”Apakabar mahasiswa semester akhir? sampai mana skripsinya? kapan sidang! Kapan wisudanya! Abis lulus mau ngapain?” Pertanyaan yang sering sekali dijumpai.
Apasih tujuan dari pertanyaan itu? Kalo Cuma basa- basi, lebih baik diam ya. Jangan pernah menanyakan hal diatas pada mahasiswa semester akhir. Mungkin bagi kalian itu hanya basi- basi ya tapi tidak bagi yang sedang merasakan beratnya dunia skripsi. Basa- basimu bisa jadi stressor bagi mereka, bisa bikin mental breakdown.
Kebetulan aja aku sedang mengalami ini, skripsi. Dulu ketika maba pun aku sering basa- basi kaya hal diatas, tapi sekarang menyesal, merasa bersalah pernah menanyakan hal itu tanpa dosa banget. Kalo dinget- inget lancang sekali aku ini. Maafkan diriku ini mbak mas kating yang pernah kutanyai, kukira dulu “ah skripsi apa sih beratnya” menggampangkan banget memang.
Sekarang baru kena karmanya, baru tau kalo bakal seberat ini. Dimulai dari cari ide, buat judul itu aja membutuhkan waktu 1 semester, iya 6 bulan hanya untuk menentukan judul dengan beberapa kali ganti. Lanjut menyusun proposal, seminar proposal, dan selanjutnya tentu ingin sidang. Tapi siapa sangka bakal bertemu dengan corona yang tiba- tiba muncul mengacaukan segalanya. Ambyar.
Ketika sedang hectic-nya perskripsian baru saja dimulai, namun dengan lancangnya corona datang. Memaksa untuk legowo dengan segala kenyataan yang ada. Semua rencana yang awalnya sudah matang dan siap eksekusi terpaksa tertunda dan sampai akhirnya harus batal. Lagi lagi harus kuputar otak untuk menyusun rencana.
Hah rencana? Mana sempat. Kamu mau menerima kenyataan saja sudah pekerjaan yang amat berat. Gak usah muluk- muluk ingin begini ingin begitu, kamu bertahan sampai sekarang aja dah hebat.
Mengerjakan skripsi sebenarnya bukan perkara yang berat- berat amat, aku bisa saja menyelesaikan hasil revisi 2 hari berikutnya. Tapi ya banyak faktor lain yang meruntuhkan, gak mungkin semuanya berjalan dengan mulus. Dari mulai dosen yang sulit ditemui, banyak tuntutan, sudah janjian tapi ujungnya sibuk dengan urusannya, sudah mengirim berkas tapi tidak juga menerima balikan.
Dari diri sendiri yang memang baru beranjak dewasa, banyak sekali tuntutan yang harus dicapai, life crisis, belum lagi tuntutan dari orang tua, julidnya tetangga- tetangga, basa- basinya dekting, ditambah corona.
Pasti berat ya? Memang. Sudah berapa banyak air mata yang mengalir dalam menghadapi ini semua, sudah berapa kali sambat perkara ini? Tak terhitung pastinya. Gak papa.
Skripsi sebenarnya mudah, andai saja semua bisa dikendalikan oleh diri sendiri. Begini ya, mengerjakan skripsi memang memerlukan mood yang mendukung, untuk mengumpulkan mood yang mendukung itu sulit. Kalo saja mood sudah ada, mengerjakan revisi 2 hari aja bakal selesai kok. Hanya saja untuk mengumpulkannya perlu waktu berminggu- minggu bahkan berbulan- bulan.
Mood itu tak akan muncul dengan Cuma- Cuma, kadang perlu dipaksa. Yang bisa dilakukan untuk membangun mood dalam mengerjakan skripsi adalah dengan “menerima” segala pikiran, perasaan, dan kenyataan yang ada. Ya memang ini berat, aku stress, aku pusing, aku bingung, aku gak tau harus ngapain, aku mau nyerah aja, aku dah ketinggalan sama teman- teman, mereka dah sidang, mereka dah wisuda. Iya kamu merasa itu semua, “terimalah” semua itu, biarlah hati dan pikiran mengenali apa yang sedang terjadi padanya.
Sama seperti ketika kita “diterima” disuatu kampus, walau mungkin itu bukan pilihan kita tapi bagaimanapun kita tetap berusaha menjalaninya jika tak ada pilihan lain. Ya, seperti pikiran, perasaan kita, apapun yang terjadi pada saat ini “terima” maka mau tidak mau pikiran dan perasaan akan tahu apa yang seharusnya dilakukan.