“Selamat hari kasih sayang,” Ega menyodorkan sekotak coklat bersama buket bunga besar pada Hanny.
Tak ada jawaban apapun, hanya tatapan sinis yang diberikan Hanny pada Ega. Membuat Ega yakin jika ending-nya akan sama seperti sebelumnya. Maka dia pun menyimpan kalimat keduanya yang ingin mengatakan, “Maukah kamu jadi pacarku?”
Jadi sudah pasti jawabannya adalah tidak.
Persis seperti yang ada dipikirannya, Hanny bahkan tidak melirik hadiah yang Ega sodorkan padanya. Hanya dengan tatapan sinisnya, Hanny pergi tanpa memberikan sepatah kata.
Atau sebenarnya dia sudah mengatakannya dengan tersirat, bahwa “Aku tidak mau melihat wajah jelekmu lagi, Ega!”
Tapi jujur, hal tersebut masih lebih baik dibanding mendapati bunga yang diberikannya dihancurkan tepat di depan mata. Atau mendapatkan bekas telapak tangan di pipi kanan.
Kejadian yang menimpanya saat menyatakan perasaan suka di hari kasih sayang pada dua gadis idola di sekolahnya, Arini dan Lala.
Ega pikir Hanny mungkin berbeda, tapi responnya cenderung lebih baik. Ya, memang lebih baik diabaikan dengan sakit hati daripada menerima tamparan dan dipermalukan di depan banyak orang.
Bersama kotak coklat dan buket bunga di tangan, Ega berjalan pulang. Entah apa yang salah dengannya hingga harus ditolak tiga gadis sekaligus dalam satu hari. Apa salahnya jika ingin punya pacar di hari kasih sayang ini.
Apa hanya karena dirinya bukan bintang basket seperti Jeremy yang menjadi idola banyak gadis di sekolah, atau karena dia miskin dan jelek sehingga tidak ada yang mau dengannya.
Apapun alasannya, Ega kini hanya sendiri, merutuki nasib.
“Tidak ada yang sayang padaku. Tidak ada yang peduli. Haruskah aku mati?” bisiknya sambil berdiri di depan persimpangan jalan dekat rumahnya.
Padahal dia hanya ingin bahagia dan memiliki setidaknya satu saja orang yang menyayanginya di bumi ini. Terutama saat hari kasih sayang seperti ini.
“Hari kasih sayang apanya, dasar sialan,” gerutunya lagi sambil membuka pintu pagar rumahnya.
Buru-buru Ega memasukkan kotak coklat dan buket bunga ke dalam ransel agar tidak dilihat oleh kedua orang tuanya. Sebab uang untuk membeli barang-barang ini adalah hasil berbohong dengan bilang untuk tugas kelompok sekolah.
Tapi ya, mau bagaimana lagi? Setiap kebahagiaan butuh pengorbanan. Pikirnya tanpa pernah menyesali apa yang sudah dia lakukan.
“Assalamualaikum…”
Dua wajah sumringah menyambut kedatangannya begitu Ega masuk rumah. Yang satu sedang duduk sambil baca koran di ruang tamu sementara yang lain langsung masuk ke ruang tamu, sambil membawa spatula.
Ibunya bertanya, “Sudah makan, Nak? Ayo makan dulu, Ibu sudah siapkan sambal goreng ati dan kentang. Kamu suka, kan?”
“Kenapa wajahmu murung? Uang buat iuran tugasnya kurang?” sahut Ayahnya begitu melihat wajah Ega.
Astaga. Kenapa dirinya baru sadar. Ke sana kemari mencari cinta. Padahal cinta sudah ada di depannya. Begitu dekat. Setiap hari bersama. Bagaimana mungkin dia bilang tidak ada seorangpun yang menyanyanginya hingga ingin mati bunuh diri. Padahal ada Ayah dan Ibu yang selalu menyayanginya tulus tanpa pamrih.
Perlahan, Ega membuka ransel dan menyerahkan coklat pada Ayah lalu buket bunga pada Ibu sambil memeluknya, Ega berkata, “Selamat hari kasih sayang, Bu.”