang indah di Pulau Mandangin), kemudian berevolusi menjadi Mandangin.
2. Berasal dari kata mandhâk angin (pemberhentian angin), maksudnya pemberhentian angin dari selatan (gendhing) sehingga seolah-olah Pulau Mandangin selalu berangin.
3. Mandangin berasal dari mandi angin, karena seringnya berangin seolah-olah Pulau Mandangin adalah sebuah pulau yang bermandikan angin. Evolusi nama Pulau Kambing ke Pulau Mandangin, konon dimulai dari pemerintahan Kepala Desa lama yang memerintah pada era 80-an yang kemudian sampai sekarang sudah diakui oleh pihak pemerintah daerah Kabupaten Sampang hingga nasional. Hal ini bisa dilihat dari perubahan peta Pulau Madura yang terbaru.
Kemungkinan ada banyak sumber lagi yang tidak atau belum aku ketahui dan disebutkan di sini. Mengingat masyarakat Pulau Mandangin jika dilihat dari warna kulit, logat bahasa, dan sebagian perilaku individu masyarakatnya yang berbeda-beda. Misal, logat bahasa masyarakat Pulau Mandangin sebelah timur berbeda dengan logat masyarakat Pulau Mandangin sebelah barat dan sebagainya. Termasuk pula dengan adanya beberapa situs sejarah yang terdapat di Pulau Mandangin yang perlu untuk digali lebih lanjut oleh generasi berikutnya.
Yang jelas, akan kebenaran faktanya aku belum menemukan sumber literatur yang boleh dibilang valid.