Bulan Ramadan adalah bulan suci penuh ampunan. Menjelang bulan Ramadhan semua orang sibuk tentang pembahasan kapan waktunya awal puasa. Tradisi maliek bualan disaksikan dari anak-anak, remaja, tua muda juga bersama-sama melihat bulan.
Istilah “ Maliek Bulan” merupakan istilah yang dipakai oleh pengikut Syatthariyah dalam penentuan awal dan akhir Ramadhan. Dimana maksudnya adalah ru’yatul hilal atau melihat hilal. Dimana pada masa ini umat Islam banyak berbeda pendapat dalam hal apakah boleh menetapkan bulan baru Qamariah (hilal) berdasarkan hisab atau harus dengan ru`yah.
Poin yang sangat penting adalah ketika waktu memasuki puasa dan akan berhari raya sama-sama memakai rukyat, artinya melihat awal bulan. Begitu juga dalam sembahyang tarawihnya dua puluh rakaat, tidak ada yang membuat delapan rakaat.
Maka tradisi yang muncul dalam ru’yatul hilal dalampenentuan awal dan akhir Ramadhan oleh Tarekat Syattariyah merupakan kegiatan melihat bulan yang biasanya dilakukan pada sore hari menjelang magrib. Ratusan hingga ribuan anggota jamaah Tarekat Syattariyah di Sumatera Barat akan tumpah ruah di Pantai Ulakan, Kabupaten Padang Pariaman dan juga di Koto Tuo Agam termasuk tempat lainnya.
Ritual melihat bulan dengan mata telanjang ini menjadi kegiatan rutin Tarekat Syattariyah untuk memulai berpuasa. Tak jarang, karena tidak melihat hilal, ratusan ribu jamaah Tarekat Syathariyyah yang tersebar di sejumlah provinsi belum melaksanakan puasa Ramadhan menunggu keputusan ini.
Ciri khas dalam melihat bulan adalah dengan berpeci hitam dan pakai kain yang dililitkan di leher. Peci hitam ini menjadi khas bagi kebanyakan bagi sebahagian jama’ah yang datang. Namun dominan pakai peci hitam adalah yang sudah berumur atau rata-rata di atas 45 tahun.Walaupun tidak semua juga pakai peci hitam tapi dominan pakai itu.
Proses yang mereka lalukan dalam melihat bulan di Koto Tuo seolah-olah sudah menjadi salah satu agenda tahunan baik di awal maupun di akhir ramadhan. Pengunjung yang dating juga terdiri dari berbagai daerah hal ini menurut peneliti dikarenakan fanatic ke Guru dan ajang silatur-rahim. Selain berziarah ke kubur Sjech al-Luma’ juga menjadi suatu kebanggaan dapat bertemu dengan jama’ah lain serta sholat di tempat guru.Dalam “maliek bulan” memang agak rumit karena peneliti sendiri bingung yang mana yang dikatakan dengan bulan atau hilal tersebut. Namun beberapa jama’ah karena sudah melihat yang lain juga meyakini sudah terlihat.
Dari segi pemberdayaan ekonomi rakyat sekitar Koto Tuo dengan adanya tradisi “maliek bulan” maka perekonomian masyarakat di tempat lokasi sedikit banyaknya akan terbantu. Ini terlihat ratusan jama’ah yang datang ke lokasi tersebut dengan selalu banyak berbelanja atau membeli oleh-oleh dan kebanggaan bertemu dengan Tuanku Ismed. Tradisi melihat bulan akan tetap survive menurut peneliti untuk beberapa tahun ke depan, malah bisa dimodifikasi dengan kegiatan pengajian agama. Namun sangat disayangkan potensi jama’ah yang banyak tersebut belum terkelola secara maksimal.